Sabtu, 12 Agustus 2017

PENYELESAIAN DI LUAR PROSES

Fenomena hukum di Indonesia, khususnya hukum pidana, penyelesaian suatu masalah pidana di putuskan melalui proses penyelidikan, penuntutan, proses persidangan, sampai dengan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Namun dewasa ini cara penyelesaian sengketa melalui peradilan mendapat kritik yang cukup tajam, baik dari praktisi maupun teoritisi hukum. Peran dan fungsi peradilan, di anggap mengalami beban yang terlampau padat (overloaded).

- Lamban dan buang waktu (wasteof time)
- Biaya mahal (very expensive) dan
- Kurang tanggap (unresponsive)
terhadap kepentingan umum. Atau dianggap terlampau formalistik dan terlampau technically.

Realita masyarakat khususnya kaum bisnis lebih menyukai penyelesaian sengketa di luar pengadilan/ penyelesaian di luar proses disebabkan tiga alasan, yaitu:

pertama

Penyelesaian sengketa di pengadilan adalah terbuka, kaum bisnis lebih menyukai sengketa mereka diselesaiakan tertutup, tanpa diketahui oleh publik.

Kedua

Sebagian masyarakat, khususnya orang bisnis menganggap hakim tidak selalu ahli dalam permasalahan sengketa yang timbul. Dan ketiga, penyelesaian sengketa di pengadilan akan mencari pihak yang mana yang salah dan yang benar, sedangkan putusan penyelesaian sengketa di luar pengadilan/ penyelesaian di luar proses akan dicapai melalui kompromi dan beberapa cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan/ penyelesaian di luar proses yaitu melalui Negosiasi, Mediasi dan Arbitasi.

Memahami cara ”penyelesaian di luar proses”, maka kebijakan ”aplikasi” merupakan bentuk modernisasi hukum pidana dalam usahanya untuk ke luar dari belenggu kesulitan mencari landasan yang memuaskan untuk mempertahankan sanksi pidana, yakni berkisar pada tujuan pokok yaitu melindungi kepentigan umum, mencegah serta mengendalikan kejahatan dan memperbaiki orang yang melanggar hukum pidana. Karena secara umum peristiwa pelanggaran mengakibatkan derita pada orang lain, sehingga kehidupan masyarakat menjadi tidak seimbang, jadi untuk mempertahankannya harus dengan memberikan hukuman yang setimpal sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat di wilayah masing-masing.

RUU KUHP Baru pun merupakan hasil nyata dari ide dasar penyusunan sistem hukum pidana nasional. Penyusunan RUU KUHP Baru merupakan perkembangan penyusunan yang berkelanjutan dari konsep sebelumnya. Perkembangan demikian tidak dapat dipisah-lepaskan dari masalah utamanya yang menjadi ruang lingkup pembaharuan hukum pidana nasional, yaitu masalah tindak pidana, masalah pertanggungjawaban pidana, serta masalah pidana dan pemidanaan. Hukum pidana di samping merupakan sub-sistem Hukum Nasional, berkedudukan pula sebagai sistem dari ruang lingkupnya; sub-sistem hukum materil , formil, dan pelaksanaan pidana.

Kebijakan “Penyelesaian di luar Proses” ini yang menurut penulis dimuat dengan mendasarkan keadilan dan nilai-nilai yang sesuai dengan masyarakat Indonesia pada umunya. Selain itu, Kebijakan Penyelesaian di luar proses ini di rumuskan dengan di latar belakangi dengan pemikiran ide-ide pembaharuan hukum pidana (penal reform), dan dikaitkan dengan masalah pragmatisme. Latar belakang ide-ide ”penal reform” itu antara lain ide perlindungan korban, ide harmonisasi, ide restorative justice, ide mengatasi kekakuan/ formalitas dalam sistem yang berlaku, ide menghindari efek negatif dari sistem peradilan pidana dan sistem pemidanaan yang ada saat ini, khususnya dalam mencari alternatif lain dari pidana penjara (alternative to imprisonment/ alter-native to custody). Latar belakang pragmatisme antara lain untuk mengurangi stagnasi atau penumpukan perkara (“the problems of court case overload”), untuk penyederhanaan proses peradilan.

Pembaharuan Hukum pidana ini merupakan langkah yang paling efektif agar proses dalam berpekara dapat di temukan suatu keadilan yang benar-benar dirasakan manfaatnya. Kebijakan penyelesaian di luar proses menyediakan solusi terbaik untuk menjawab keadilan yang mengarah keseimbangan. Ide keseimbangan ini antara lain mencakup keseimbangan monodualistik antara “kepentingan umum/masyarakat” dan “kepentingan umum/ individu”itu mencakup juga ide “perlindungan/kepentingan korban” dan “ide individualisasi pidana”. Jadi untuk memenuhi konsep keseimbangan ini, Konsep menyediakan sanksi tambahan berupa “pembayaran ganti rugi” dan “pemenuhan kewajiban adat”. Jadi di samping pelaku tindak pidana mendapat sanksi pidan, korban/masyarakatpun mendapatkan perhatian dan santunan dalam sistem pemidanaan.

Sumber
Archive DPP LBH BALINKRAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar