Sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada Baginda Rasulullah Muhammad shalallahu alaihi wassalama beserta keluarga dan para sahabatnya ...
ุงูููู
ุตู ุนูู ุณูุฏูุง ู
ุญู
ุฏ ูุนูู ุขู ุณูุฏูุง ู
ุญู
ุฏ
ARTI BIDAH
Apa itu bid'ah? Bid'ah yaitu sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh nabi kita Rosulullah Muhammad shalallahu alaihi wassalama. Dalam bahasa Arab, bid’ah berarti suatu hal baru yang diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya. Secara istilah, bid’ah berarti segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama tanpa ada dasar syariatnya. Terdapat perbedaan antarulama dalam mendefinisikan bid’ah.
Para ulama membuat definisi bid’ah dari aspek etimologinya.
• Imam Muhammad Abu Bakar Abdus menuturkan, bid’ah adalah mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya.
• Menurut Abu Husain Ahmad bin Faris (w. 393 H ), adalah memulai dan membuat suatu perkara tanpa ada contoh.
• Menurut Abu Abd Rahman al-Khlmil bin Ahmad al-Farahidi (w. 170 H) “bid’ah adalah mengadakan suatu perkara yang sebelumnya tidak dibuat, tidak disebut dan tidak dikenal”.
Dari definisi-definisi itu kita dapat menarik kesimpulan bahwa bid’ah secara umum dalam arti bahasa adalah suatu yang tak pernah ada sebelumnya. Istilah bid’ah dengan artian seperti ini juga digunakan dalam al-Qur’an sebagaimana firmannya:
“Allah Pencipta langit dan bumi” (QS Al-Baqarah [02]:117)
Maksud ayat ini adalah Allah menciptakan langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya, Allahlah yang menjadikan langit dan bumi pertama kali.
Dalam ayat lain juga disebutkan:
“Katakanlah: “Aku bukanlah rasul pertama di antara rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak pula terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan” (QS Al-Ahqaaf [46]: 09)
Apabila ditilik dari sisi terminologi agama, maka banyak sekali ulama yang mendefinisikannya. Salah satunya adalah al-Imam Izzuddin bin Abd Salam dalam kitabnyya, Qawa’id al-Ahkam wa maslaha wa al-Anam, Juz 2 hlm, 131-134 mendefinisikan bid’ah sebagai berikut:
ุฃَุงْูุจِุฏْุนَุฉُ ِูุนُْู ู
َุงَูู
ْ ُูุนَْูุฏْ ِْูู ุนَุตْุฑِ ุฑَุณُِْูู
ุงِููู ุตََّูู ุงُููู ุนََِْููู َูุณََّูู
ْ“Bid’ah adalah amaliah (keagamaan) yang tak dikenal pada zaman Nabi saw”
Dari definisi bid’ah ini bisa disimpulkan bahwa tak ada kata bid’ah dalam urusan duniawi sebagaimana Hadis Nabi riwayat Imam Muslim dari Imam Malik bahwa:
ุฃَْูุชُู
ْ ุฃَุนَْูู
ُ ุจِุฃَู
ْุฑِ ุฏًُْููุงُูู
ْ
“Kalian lebih lebih tahu tentang urusan dunia kalian”
Hadis ini secara eksplisit memberikan klarifikasi pada kita bahwa pekerjaan yang berkaitan dengan dunia menjadi hak setiap individu. Setiap orang mempunyai kebebasan dalam melakukan suatu yang ia inginkan selagi tidak terjadi dikotomi dengan hukum syariat.
Semua Bid’ah Sesat ?
Semua bid’ah sesat. Itu pandangan kelompok wahabi. Bagi kalangan awam, maka sudah barang tentu statemen ini gampang untuk diterima karena memang mereka masih belum bisa membedakan antara dalil-dalil agama yang benar dan yang salah.
ุฃََูุง َูุฅَِّูุงُูู
ْ َูู
ُุญْุฏِุซَุงุชِ ุงْูุฃُู
ُْูุฑِ َูุฅَِّู ุดَุฑَّุงْูุฃُู
ُْูุฑَ ู
ُุญْุฏุซุงุชََูุง ُُّููู ู
ุญุฏุซَุฉٍ ุจِุฏْุนَุฉٌ َُُّููู ุจِุฏْุนَุฉٍ ุถََูุงَูุฉ
ٌ“Berhati-hatilah kalian, jangan sampai membuat hal-hal baru. Karena perkara yang paling jelek adalah membuat bid’ah, dan setiap perbuatan baru itu adalah bid’ah dan semua bid’ah
itu sesat ” (HR. Ibn Najah)
Hadis inilah yang sering dibuat senjata ampuh oleh golongan Wahabi dalam membid’ahkan semua amalan yang tak ada di zaman Nabi dan menganggapnya sesat.
Secara lahir Hadits di atas menggunakan kata “ูู” yang berarti “semua” dalam membid’ahkan suatu yang baru. Tapi yang dikehendaki dari lafal “ูู” ini bukanlah arti aslinya, bahkan yang dikehendaki adalah makna “sebagian”. Sebab tidak semua kata “ูู” itu menunjukkan arti “semua” seperti firman Allah dalam al-Qur’an:
َูุฌَุนَْููุงَ ู
َِู ุงْูู
َุงุกِ َُّูู ุดَْูุกٍ ุญَِّู ุฃََููุงَ ُูุคْ ู
َُِْููู
“Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”
(QS Al-Anbiyaa’ [21]:30)
Dalam ayat ini Allah menggunakan kata “ูู”, yang berarti umum pada segala sesuatu apapun, tapi dalam ayat yang lain Allah juga berfirman:
“Dan dia menciptakan jin dari nyala api” (QS Ar-Rahman [55]:15)
Dengan demikian sangat jelas, bahwa lafal “ูู” dalam ayat sebelumnya bukanlah makna asal dari lafal “ูู” itu sendiri,
melainkan bermakna sebagaian. Jadi yang dimaksud dari
lafal “ูู” dalam Hadis di atas bukanlah makna “semua“. Hal ini telah dijelaskan oleh para ulama terkemuka, di antaranya adalah Imam Nawawi (W. 676 H ), seorang ulama pakar Hadits dari Syiria, beliau berkata, perkataan Rasul “ููู ุจุฏุนุฉ ุถูุงูุฉ” ini adalah kalimat umum yang ditakhsรฎsi dan yang dimaksud Hadis ini adalah bid’ah secara umum.
Jadi sangat jelas bahwa asumsi keliru ini dari mereka yang mengartikan bahwa yang dimaksud kata “ูู” dalam Hadis di atas adalah makna aslinya merupakan kesalahan yang sangat fatal dan bertentangan dengan pendapat para ulama terkemuka.
BAB 1 BID'AH MENURUT ALQURAN DAN HADITS SESUAI PEMAHAMAN MAZHAB MALIKI
Jika ada orang yang berkeyakinan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan ada di neraka. Maka ketika mereka men-judge bid’ah, sesungguhnya mereka telah menghukumi saudara muslim mereka berada di neraka. Apakah semudah itu menghukumi orang masuk neraka? Sudah selayaknya kita kembalikan kepada salafus sholih untuk urusan ini.
1. Imam al Hafizh Muhammad bin Ahmad al Qurthubi
Al Qurthubi berkata menanggapi ucapan ucapan Imam Syafi’i tentang pembagian bidah:
“Saya katakan bahwa makna Hadits Nabi SAW yang berbunyi
‘Seburuk-buruk perkara adalah hal yang baru. Semua hal yang baru adalah Bidah, dan semua Bid’ah adalah sesat’ maksudnya hal-hal yang tidak sejalan dengan al Qur an, Sunnah Rasul SAW dan perbuatan Sahabat Rasul SAW.
Sesungguhnya hal ini telah diperjelas oleh Hadits lainnya, yaitu
"Barangsiapa membuat-buat satu gagasan yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikit pun dari pahalanya.
Dan barangsiapa membuat gagasan yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya”.
Hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai terbaginya Bid’ah pada Bid’ah yang baik dan Bid’ah yang sesat”.
(Tafsir Imam al Qurthubi 2/87)
2. Imam Ibnu Abdil Barr
Imam Abu Umar Yusuf bin Abdil Barr an Namiri al Andalusi, ahli hadits dan ahli fiqih:
“Adapun perkataan Umar, sebaik-baik bidah, maka bid’ah dalam bahasa Arab adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada.
Apabila bid’ah tersebut dalam agama menyalahi sunnah yang telah berlaku, maka itu bid’ah yang tidak baik, wajib mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan meninggalkan pelakunya apabila telah jelas keburukan alirannya.
Sedangkan bid’ah yang tidak menyalahi dasar syariat dan sunnah, maka itu sebaik-baik bidah.”
(Al Istidzkar, 5/152).
BAB 2 BID'AH MENURUT ALQURAN DAN HADITS SESUAI PEMAHAMAN MAZHAB HANAFI
1. Imam Badruddin al Aini
Al Imam Badruddin Mahmud bin Ahmad al Aini, ahli hadits dan pakar fiqh. Beliau mengatakan:
“Bid’ah pada mulanya adalah mengerjakan sesuatu yang belum pernah ada pada masa Rasulullah.
Kemudian bid’ah itu ada dua macam.
Apabila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik oleh syariat, maka disebut bid’ah hasanah.
Dan apabila masuk di bawah naungan sesuatu yang dianggap buruk oleh syariat, maka disebut bid’ah tercela.”
(‘Umdat Al-Qari, 11/126)
.
2. Syeikh Ibnu Abidin Al-Hanafi
Dalam kitabnya yang menjadi acuan madzhab Hanafi mengatakan:
Bid’ah itu ada lima macam (ucapan beliau "Pelaku Bidah") yang dimaksud adalah pelaku bid’ah yang haram.
Karena terkadang bid’ah hukumnya wajib seperti menegakkan dalil-dalil untuk menolak golongan sesat, mempelajari nahwu yang tujuannya untuk memahami al Quran dan Hadits, madrasah, dan setiap kebaikan yang belum dilakukan di zaman Nabi. Terkadang bid’ah makruh seperti menghias masjid. Terkadang bid’ah mubahah seperti: berlebihan dalam hal makanan, minuman enak, dan pakaian yang bagus.
(Hasyiah Ibnu Abidin juz 4/242)
3. Imam al Alusi
Al Alusi dalam tafsirnya Ruhul Maani mengatakan:
Perincian pembahasan mengenai bid’ah disebutkan oleh Imam Muhyiddin an Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim. Berkata Ulama bahwa bid’ah ada lima jenisnya: wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah..
(Tafsir al Alusi juz 20/346)
BAB 3 BID'AH MENURUT ALQURAN DAN HADITS SESUAI PEMAHAMAN MAZHAB SYAFI'I
1. Imam Syafii
Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris As Syafii, mujtahid agung pendiri madzhab Syafii yang diikuti oleh mayoritas Ahlussunnah Wal Jamaah di dunia Islam, berkata:
“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian.
Pertama:
Perkara baru yang menyalahi al Quran, Sunnah, Ijma atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya),
perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat.
Kedua:
Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al Quran, Sunnah, mau pun Ijma, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela.”
(Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafii juz 1/ 469)
Dalam riwayat lain Imam Syafii berkata:
“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela.
Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela.”
(Dituturkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari)
Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafii ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu.
Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti Izzuddin bin Abdis Salam, Imam Nawawi, Ibnu `Arofah, al Hathab al Maliki, Ibnu Abidin dan lainnya. Dari kalangan ahlul hadits ada Ibnul Arobi al Maliki, Ibnul Atsir, al Hafidz Ibnu Hajar, al Hafidz as Sakhawi, al Hafidz as Suyuthi dan lainnya.
Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al Fayyumi, al Fairuzabadi, az Zabidi dan lainnya.
BAB 4 BID'AH MENURUT ALQURAN DAN HADITS SESUAI PEMAHAMAN MAZHAB HAMBALI
1. Imam Abul Fath al Ba`li
Syeikh Syamsuddin Muhammad bin Abil Fath al Ba’li al Hambali berkata di dalam kitabnya al Mathla` `Ala Abwabil Muqni dalam bab Talak :
Bid’ah adalah termasuk perkara yang diamalkan tanpa contoh sebelumnya. Bid’ah ada dua, bid’ah petunjuk dan bid’ah sesat. Dan bid’ah terbagi sesuai pembagian hukum taklif yang lima.
(al Mathla Ala Abwabil Muqni` hal 334)
2. Al Hafidz Ibnu Rajab al Hanbali
Dalam Jamiul ulum wal Hikam juz 1 hal 266 menyebutkan:
Adapun sabda Nabi SAW:
“Hati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru karena setiap bid’ah adalah sesat.”
Ini adalah peringatan kepada umat dari mengikuti perkara-perkara bid’ah dan ditekankan lagi dengan ucapan setiap bid’ah adalah sesat.
Yang dimaksud dengan bid’ah adalah apa yang dibuat tanpa memiliki asal dari syariat yang menunjukkan kepadanya.
Adapun hal baru yang dibuat namun memiliki asal dari syariat maka ia tidak dinamakan bid’ah secara syariat walaupun itu disebut bid’ah secara bahasa.
3. Syaikh Mur`iy al Karmi al Maqdisi
Syaikh Mur`iy al Karmi, seorang ulama Hanabilah yang terkenal di masanya mengatakan dalam kitabnya:
Setiap bid’ah itu sesat, ucapan ini tidak diartikan secara mutlak. Namun dibatasi oleh ulama. Berkata Ibnu Abdis Salam ra “Bid’ah terbagi kepada yang wajib, haram, sunah, makruh dan Mubah.”
( Tahqiqil Burhan hal 141)
Rasulullah bersabda:
"Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam,
maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya”
(Shahih Muslim hadits no.1017, )
( demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi).
Hadits ini menjelaskan makna Bid’ah hasanah dan Bid’ah dhalalah.
Allah berfirman :
"Sungguh agama tauhid ini agamamu, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu,maka sembahlah aku.
Tetapi mereka itu terpecah belah dalam urusan agama di antara mereka.
Masing masing golongan itu semua akan kembali kepada Kami.
Barangsiapa mengerjakan kebaikan dan ia beriman, maka usahanya tidak akan diingkari dan sia sia, sungguh Kami-lah yang mencatat untuknya".
(QS. Al Anbiya 92-94)
Ini peringatan Allah pertama Islam agama Tauhid, Tauhid itu berasal dari kata Ahad. Jadi tidak ada Trilogi Tauhid. Lalu kedua ayat ini mengajarkan pada kita jangan merasa jadi "Tuhan". Allah tidak akan menyia nyiakan kebaikan meski baru selama ada dalil syar'i.
Allah berfirman:
"Barangsiapa berbuatan kebaikan akan dibalas 10x lipat amalnya. Dan siapa yg berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya.Mereka tidak dirugikan sedikitpun.
(Al An'am 160)
BAB 5 BIDAH MENURUT KHULAFA’URRASYIDIN
Ketika terjadi pembunuhan besar-besaran atas para sahabat (Ahlul yamaamah) yang mereka itu para Huffadh (yang hafal) Alqur’an dan Ahli Alqur’an di zaman Khalifah Abubakar Asshiddiq ra, berkata Abubakar Ashiddiq ra kepada Zeyd bin Tsabit ra :
“Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas ahlulyamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlulqur’an,
lalu ia menyarankan agar Aku (Abubakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis Alqur’an, aku berkata :
"Bagaimana aku berbuat suatu hal yang tidak diperbuat oleh Rasulullah..?,
Maka Umar berkata padaku bahwa Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar, dan engkau (zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Alqur’an dan tulislah Alqur’an..!”
Berkata Zeyd :
“Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah
saw?”, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Alqur’an”.
(Shahih Bukhari hadits no.4402 dan 6768).
Nahh, bila kita perhatikan konteks di hadist tersebut Abubakar shiddiq ra mengakui dengan ucapannya :
“Sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”, hatinya jernih menerima hal yang baru (bid’ah hasanah) yaitu mengumpulkan Alqur’an, karena sebelumnya alqur’an belum dikumpulkan menjadi satu buku, tapi terpisah pisah di hafalan sahabat, ada yang tertulis di kulit onta, di tembok, dihafal dll, ini adalah Bid’ah hasanah, justru mereka berdualah yang memulainya.
Kita perhatikan hadits yang dijadikan dalil menafikan (menghilangkan) Bid’ah hasanah mengenai semua bid’ah adalah kesesatan, diriwayatkan bahwa Rasul saw selepas melakukan shalat subuh beliau saw menghadap kami dan menyampaikan ceramah yang membuat hati berguncang, dan membuat airmata mengalir.., maka kami berkata :
“Wahai Rasulullah.. seakan akan ini adalah wasiat untuk perpisahan…, maka beri wasiatlah kami..”
Maka rasul saw bersabda :
“Kuwasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengarkan dan taatlah walaupun kalian dipimpin oleh seorang Budak afrika, sungguh diantara kalian yang berumur panjang akan melihat sangat banyak ikhtilaf perbedaan pendapat, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa’urrasyidin yang mereka itu pembawa petunjuk, gigitlah kuat kuat dengan geraham kalian (suatu kiasan untuk kesungguhan), dan hati hatilah dengan hal-hal yang baru, sungguh semua yang Bid;ah itu adalah kesesatan”.
(Mustadrak Alasshahihain hadits no.329).
Jelaslah bahwa Rasul saw menjelaskan pada kita untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah khulafa’urrasyidin, dan sunnah beliau saw telah memperbolehkan hal yang baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, dan sunnah khulafa’urrasyidin adalah anda lihat sendiri bagaimana Abubakar shiddiq ra dan Umar bin Khattab ra menyetujui bahkan menganjurkan, bahkan memerintahkan hal yang baru, yang tidak dilakukan oleh Rasul yaitu pembukuan Alqur’an, lalu pula selesai penulisannya di masa Khalifah Utsman bin Affan ra, dengan persetujuan dan kehadiran Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah.
Sempurnalah sudah keempat makhluk termulia di ummat ini, khulafa’urrasyidin melakukan bid’ah hasanah :
• Abubakar shiddiq ra di masa kekhalifahannya memerintahkan pengumpulan Alqur’an,
• Umar bin Khattab ra pula dimasa kekhalifahannya memerintahkan tarawih berjamaah dan seraya berkata :
“Inilah sebaik baik Bid’ah!”(Shahih Bukhari hadits no.1906)
• Selesai penulisan Alqur’an di masa Khalifah Utsman bin Affan ra hingga Alqur’an kini dikenal dengan nama Mushaf Utsmaniy,
• Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah menghadiri dan menyetujui hal itu.
Demikian pula hal yang dibuat-buat tanpa perintah Rasul saw adalah dua kali adzan di Shalat Jumat, tidak pernah dilakukan di masa Rasul saw, tidak di masa Khalifah Abubakar shiddiq ra, tidak pula di masa Umar bin khattab ra dan baru dilakukan di masa Utsman bin Affan ra, dan diteruskan hingga kini.
(Shahih Bulkhari hadits no.873)
Lalu berkata pula Zeyd bin haritsah ra :
”Bagaimana kalian berdua (Abubakar dan Umar) berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah?, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun(Abubakar ra) meyakinkanku (Zeyd) sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua”.
Maka kuhimbau saudara saudaraku muslimin yang kumuliakan, hati yang jernih menerima hal-hal baru yang baik adalah hati yang sehati dengan Abubakar shiddiq ra, hati Umar bin Khattab ra, hati Zeyd bin haritsah ra, hati para sahabat, yaitu hati yang dijernihkan Allah.
Dan curigalah pada dirimu bila kau temukan dirimu mengingkari hal ini, maka barangkali hatimu belum dijernihkan Allah, karena tak mau sependapat dengan mereka, belum setuju dengan pendapat mereka, masih menolak bid’ah hasanah, dan Rasul saw sudah mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf, dan peganglah perbuatanku dan perbuatan khulafa’urrasyidin, gigit dengan geraham yang maksudnya berpeganglah erat-erat pada tuntunanku dan tuntunan mereka.
Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy rahimahullah (Imam Nawawi) “Penjelasan mengenai hadits :
“Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk maka dosanya dan dosa orang yang mengikutinya”,
hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda Nabi :
“semua yang baru adalah Bid’ah, dan semua yang Bid’ah adalah sesat”, sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan Bid’ah yang tercela”.
(Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)
BAB 6 PEMBAGIAN BIDAH
1. Imam Nawawi
Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu :
1. Bidah al-wajibah (bid’ah yang wajib), yaitu segala sesuatu yang mendukung hal-hal yang wajib dan alasannya. Dalam bid’ah bentuk ini tercakup segala yang dapat memelihara agama dan dapat menjelaskan hukumnya, misalnya mengumpulkan dan menyusun mushaf Alquran atau menyebarkan ilmu yang dapat membantu memahami Alquran.
Contoh lainnya mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang menentang kemungkaran.
2. Bidah al-mandubah (bid’ah yang terpuji, sunah), yaitu segala sesuatu yang mendukung hal-hal yang sunah dan dalil-dalilnya, seperti shalat tarawih berjamaah di masjid atau membuat rambu-rambu jalan. Adalah membuat buku buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren.
3. Bidah al-mubahah (bid’ah yang mubah), yaitu segala sesuatu yang mendukung hal-hal yang dibolehkan dan dalil-dalil syariatnya, seperti bersenang-senang dalam hal-hal yang baik atau santai dalam perjalanan. Bermacam macam dari jenis makanan.
4. Bidah al-makruhah (bid’ah yang makruh), yaitu segala sesuatu yang membawa kepada yang makruh, seperti berlebihan mengerjakan hal-hal sunah yang telah ditentukan batasnya oleh Rasulullah SAW. Misalnya, banyak melakukan shalat rawatib sehingga shalat wajibnya tertunda.
5. Bidah al-muharramah (bid’ah yang haram), yaitu segala sesuatu yang mendukung hal-hal yang haram. Bid’ah dalam bentuk ini disebut juga bid’ah al-haqiqiyyah (bid’ah yang hakiki), seperti mengerjakan sesuatu yang berlawanan dengan Alquran dan sunah Nabi SAW.
(Syarh Imam Nawawi dalam shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)
Al Hafidh AL Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy rahimahullah Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya) ,seperti firman Allah :
“… yang Menghancurkan segala sesuatu”
(QS Al Ahqaf 25)
Dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau pula ayat :
“Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya”
(QS Assajdah-13),
"Dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bermakna sebagian/seluruh tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dzolim) atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul)
(Syarah Assuyuthiy Juz 3 hal 189)
2. Imam Asy Syatibi
Menurut Imam Asy-Syatibi, bid’ah dapat dibedakan atas :
• bid’ah haqiqiyyah (bid’ah yang hakiki)
Bidah haqiqiyyah ialah segala sesuatu yang tidak ada dasarnya dalam syarak, baik dari Alquran, sunah Nabi SAW, ijmak, maupun dalil-dalil lain yang biasa digunakan sebagai pedoman ulama dalam menetapkan hukum. Contohnya, menghalalkan yang haram atau sebaliknya dan menciptakan ibadah di luar ketentuan syarak (seperti melakukan dua rukuk dalam satu rakaat shalat).
• bid’ah idafiyah (bid’ah karena hal lain).
Bid’ah idafiyah yaitu sesuatu yang dipandang sebagai bid’ah berdasarkan salah satu sisinya; artinya dari sisi pertama tidak termasuk bid’ah, tetapi dari sisi lain merupakan bid’ah. Umpamanya, mengkhususkan satu hari untuk beribadah. Di satu sisi, ibadah merupakan sunah Nabi SAW tetapi mengkhususkan satu hari untuk ibadah adalah bid’ah.
Selanjutnya Imam asy-Syatibi menjelaskan bahwa bid’ah dapat pula dibedakan berdasarkan hal berikut.
1. Bid’ah amaliyah (bid’ah yang bersifat perbuatan), seperti membuat hadis palsu, menambah rakaat shalat, melakukan shalat pada waktu-waktu yang terlarang, menambah waktu puasa dari yang telah ditentukan, atau berpuasa pada waktu-waktu terlarang (seperti pada dua hari raya dan hari-hari tasyrik).
2. Bidah tarkiyah (bid’ah yang sifatnya meninggalkan suatu perbuatan). Misalnya, mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah SWT atas diri sendiri tanpa alasan yang dapat diterima oleh syarak atau meninggalkan sesuatu yang diperintahkan oleh agama tanpa alasan syariat, misalnya meninggalkan perintah untuk menutup aurat.
3. Abdullah Darraz
(wafat 1351 H/1932 M, ulama fikih asal Mesir) mengatakan, pemakaian kata bid’ah dalam syariat lebih bersifat khusus dari pemakaiannya dalam bahasa. Dalam aspek kebahasaan, kata bid’ah dipakai untuk menamai segala hal yang baru. Sedangkan dalam syariat, kata bid’ah hanya dipakai untuk menjelaskan cara atau metode baru yang tidak mempunyai dasar pada Alquran dan sunah Nabi SAW.
A. Kelompok yang berpegang dalam pengertian pertama (aspek kebahasaan) membagi bid’ah atas dua bentuk, yaitu
• bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) atau bid’ah mahmudah (bid’ah yang terpuji).
Bidah hasanah ialah bid’ah yang sesuai dengan tujuan syarak, sekalipun tidak diperbuat oleh Rasulullah SAW, seperti mengumpulkan dan menulis Alquran.
• bid’ah sayyi'ah (bid’ah yang buruk) atau bid’ah mazmumah (bid’ah yang tercela).
Bid’ah sayyi'ah adalah bid’ah yang tidak sesuai dengan tujuan syarak, misalnya melakukan shalat Dzuhur sebanyak lima rakaat.
B. Kelompok yang berpegang pada pengertian kedua (bid’ah yang lebih mengacu pada aspek syariat), membagi bid’ah dalam dua bentuk :
• bid’ah al-saiyah (bid’ah dalam kebiasaan sehari-hari).
• bid’ah at-ta‘abbudiyah (bid’ah dalam ibadah).
Namun, sebagian dari kelompok ini memandang bahwa pengertian bid’ah hanya satu, yaitu semuanya bersifat sesat. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi SAW, “Setiap bid’ah adalah sesat.” (HR Abu Dawud).
Bidah 'adiyah adalah kebiasaan (adah) duniawi yang telah diserahkan oleh Rasulullah SAW kepada umatnya untuk dilaksanakan atau ditinggalkan, seperti dalam sabdanya, “Kamu lebih tahu dengan urusan duniamu.” (HR. Muslim).
Menurut kelompok ini, bid’ah dalam arti sebenarnya terbatas pada hal-hal yang menyangkut ibadah. Kelompok ini memandang bahwa pengertian bid’ah al-wajibah dan bid’ah al-mandubah yang dikemukakan oleh kelompok bid’ah dalam aspek kebahasaan merupakan al-maslahah al-mursalah (maslahat).
Karenanya, mengumpulkan dan menuliskan Alquran, menyebarkan ilmu yang mendukung pemahaman Alquran (seperti ilmu-ilmu bahasa, ilmu fikih, dan usul fikih) tidak termasuk bid’ah, tetapi merupakan salah satu bentuk al-maslahah al-mursalah. Bid’ah hanya terbatas pada hal-hal yang menyangkut ibadah.
Semoga bermanfaat ...
Referensi :
1. Tafsir Imam al Qurthubi 2/87
2. Al Istidzkar, 5/152
3. Umdat Al-Qari, 11/126
4. Hasyiah Ibnu Abidin juz 4/242
5. Tafsir al Alusi juz 20/346
6. Kitab Manaqib asy-Syafii juz 1/ 469
7. AlAl-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari
8. Al Mathla Ala Abwabil Muqni` hal 334
9. Tahqiqil Burhan hal 141
10. Shahih Muslim hadits no.1017
11. Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban.
12. Shahih Bukhari hadits no.873, no.4402 dan 6768
13. Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105
14. Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155
15. QS Al Ahqaf 25, QS Assajdah-13, QS. Al Anbiya 92-94, Qs Al An'am 160
16. Syarah Assuyuthiy Juz 3 hal 189