*Tulisan super dari Syarwan Hamid*
Menjelang Acara 212 , Saya ingin menyerukan, terutama kepada Pak Jokowi :
1. Bahwa forum pertemuan tersebut bukanlah sekedar forum pengajian, shalat berjamaah dan semacamnya.
2. Tapi pastilah mereka yang datang dari jauh tersebut juga ingin menyampaikan aspirasi bersama, yang selama ini didesakkan kepada Presiden dan DPR, tapi hampir tak satupun digubris, seperti tuntutan terhadap fenomena dominasi Cina dihentikan, Stop reklamasi, Stop membengkaknya hutang, rencana penjualan aset, perpu yang anti demokrasi yang memudahkan penindasan terhadap Umat Islam, perlakuan tidak adil terhadap Umat Islam dan banyak lagi.
3. Saya yakin seyakin yakinnya, bahwa Umat yang datang sangat serius dengan aksinya kali ini. Ini bukan sekedar aksi bela, tapi lebih dari itu ini adalah aksi bela Bangsa dan negara, karena jangkauan ancaman yang dicemaskan adalah dominasi Cina, seperti terjadi di beberapa negara lain (sedang berproses).
4. Karenanya Saya minta kepada Presiden dan DPR atau pihak kompeten manapun, untuk jangan mengira bahwa masyarakat cukup senang hanya dinilai sebagai anak manis.
5. Mereka sekarang Pejuang yang serius, yang mengukur keberhasilan gerakan ini pada pencapaian yang diperoleh. Karena mereka serius, maka Anda semua mestilah serius.
Jangan bereksperimen dengan nasib Bangsa ini.
Barusan nonton TV MBS channel Jepang membahas tentang strategi Tiongkok dengan 一帯一路 atau new silk road.
Ternyata Ethiopia, Tonga, Srilanka, dll sudah berhasil mereka kuasai. Modusnya adalah memberikan pinjaman untuk pembangunan infrastruktur dan fokus terutama pada pembangunan daerah pesisir dengan reklamasi pantai.
Di Srilanka, setelah terlilit mega utang dan tidak bisa bayar,
Tiongkok menawarkan pembebasan utang dengan meminjamkan tanah hasil reklamasi ke Tiongkok selama 99 tahun. Fenomena umum di negara-negara itu adalah membanjirnya migran dari Tiongkok sehingga penduduk kehilangan pekerjaan dan perusahaan lokal mati karena perdagangan dikuasai oleh Tiongkok sebab impor barang dari Tiongkok dimudahkan. Selain itu, keluhannya pun seragam, yaitu kualitas infrastruktur yang dibuat oleh Tiongkok tidak bertahan lama sehingga untuk perbaikan pun akan meminta 'tolong' mereka lagi, akibatnya ketergantungan terhadap Tiongkok terjadi terus menerus. Menurut analisa ahli di Jepang, tanah yang dipinjam itu akan dijadikan pangkalan militer Tiongkok untuk ambisi militer mereka.
Nonton berita itu seperti melihat negeri sendiri 5-10 tahun mendatang. Modusnya sama persis. Menghilangkan pajak impor (Indonesia sudah hapus pajak untuk impor nominal kecil sehingga impor barang dari Tiongkok mudah masuk dan mematikan UKM indonesia), ngotot reklamasi pantai utara jakarta buat gerbang masuk mereka, ambruknya bendungan di bali, jembatan di kalimantan, dll.
Makanya kalau anda memang cinta NKRI, pasti akan menolak reklamasi pantai utara jakarta. Ini bukan masalah ras, pribumi atau non pribumi, ini adalah masalah politik. Dan kita, ya kita, yang suku Sunda, Jawa, Minahasa, Makassar, Cina Bangka, Bugis, Cina Jakarta, Minangkabau, Cina Pontianak, Madura, dll, kita semua sedang dipecah belah agar mereka bisa masuk dengan mudah.
Di negara manapun, mereka selalu membuat proxy, yaitu sekelompok orang yang akan memperoleh imbal balik, entah dengan kekuasaan atau dengan proyek atau hibah dan lain-lain dengan bekerjasama dengan mereka dan membantu mereka dari dalam. Sementara mayoritas rakyat hanya akan menjadi objek ambisi mereka dan hanya bisa gigit jari.
Dan jangan sampai kita salah kaprah, yang bersedia jadi proxy mereka tidak mesti WNI keturunan, ada banyak suku pribumi yang akan bersedia menjual nasionalismenya demi harta dan kekuasaan. so, jangan benci saudara-saudara kita yang bersuku Cina, waspadalah kepada mereka yg mati-matian pasang badan agar ambisi politik pemerintah Tiongkok di negeri kita semakin mulus terlaksana, karena mereka inilah mungkin proxy yg sudah terbeli nasionalismenya. Lantas, apakah saat ini sebagian dari pengambil keputusan sudah jadi proxy Tiongkok? Hanya mereka yang tahu.
Memang mendeteksinya agak sulit, karena di satu sisi pemerintah harus bisa menjamin keberlangsungan pembangunan dan salah satu sumber pembiayaan adalah dengan hutang luar negeri. Tapi mari kita amati, kalau sumber pembiayaan ada yang lain dengan syarat lebih baik, tapi tetap ngotot milih yang dari Tiongkok, maka kita harus bertanya-tanya. Di sinilah fungsi Dewan sebagai pengawas eksekutif untuk menggunakan haknya dalam pengelolaan negara, dan rakyat sebagai pemerhati sekaligus pemilik kepentingan negara tertinggi untuk mengawasi. Semoga negeri kita tidak terjual seperti negara-negara itu. Kalaupun tak mampu jadi pahlawan, minimal jangan jadi pengkhianat atau membantu pengkhianat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar