Sebagai negara berkembang dengan jumlah penduduk yang relatif tinggi mencapai angka 250 juta jiwa. Indonesia dihadang dengan berbagai isu krusial dari waktu ke waktu. isu tersebut mulai pergerakan kelompok radikal mengatasnamakan agama, munculnya penuntutan hak Lesbian, Bioseksual, Guy dan Transgender (LBGT), Politik, carut-marutnya sistem ekonomi saat ini yang tengah melanda, pelecehan ulama hingga perppu ormas.
Pemerintah sebagai eksekutor baik Presiden maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus jeli dan cerdas membaca peluang untuk tetap menjaga kestabilan negara dari berbagai sisi tersebut. Salah satu yang menarik di analisa adalah, menurunya pendapatan negara dari sektor APBN sehingga berdampak pada pemangkasan anggaran di sejumlah kemeterian yang ada di Indonesia. Dalam hukum ekonomi istilah defisit dengan tidak punya uang itu merupakan 2 hal yang berbeda. Jika APBN disusun atas dasar perencanaan pembangunan semua kementerian/ lembaga negara ini bisa hasilnya defisit dan surplus jika kas yang tersedia (uang tunai dan piutang negara) di bendahara negara tidak sebesar rencana yang diajukan oleh pemerintah kekurangan untuk menutupinya inilah yang harus di atasi pemerintah, bisa dengan utang luar negeri, terbitkan obligasi dan lain-lain.
Pemerintah Gagap
Pemerintahan Jokowi-JK dinilai gagap menghadapi permasalahan bangsa. Saat ini yang dibutuhkan adalah stabilitas ekonomi.
Mengingat maraknya PHK yang terjadi di berbagai sektor, penurunan daya beli yang sudah berlangsung lama, sehingga upaya stabilisasi ekonomi harusnya menjadi prioritas penting dan mendesak dibading penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 2 tahun 2017 mengenai pembubatan ormas. Istabilitas ekonomi dapat memicu komplikasi permasalahan negara yang sangat memungkinkan terjadi krisis dan pergantian rezim secara paksa.
Pemerintah mestinya segera melakukan upaya untuk meningkat daya beli masyarakat. Karena yang kita butuhkan Perppu darurat PHK bukan darurat ormas. Kita nggak butuh Perppu ormas karena sudah diatur di UU pembubaran lewan persidangan. Yang kita butuhkan darurat Perppu.
Hanya Sebatas Kertas
PHK sektor ritel sudah merebak. Dari penutupan 7-Eleven hingga mulai menjalar ke Hypermart dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi di Giant Hero. Sejauh ini, sebanyak 14 paket ekonomi tidak mampu diimplementasikan pada aksi nyata. Pemberian insentif dan kemudahan peminjaman modal hanya di atas kertas sehingga tidak ada perbaikan ekonomi oleh pemerintah. Industri kramik mengeluhkan harga gas yang mahal padahal dalam paket kebijakan ekonomi katanya mau menurunkan harga gas dan harga listrik. Di industri ritel ada kemudahan untuk mendapatkan pinjaman bank untuk meningkatkan produksi, tapi tidak berjalan. Jadi paket kebijakan ekonomi hanya sebatas di kertas.
Para ahli ekonomi mencatat bahwa hal yang menyebabkan darurat ekonomi, salah satunya akibat korupsi sistemik yang dilakukan para pejabat publik. Salah satu bentuk yang paling umum, penyuapan pejabat pemerintah menimbulkan biaya transaksi tinggi dan cenderung memperburuk situasi orang miskin yang biasanya kurang mampu untuk membayar dan kecil kemungkinan memiliki koneksi politik untuk membantunya. Hasilnya, pola kesenjangan pendapatan yang sudah mengakar menjadi lebih susah untuk di atasi.
Rakyat Gusar
Padahal sekarang lagi gusar memikirkan melambungnya harga beras di hampir seluruh wilayah, sementara stok beras dikatakan cukup. Harga beras yang tidak turun sejak Agustus tahun lalu makin mencekik leher. Kenaikan harga beras di kisaran 25 persen sampai 30 persen jelas di luar kewajaran.
Persoalan lainnya semakin memburuknya kurs rupiah terhadap dolar AS yang mencapai Rp 13.000 dan neraca perdagangan Indonesia yang mengalami defisit beberapa waktu terakhir. Defisit neraca ini memunculkan spekulasi dari sebagian kalangan akan adanya kemunduran ekonomi sebagai ancaman pemerintahan. Ancaman ini tentu berpotensi negeri ini menjadi "darurat ekonomi". Padahal, seharusnya Indonesia mampu memanfaatkan momentum depresiasi rupiah tanpa menaikkan suku bunga BI Rate hingga 7 persen, yang akhirnya dapat menimbulkan masalah baru di kalangan pengusaha.
Selanjutnya, masih buruknya neraca transaksi berjalan ini direspons negatif oleh investor asing. Akibatnya investasi langsung ke Tanah Air menurun, karena pemilik modal menarik dananya ke luar negeri. Arus modal ke luar ini akan menyebabkan cadangan devisa nasional turun. Implikasinya Bank Indonesia berpotensi akan meningkatkan suku bunga secara signifikan pada situasi ini.
Kegaduhan Ekonomi
Tahun 2015 dikhawatirkan akan menimbulkan sedikit kebisingan dan kegaduhan ekonomi. Sedikit-banyak hal ini akan mempengaruhi perekonomian Indonesia. Indonesia telah mengalami darurat beras yang diakibatkan gagal panen di sejumlah daerah. Tentu akan terasa mengenaskan sekiranya hanya bertumpu pada aspek peningkatan produksi dan produktivitas semata.
Bukankah peluang untuk memperkecil angka kehilangan pascapanen masih bisa kita lakukan? Bayangkan, bila kita bersusah payah untuk meningkatkan produksi sekitar 5 persen, namun kehilangan panen masih di atas angka 12 persen, bukankah akan lebih pas jika kita mampu menekan losses sekitar 3 persen atau 4 persen, sehingga kita tidak terlalu sibuk hanya meningkatkan produksi dan produktivitas an sich.
Riset yang dilakukan LPIKP (2014) menunjukan bahwa saat ini Indonesia memasuki tahap rawan pangan. Pasalnya, saat ini terdapat 100 Kabupaten dari 346 Kabupaten yang memiliki kerentanan terhadap pangan. Hingga saat ini kondisi Indonesia sangat mengkhawatirkan yang ditunjukkan dengan tingginya ketergantungan pada impor pangan.
Indonesia telah mengimpor beras sebanyak 353.485 ton atau setara dengan US$183,3 juta. Data impor tersebut, telah menunjukkan bahwa Indonesia menjadi negara pengimpor terbesar nomor satu di dunia. Sedangkan Vietnam, India, Thailand dan Pakistan menjadi negara pengekspor terbesar di dunia.
Upaya meningkatkan produksi dan produktivitas padi rupanya tetap harus seirama dengan usaha maksimal dalam penanganan kehilangan hasil panenannya. Apalah artinya produksi yang tinggi dan produktivitas yang meningkat, jika kehilangan pascapanen kita biarkan terjadi seperti saat ini?
Sebaiknya kebijakan pemerintah yang diprioritaskan adalah tetap merajut keseimbangan antara sisi produksi, penanganan pascapanen dan penganekaragaman menu makanan masyarakat secara holistik dan komprehensif. Rajutan inilah yang diharapkan akan mampu memperkokoh sistem perberasan nasional di lapangan. nDengan kondisi itu, pemerintahan Jokowi-Jk harus mampu mendorong upaya merealisasikan salah satu janjinya, yakni membagikan lahan seluas 9,6 juta hektare kepada petani. Petani yang dimaksud, yakni mereka yang benar-benar tak memiliki lahan, namun punya keinginan untuk bercocok tanam. Cara ini, dinilai bisa meminimalisasi masalah ketahanan pangan (Henry Saragih, 2014).
Kesalahan Menyusun Strategi, Prioritas Dan Arah
Harus dicermati bersama tidak hanya bagi penggiat dan ahli ekonom tetapi harus melibatkan semua element masyarakat karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Keadaan seperti ini cukup berdampak signifikan pada aktifitas perekonomian masyrakat sehingga akan sangat berpengaruh terhadap penurunan daya beli masyarakat dan penurunan produksi barang serta jasa. Tentu kita akan bertanya, "Kenapa hal ini bisa terjad dana apa penyebanya, Jawabanya tiada lain yaitu akibat kesalahan dalam menyusun strategi, prioritas, arah dan tahapan pembangunan". Dalam pandangan saya, alokasi yang besar untuk proyek infrastruktur akan menanam dana yang sangat lama sedang aktifitas perekonomian harus terus berjalan sementara iklim dan cuaca juga tidak menentu akan membuat sektor pangan menjadi terganggu.
Jika melihat cara pengambilan kebijakan, pemerintah banyak melalaikan hal-hal bersifat teknis dengan mengambil kebijakan saat sebuah peristiwa telah terjadi, tindakan antisipasi, tidak disiapkan melalui data historis yang tersedia sehingga semua masalah ekonomi tidak dapat dipetakan dengan baik. Tindakan seperti ini jelas akan membuat roda perekonomian tidak berjalan dengan maksimal akan sangat mengganggu stabilitas ekonomi nasional oleh karena demikian potret ini seharusnya akan menjadi kajian khusus bagi pemerintah Indonesia dalam menyususn strategi peningkatan ekonomi bukan malah tutup mata dan mengambil jalan pintas yang berujung pada Gawatnya Ekonomi.
Sungguh ironis bangsa yang terkenal kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) mulai Sabang sampai Merauke dengan aneka hasil alam dan bumi yang berbeda tidak mampu dikelola dengan baik untuk mengembangkan meningkatkan taraf hidup ekonomi rakyat, malah yang terjadi sekarang adalah hasil-hasil alam tersebut dikuasai dan dinikmati oleh antek-antek neolib yang tidak berpihak kepada kemakmuran Indonesia.
Dimanakah gigi pemerintah sebagai panglima negara ini, dan bagaimanakah amanat Undang-undang "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh rakyat dan akan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat". Apakah itu hanya akan menjadi slogan semata ataukah SDA telah terjual dengan kerakusan kekuasaan dan politik, sehingga ekonomi kita berada dalam fase gawat dan darurat.
Kemapuan dalam mengelola data dan pemetaan masalah yang lemah untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi bangsa ini kemudian dialihkan dengan membenturkan pada isu-isu SARA yang tidak relevan, justru malah tambah memperparah keadaan. Pemerintah harus bisa merevisi kembali janji-janji politik pembangunan yang lebih masuk akal. Jika tidak ingin gagal, termasuk angka pertumbuhan ekonomi yang lebih realististis. Teorinya sudah jelas Jika aktifitas produksi industri menurun, maka otomatis akan berpengaruh pada penurunan penerimaan negara di sektor pajak, dan saat harga minyak dunia turun tentu akan mengganggu struktur penerimaan dan belanja negara dalam APBN. Sehingga jika belanja lebih besar sedang penerimaan menurun, tentu akan mempengaruhi defisit APBN. Jika dipaksakan akan bertambah besar. Semoga mengerti!
Referensi
Beritasatu
Posmetro
Penelehnews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar