Copas dari WAG Keluarga TIM :
Transformasi Jokowi dari Petugas Partai Yang Diremehkan Menjadi Presiden Yang Menentukan Segalanya
(Pidato Karno Cilek di mimbar bebas TIM, Jumat, 24 nov 2017)
Teman-teman aku manggung lagi. Kecepetan ya? Soalnya ada yang WA aku minta aku ngomong lagi sebelum reuni 212. Ola opo dalamm hatiku, tapi aku gak bisa nolak E. Soalnya aku sudah di Kuningan.
Jokowi ini sangat istimewa buat aku. Perawakannya merakyat, kurus kering seperti kurang gizi, tapi gak pernah menyerah, gak pernah kalah. Waktu jadi Walikota Solo ada kasus ekonomi. Jokowi berhadapan dengan Gubernur Jateng dari TNI Pak Bibit. Bibit yang kalah.
Terus dia lompat ke Jakarta sebelumnya habis masa jabatannya. Dengan perahu dari PDIP dan Gerindra, terutama, dia jadi Gub DKI, mengalahkan incumben Fauzi Bowo.
Lalu baru 2 tahun jadi Gub DKI, dia tinggalkan warga Jakarta. Dia merebut tiket RI-1 dari PDIP, yang sebetulnya gak sreg. Prabowo Gerindra meradang dan jadi musuhan sama Megawati PDIP. Soalnya kesepakatan-kesepakatan, yang dibuat waktu mendukung Jokowi-Ahok, jadi batal. Jokowi ora peduli.
Ahok ketiban pulung jadi plt Gub DKI, tapi bikin gaduh terus. Sampai waktunya abis, dikandangin di Depok. Ahok gak merasa dikhianati, Kapolri Tito deg-degan.
Sekarang PDIP ditinggalkan wong cilik di Pilkada serentak gara-gara mendukung Ahok, yang mhancurkan kampung-kampung rakyat kecil dan melecehkan Islam. Golkar pecah-pecah dan serba salah, PPP sekarat dan pecah, Hanura mengalami penuaan dini, Nasdem dimusuhi rakyat. Semua partai jadi tergantung restu Jokowi Dan Jokowi? Jalan terus.
'Sebentar mas karno,' teriak seorg pria berjaket abu-abu berambut gondrong. 'Apa benar mas ini sarjana pertanian UGM?' 'Ha?' Karno cilek mengernyitkan alis. 'Saya dengar sampean S2 di Bejing dan S3 di Polandia? Apa itu betul?' Karno cilek mesem-mesem. 'Ini pertanyaan sulit.' Jawabnya.
Nah kembali ke Jokowi. Menurut aku dia bukan anak bawang. Jokowi sejak awal tau apa yang harus dilakukannya dan tau cara membungkam penentangnya, mendulang dukungan, termasuk dukungan para konglomerat pemilik medmas. Yang netral, apalagi menentang kebijakannya, bisa diplintir jadi musuh negara.
Belum sebulan jadi Presiden, Jokowi naikkan harga BBM Rp 2 ribu/liter, ketika BBM dunia turun sampai dinbawah USD 40/barel. Padahal menurut UU pemerintah cuma boleh menaikkan BBM, bila harga internasional sadah di atas USD 115/barel. Gak ada yang berani protes.
Lalu KPK dibenturkan dengan Polri. Ketua KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto ditangkap, diproses cepat kasus lawas mereka, lalu masuk bui. Semua komisaris KPK dikocok ulang. Panitianya ibu-ibu. BG dipending. Kapolri diberikan kepada Tito setelah bom Thamrin. BG kemudian diplot jadi kepala BIN menggantikan Sutijoso.
BPK, yang masih bandel dalam urusan Ahok, pembelian RS Sumber Waras dll, dibenturkan dengan KPK. Lalu KPK dibenturkan lagi dengan DPR. Dan Jokowi? Netral saja.
Sekarang Megawati, yang dulu sempat melecehkannya sebagai petugas partai, pun tak berkutik dihadapan Jokowi. Kalau harus memilih Megawati atau Jokowi, maka kader PDIP akan memilih Jokowi.
Gejala ini sudah terlihat, ketika Pilkada DKI beberapa waktu lalu. Mega yang menginginkan kader PDIP jadi Cagub berhasil dilunakkan Jokowi lewat Hendro Priyono dan Luhut Binsar Panjaitan. Bahkan ketika Ahok melecehkan Megawati dan PDIP dengan menolak ikut seleksi Cagub PDIP, Megawati terpaksa merestui Ahok yang sudah jelas memusuhi wong cilik dan pro nekolim.
Jokowi punya amunisi berlimpah untuk menentukan masa depan Indonesia. Bahkan bila dia ingin negara ini dikuasai asing atau aseng, dan rakyat menadi paria di negerinya sendiri, akan ada orang-orang yang terang-terangan mendukungnya.
Suara kritis kaum intelektual, aktivis, ormas dan kampus digembosi dengan UU Ormas, yang dengan cepat menjadi UU karena wakil rakyat sudah dalam genggaman. Kelas menengah dan pengusaha kecil menengah (warteg percetakan kecil, pencetak undangan, stempel, sablon, bakso, tukan jahit,ndll) dikejar-kejar petugas pajak lewat UU tax amnesty, yang ternyata diperluas sedemikian. Padahal awalnya untuk mengejar para pengemplang BLBI dan pajak konglomerat yang dibawa kabur ke LN. Mereka malah diampuni dan kini diplot jadi pahlawan.
Memang ada gejala Jokowi kini menuai badai, dimulai dari Ahok, Setnov. Lalu aktivis dan intelektual kampus meminta Jokowi mereshuffle Ahokers sejati, seperti LBP, Yasonna Laoli, Tjahjo Kumolo, SMI, Yonan - Tahar, Enggar Tyasto, Rusdi Kirana, Rini Sumarno dst. Mereka juga minta Jokowi berhenti menjual aset negara dan BUMN, stop reklamasi dan Meikarta (proyek mega properti Lippo), yang bukan buat rakyat. Artinya suara kritis mulai mendapatkan panggung. Sedangkan orang-orang anti rakyat ditolak. Gerakan ini, kata Iskak - dalam buka 'jalan pintas mencegah revolusi sosial' - akan membesar dan jadi arus balik yang menjatuhkan pemerintahan lewat gerakan cabut mandat. Gerakan cabut mandat ini digagas tokoh malari Hariman Siregar.
Menariknya, dalam sebuah pertemuan di bakul cafe beberapa waktu lalu, teman-teman ILUNI-UI memprediksi bahwa Jokowi bisa menghindari kejatuhannya dengan mencabut UU Ormas dan tax amnesty. UU Ormas mengembalikan kita ke zaman Orba, memberi wewenang kepada pemerintah untuk membubarkan ormas tanpa proses hukum. Korbannya sudah dua : HTI dan ILUNI-UI Berbadan hukum. Sedangkan UU tax amnesty merusak tata negara. Dia memindahkan kewajiban deklarasi aset dari pejabat publik kepada rakyat.
Kata teman-teman ILUNI-UI bila inisiatifnya dari pemerintah atau Jokowi terang-terangan pro kepada penuntut pencabutan UU Ormas dan UU tax amnesty, atau setidaknya diamandemen agar kembali ke misi awalnya mengembalikan BLBI dan pengemplang pajak yang diparkir di LN, maka Jokowi selamat. Kesalahan akan dipanggul Wiranto dan Sri Mulyani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar