By Sri-Bintang Pamungkas
Masa Rezim Jokowi ini amat sangat benci sekali bagi kelangsungan hidup Rakyat, Bangsa, Negara dan Agama. Kenapa Agama menjadi penting, karena Agama pada hakekatnya adalah untuk memperbaiki AKHLAK manusia. Sehingga tanpa Agama, sulit dibayangkan betapa kacaunya dunia ini.
Rezim Jokowi mengabaikan Agama, dan menginginkan agar Agama dipisahkan dari Politik Kenegaraan. Padahal Bab Agama ada di dalam Konstitusi UUD 1945 dan Dasar Negara adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Apa pun permainan yang sedang dimainkan, Jokowi pada hakekatnya menolak Pancasila. Soeharto pernah cukup lama berbeda pendapat, bahkan mengalami konflik dengan dan memusuhi Tokoh-tokoh dan Aktivis-aktivis Islam. Tetapi Soeharto tidak pernah berani mengabaikan Agama, apalagi Islam. Dalam tujuh kali Pemilihan Presiden, Soeharto selalu meminta dukungan Majelis Ulama Indonesia/ MUI yang terkenal dengan Doa Politiknya. Soeharto akhirnya juga menoleh kepada Islam lewat ICMI, serta tetap menjaga hubungan erat dengn Muhamnadiyah dan Nahdhatul Ulama.
Tidak demikian dengan Jokowi yang memperlihatkan sikap permusuhan yang dalam terhadap para Ulama dan Aktivis Islam, dengan mengatakan Islam mereka tidak seperti Islamnya. Jokowi pun menuduh Islam mereka sebagai radikalis dan non-toleran. Kalau Soeharto dulu menangkapi dan memenjarakan siapa saja yang menentang pendapatnya, baik yang muslim maupun non-muslim, bahkan yang terindikasi simpatisan komunis, maka Jokowi hanya memilih yang bersimbol Islam. Sekalipun Jokowi pernah menyatakan "gebug PKI", tapi dia juga membiarkan simbol-simbol Palu Arit tertebar di banyak tempat. Jokowi dengan bantuan Polri menangkapi banyak aktivis Islam dengan tuduhan hatespeach yang tertuju kepada etnis Cina, sedang pelaku hatespeach yang sebaliknya, yaitu orang-orang Cina yang menghina Islam dan Pribumi, dibiarkan bebas berkeliaran...
Demikian pula tentang paham Komunis... Dibanding dengan Soeharto yang selama 30 tahun lebih selalu memelihara dan mempertahankan posisinya yang Anti Komunis sejak Peristiwa 1965, maka Jokowi justru yang menjadi satu-satunya Presiden RI yang berani mengatakan bahwa PKI tidak bersalah dalam Peristiwa 1965 itu, dan bahwa PKI-lah yang menjadi korban fitnah... Jelaslah, bahwa ini merupakan. Pelanggaran terhadap Ketetapan MPR No. XXV/MPRS/1966. Itulah senjata Trisula Gerakan Pro-Jokowi yang bisa diidentifikasi dengan Anti Islam, Anti Pribumi/ Pro-Cina dan Pro-Komunis.
Mengenang kembali Peristiwa 30 September 1965, DN Aidit, seorang Anak Kyai di Bangka-Belitung, sebagai Pimpinan PKI, menjadi tokoh sentral Peristiwa yang terkait dengan Kudeta Gagal oleh Pasukan Cakrabirawa (Pengawal Presiden Soekarno). Sepulang dari Beijing, RRC, konon Aidit mendapat perintah langsung dari Ketua Mao Tsetung untuk menyiapkan diri menggantikan kekuasaan Soekarno, segera sesudah Soekarno meninggal karena sakit. Pada waktu itu, Soekarno memang sedang sakit berat dan mendapat perawatan dari dokter-dokter RRC. Situasi ini mirip dengan apa yang kemudian dialami oleh Pangeran Norodom Sihanouk, Pemimpin Kamboja yang sakit dan dirawat di RRC sampai meninggalnya, dan sementara itu terjadi kudeta terhadap dirinya. Aidit diperintah Mao menyiapkan diri menggantikan kekuasaan Soekarno sebelum didahului oleh pihak lain, seperti kelompok militer.
Apa yang menjadi penting dalam skenario tersebut adalah campur tangan RRC, sebuah Negara Komunis internasional. Diperkirakan tiga kapal RRC penuh bermuatan senjata sudah berlabuh di Pantai Utara Jawa, salah satunya sudah dibongkar. Senjata-senjata itu diperkirakan untuk mempersenjatai Barisan Tani Indonesia (BTI) yang Pro-PKI, yang dibentuk sebagai Angkatan Ke Lima dari Angkatan Bersenjata Indonesia.
Akhirnya memang terjadi kudeta dengan dibentuknya Dewan Revolusi oleh para pemberontak. Rakyat Indonesia di bawah pimpinan Jenderal Soeharto sepakat, bahwa PKI berada di belakang Peristiwa itu. Enam orang Jenderal TNI termasuk Panglima ABRI, serta seorang Perwira Tinggi dibunuh...
Soekarno selamat, tetapi menolak keterlibatan PKI. Ratusan ribu Pemuda dan Mahasiswa bergolak menuntut supaya PKI dibubarkan. Pergolakan berlangsung selama hampir dua tahun. Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia khususnya, praktis meniadakan kuliah selama tiga semester karena para mahasiswanya berunjuk rasa di jalanan menuntut supaya Soekarno mempertanggungjawabkan diri kepada MPR dan diadili, karena dianggap terlibat dalam Peristiwa 1965.
Sesudah melalui berbagai liku-liku perbantahan, aksi-aksi di jalanan dan melihat jatuhnya korban jiwa, seorang mahasiswa Arief Rahman Hakim, seorang Pelajar Ichwan Ridwan Rais dan seorang wartawan Zaenal Sakse, tuntutan para pemuda dan mahasiswa yang tergabung dalam Kami, Kapi/ Kappi dan Kasi untuk menggelar Sidang Istimewa MPR disetujui. Pada tanggal 7 Maret 1967 Ketua DPR Ahmad Syaikhu memanggil Sidang Istimewa MPR dan menggelar sidangnya sampai 11 Maret. Soekarno dituduh melanggar Konstitusi dan membela PKI. Pertanggungjawaban Soekarno ditolak. Soekarno dianggap bersalah dan dicabut dari kedudukannya sebagai Presiden/Mandataris MPR, digantikan oleh Jenderal Soeharto sebagai Penjabat Presiden dalam Pemerintahan Transisi, dan sekaligus Ketua Presidium Kabinet Ampera, tepat pada 11 Maret 1967. Mahasiswa kembali ke bangku kuliah dan para Pemuda kembali bekerja.
Keputusan MPR yang memecat Soekarno itu dituangkan dalam Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967. Memang ketika itu MPR hasil Pemilihan Umum masih belum terbentuk, sehingga masih berupa MPRS yang bersifat "Sementara". Di dalam MPRS tersebut masih banyak anggotanya yg berasal dari orang-orang PKI dan yang setia kepada Soekarno. Sebelum sidang, orang-orang itu dikeluarkan dari MPRS dan diganti dengan tokoh-tokoh pemuda, mahasiswa dan masyarakat reformis. Karena itu, SI-MPR berlangsung lancar dan cepat. Itulah makna dari REVOLUSI yang sesungguhnya, istilah umum dan biasa, yang selalu harus berlaku manakala Rakyat Yang Berdaulat harus menumbangkan pemimpinnya karena melanggar Daulat Rakyat.
Kejadian yang sama pun 30 tahun kemudian berlaku terhadap Soeharto. Soeharto juga dianggap melanggar Konstitusi dan berbuat aniaya terhadap Rakyat... Soeharto dipaksa mundur! Pada awalnya Soeharto masih berusaha menolak dengan membentuk Dewan Reformasi Nasional dan Kabinet Reformasi. Tetapi adanya tekanan dari dalam Negeri dengan mundurnya 14 Menteri, serta tekanan dari Luar Negeri pula, pada akhirnya Soeharto bersedia mundur. Kalau tidak, maka Soeharto pun, seperti pendahulunya, akan menghadapi SI-MPR untuk dicabut mandatnya.
Sebelumnya, kepada Soeharto disodorkan beberapa Opsi Penggantian Kekuasaan. Soeharto memilih salahsatunya, yaitu mundur sebagai Presiden RI dan menyerahkan kekuasaannya kepada Wakil Presiden BJ Habibie, yaitu sesuai dengan ketentuan Pasal 8 UUD 1945.
Bagaimana dengan Jokowi?! Jokowi tidak sekedar membiarkan PKI bangkit dan hidup kembali, tetapi juga membenci Islam Indonesia dan membenci Pribumi, Orang Indonesia Asli. Jokowi pun tidak memberikan kesejahteraan kepada rakyat, bahkan menyengsarakan. Terlebih-lebih Jokowi membangun kerjasama dengan RRC di mana ribuan, ratusan ribu, bahkan direncanakan dalam jutaan imigran Cina RRC dengan mudah bisa masuk ke Indonesia dengan alasan sebagai pekerja... Semua adalah instruksi dari Jokowi.
Bahkan beberapa hari terakhir ini muncul berita tentang adanya impor 5.000, atau bahkan 20.000, senjata berat, termasuk anti tank, anti pesawat, impor mana bukan untuk TNI dan dilakukan oleh institusi di luar TNI. Tentu saja keadaan ini mirip sekali dengan hari-hari menjelang Peristiwa 1965, peristiwa yang membikin rakyat merasa ngeri, yang pernah disebut oleh dunia internasional sebagai "tahun yang amat sangat menakutkan, mengerikan dan membahayakan kehidupan..." (the Year of Living Dangerously...).Apalagi bersamaan dengan makin dekatnya tanggal 30 September, tepat 52 tahun Peristiwa G30S 1965. Kalau dulu hanya ribuan senjata yang datang dari Cina, maka sekarang ini yang datang adalah senjata bersama orang-orang Cinanya. Akankah datang banjir darah lagi di Indonesia?!
Kalau Soekarno dan Soeharto harus jatuh, maka Joko Widodo pun kiranya harus begitu pula, khususnya lewat SI-MPR. Karena itu, tidak berlebihan kalau kiranya kepada Jokowi pun perlu disiapkan Opsi tentang Pemindahan Kekuasaan, seperti yang pernah disampaikan kepada Soeharto. Kira-kira beberapa Opsi itu adalah sebagai berikut ini, terkait di dalamnya upaya pembentukan Pemerintahan Transisi Pasca berlakunya kembali UUD 1945 Asli...
1. Pasangan Presiden/ Wakil Presiden Joko Widodo/ Jusuf Kalla dapat melanjutkan kepemimpinannya dengan mewujudkan pola Kabinet Reformasi yang sifatnya total, setelah memenuhi syarat-syarat tertentu, serta mengulang kembali sumpahnya untuk setia kepada Rakyat, Bangsa dan Negara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 Asli, sampai jabatannya berakhir dan dilaksanakannya Sidang Istimewa MPR untuk melanjutkan Pemerintahan.
2. Presiden Joko Widodo berhenti atas permintan sendiri atau dicabut mandatnya oleh MPR, dan Wakil Presiden Jusuf Kalla meneruskan kepemimpinannya sebagai Presiden sampai masa jabatannya berakhir dan dilaksanakannya Sidang Istimewa MPR untuk melanjutkan Pemerintahan.
3. Presiden dan Wakil Presiden berhenti atas permintaan sendiri atau dicabut mandat keduanya oleh MPR. Pemerintahan dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan, sampai masa jabatannya berakhir dan dilaksanakannya Sidang Istimewa MPR untuk melanjutkan Pemerintahan.
4. Presiden dan Wakil Presiden berhenti atas permintaan sendiri atau dicabut mandat keduanya oleh MPR. Pemerintahan dilaksanakan oleh Ketua MPR, Ketua Mahkamah Agung dan Panglima TNI sampai dilaksanakannya Sidang Istimewa MPR untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.
5. Presiden dan Wakil Presiden berhenti atas kemauan sendiri arau dicabut mandat keduanya oleh MPR. Pemerintahan dilaksanakan oleh Ketua MPR, Ketua Mahkamah Agung dan Panglima TNI, serta bersama dua orang Negarawan dari Kelompok Reformis yang tidak pernah menduduki jabatan dalam pemerintahan Negara sebelumnya, sampai dilaksanakannya Sidang Istimewa MPR untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.
6. Presiden dan Wakil Presiden berhenti atas kemauan sendiri, atau dicabut mandat keduanya oleh MPR. Pemerintahan dilaksanakan oleh setidaknya 5 (lima) orang Negarawan dari Kelompok Reformasi yang tidak pernah menduduki jabatan dalam pemerintahan Negara sebelumnya, sampai dilaksanakannya Sidang Istimewa MPR untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.
@SBP
28/9/17
Source : Chirpstory
Baca juga Pasca Jokowi... (VI)
Artikel sebelumnya : Pasca Jokowi... (IV)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar