Rabu, 25 Oktober 2017

PASCA JOKOWI j2017...(VII)

By Sri-Bintang Pamungkas

Berikut ini cuplikan tulisan saya waktu ada di penjara @Juli 1997:

CGI: Utang Asing dan Pembangunan SDM

Rupanya negara-negara yang tergabung dalam CGI masih belum mau memenuhi keinginan rakyat untuk ikut mengurangi ketergantungan ekonomi Indonesia kpd mereka. Indonesia diberi lagi komitmen utang sebesar USD 5.3 milyar, yg menambah utang asing mencapai lebih dari USD 115 milyar.

Masalah utang asing ini sangat kompleks. Belum lagi melihat beban utang tersebut dalam Rupiah, mengingat nilai Rupiah yg terus menurun. Trend menurunnya Rupiah itu, pada 1980 ada pada sekitar 1.100 Rp/$, sekarang 2.500 Rp/$. Selain disebabkan oleh industri Indonesia yg tidak mempunyai kemampuan menghasilkan devisa, juga justru karena industrinya sangat boros devisa. Keadaan yang inefisien ini sangat dipengaruhi oleh ketidakmampuan sumberdaya manusia, khususnya dalam menguasai Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Dari Neraca Pembayaran kelihatan sekali Indonesia selalu defisit dalam valuta asing, dan dengan begitu terus-menerus harus berutang untuk bisa mencegah jatuhnya Rupiah.

Akan tetapi, banyak yang tidak sadar bahwa penurunan nilai Rupiah itu tidak hanya dalam trend-nya saja, melainkan bisa berupa gejolak hebat sebagaimana pernah terjadi di Meksiko beberapa tahun yang silam. Kalau suatu gejolak terjadi, sangat mungkin disebabkan oleh pembayaran kembali bunga utang-utang (pemerintah dan swasta-swasta) yang cukup besar tiba-tiba jatuh tempo pada saat bersamaan. Karena jumlah utang asing sudah membengkak, maka "larinya" Dollar untuk kewajiban membayar bunganya juga sangat besar. Sekarang saja sudah 3 minggu ini Rupiah merayap jatuh dari angka 2.450 Rupiah/ Dollar. Sangat mungkin ini adalah awal gejolak.

Belum lagi berbicara soal pembayaran kembali pokok pinjaman yang jatuh tempo, dan membebani Belanja Negara dan Neraca Pembayaran bersama-sama. Semua berkaitan dengan seluruh sektor industri kita dari Pertanian, Pengolahan sampai Perdagangan dan Jasa-jasa.

Memang sangat mungkin ada unsur simbiose mutualistis antara rezim penguasa Indonesia yang semakin "maharaja-diraja" serta galak terhadap rakyatnya sendiri, dan rezim Barat yang "neo-imperialis". Kedua belah pihak saling membutuhkan. Lebih dari 40 tahun yan lalu, para ahli ekonomi pembangunan sudah menulis, bahwa utang asing itu memperkuat posisi rezim yang sedang berkuasa. Soeharto membutuhkan utang asing untuk memperkuat posisi politiknya. Di lain pihak si "neo-imperialis" juga membutuhkan agar secara politik dan ekonomi, Indonesia semakin tercengkeram oleh kuku-kuku imperialisme dan kapitalisme Barat.

Yang menjadi masalah sekarang adalah hari depan Indonesia. Apakah rakyat Indonesia mau saja dibawa kepada cengkeraman asing yang ikut masuk ke dalam model pembangunan yang sangat dipengaruhi oleh "program utang asing itu" itu?! Dengan "program utang asing" itu, sadar atau tidak sadar, Indonesia telah digiring ke arah kapitalisme Barat yang tidak sesuai dengan doktrin Demokrasi Ekonomi dan doktrin Asas Kekeluargaan kita.

Memang sebagian besar daripada itu adalah kesalahan para penguasa kita sendiri dalam menetapkan model pembangunan Indonesia. Tetapi, apakah kita baru sadar hanya setelah Pak Harto "dibebaskan" oleh Tuhan Yang Maha Esa dari segala jabatannya, pada saat cengkeraman utang itu sudah sampai di ubun-ubun kita?! Bahkan sekarang pun Soeharto tidak pernah merasa berutang! Karena yang berutang adalah rakyat Indonesia...

(Masih panjang, tapi kita cukupkan dulu soal Soeharto... ganti soal Jokowi)

Apa yang terjadi pada Rezim Soeharto setelah 30 tahun berkuasa (1997/98) mirip dengan apa yang sekarang terjadi pada Rezim Jokowi setelah 3 tahun berkuasa.
Trend jatuhnya Rupiah sudah mencapai titik 13.300 Rp/$ selama satu-dua tahun ini. Yg dimaksud dg trend ini, kalau ditarik garis lurus antara angka 1.100 Rp/$ pada 1980 dan 13.000 Rp/$ pada 2014, maka garis tersebut akan mencapai angka sekitar 14.000 pada akhir 2017, yang berarti terjadi depresiasi atas Rupiah sebesar hampir 8% selama 3 tahun era Jokowi.

Beberapa hari terakhir ini Rupiah pun sudah jatuh ke tingkat 13.600. Apakah ini merupakan bagian dari trend atau awal dari sebuah gejolak, belum bisa diketahui pasti. Pada Juli 1997, waktu tulisan di atas saya buat, ternyata itu sebuah gejolak yansg mengawali krisis moneter... Rupiah jatuh mencapai angka 2.500. Lalu jatuh terus sampai menyentuh 17.000 Rp/$ pada pertengahan Januari 1998. Mungkin saja krisis seperti itu akan terjadi pula sekarang.

Utang luar negeri kita yang terlihat dari luar berkisar pada angka USD 370 miliar. Dg adanya dana-dana talangan turn-key projects, termasuk proyek-proyek infrastruktur yg sedang digalakkan Jokowi dan RRC, utang luar negeri ini bisa saja sudah sampai USD 400 milliar! Dengan anggapan terjadi lagi defisit dalam APBN, maka belanja Negara hanya mencapai sekitar Rp 1.800-2000 trilyun. Sedang pembayaran pokok utang dan bunga yang jatuh tempo mencapai sekitar Rp 600 trilyun, maka DSR (debt service ratio) terhadap Belanja Negara memang sudah menyentuh atau melewati 30%...

Angka tersebut menjadi angka kritis untuk menjawab berapa yang tersisa dari Belanja Negara itu untuk membiayai kebutuhan yang lain-lain, seperti biaya rutin dan pembangunan. Tidak kalah pentingnya adalah biaya perumahan, pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial lainnya bagi kepentingan SDM. Pada akhirnya, khususnya untuk membiayai program pembangunan, dan mempertahankan nilai Rupiah, banyak pengeluaran yang penting bagi rakyat banyak harus dipotong, seperti berbagai subsidi. Maka tidak heran, kalau dalam rangka austerity policy (keprihatinan lewat pengencangan ikat pinggang) itu, terjadi penurunan daya beli. Bagi Jokowi, mungkin yg paling gampang adalah berhutang lagi kpd Asing.
Prioritas Sri Mulyani memang hanya dua, mempertahankan nilai Rupiah dan ketersediaan sembako pada harga yg terjangkau. Kalau ini jebol, maka akan timbul Gejolak Moneter, dan rakyat turun ke jalan seperti 1997/98. Bagi mereka yaniig menginginkan atau masih percaya kepada Rezim Jokowi, maka mereka khawatir dan berharap Gejolak Ekonomi tidak terjadi... Tetapi yg berharap Rezim Jokowi jatuh karena jahat terhadap Rakyat, Bangsa dan Negara, maka momentum inilah yAsng sudah lama ditunggu... Yaitu, mengulang kembali peristiwa Mei

@SBP
5/10/17
Source : Chirpstory
Baca juga Pasca Jokowi... (VIII)
Artikel sebelumnya : Pasca Jokowi... (VI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar