Sabtu, 25 November 2017

PRESIDEN BUKAN PEDAGANG, BUMN BUKAN BARANG DAGANGAN

Oleh: Muhammad Fatih
Dulu, di rezim Megawati Soekarnoputri berkuasa, sejumlah aset strategis bangsa dilego murah ke swasta. Banyak orang sepakat, kebijakan itu sangat keliru karena penjualan aset tersebut merugikan negara. Namun, anehnya, kini langkah serupa hendak diterapkan oleh penguasa yang notabene petugas partai berlambang banteng moncong putih. Banyak pula orang mengira, latarbelakangnya sebagai pedagang mebel, menginspirasi tindakannya dalam memimpin bangsa ini untuk berjualan aset-aset bangsa.

Kita dulu sepakat, jika kebijakan Megawati sangat keliru pada 2002 lalu, saat menjual saham Indosat ke Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd (STT), dengan harga 630 juta dolar AS atau Rp5,62 triliun untuk pembelian 434.250.000 saham (41,94%), atau setara Rp12.950 persaham. Sebab pada 2008, STT menjual kembali Indosat ke Qatar Telecom QSC (Qtel) dengan harga lebih dari tiga kali lipat, yakni 1,8 miliar dolar AS atau Rp16,740 triliun. Sebuah kebijakan yang minim kajian ekonomi.

Pada tahun yang sama, Megawati yang naik jadi presiden lantaran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dilengserkan ini, juga menjual gas alam ke Tiongkok dengan harga sangat murah, hanya 3 dolas AS permillion Btu (MMBtu). Lalu ia menjual pula kapal tanker very larga crude carrier (VLCC) milik Pertamina. Akibatnya perusahaan minyak tersebut terpaksa menyewa kapal lain dengan harga mahal.

Kala itu, Megawati berdalih negara sedang sulit, beban utang luar negeri membengkak, sementara APBN juga defisit, dan dolar AS menyentuh angka Rp14.000. Tetapi apa yang terjadi setelah sejumlah Badan Usaha Milik Negaa (BUMN) dijual? Turunkah utang negara? Tidak. Saat Megawati jadi presiden (2001), utang luar negeri tercatat Rp1.273,18 triliun, namun saat ia lengser (2004), angkanya bertambah menjadi Rp1.299,5 triliun.

Kebijakan serupa ingin diulang oleh Rezim Joko Widodo. Berulang kali ia meminta para pembantunya untuk melelang aset-aset negara ke swasta. Seperti jalan tol, pelabuhan, bandara, hingga beberapa BUMN. Ia berdalih langkah tersebut bertujuan mendapatkan dana segar untuk pembangunan infrastruktur. Alasan klise yang terkesan dibuat-buat. Mereka ingin menambah aset, tetapi aset yang lama malah dijual. Apa lama-lama bangsa ini tidak akan tergadai begitu saja, karena kekayaan negara sudah berpindahtangan ke swasta?

Pemerintah bergerak cepat dalam program swastanisasi ini. Hingga akhir tahun ini, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menargetkan 15 pelabuhan dan bandara dari 30 aset yang akan diserahterimakan pengelolaannya kepada swasta. Jangka waktu masa kelolanya hingga 30 tahun. Di antara pelabuhan yang akan diswastanisasi itu adalah pelabuhan Probolinggo, Sintete, Bima, Waingapu, Sorong, Biak, Fakfak, Merauke, Ende, Manokwari, Tenau Kupang, Lembar, Kendari, Parepare, Bitung, Ternate, Pantoloan, Tanjung Wangi, Badas dan Kalabahi. Sedangkan untuk bandara antara lain Bandara Komodo, Tanjung Karang, Sentani, Samarinda Baru, Kalimarau, Radin Inten II, Hanandjoedin dan Juwata.

Tidak hanya itu, rezim Jokowi juga berencana menghapus status persero pada tiga BUMN pertambangan, PT Aneka Tambang (Persero) Tbk, PT Bukit Asam (Persero) Tbk, dan PT Timah (Persero) Tbk. Rencana tersebut akan dibahas pada Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada Rabu, 29 November 2017 mendatang. Langkah tersebut tidak lain adalah upaya swastanisasi terhadap perusahaan milik negara. Karena tanpa status persero, pemerintah bisa seenaknya menjual saham BUMN itu tanpa perlu izin dari DPR.

Apa yang sudah terjadi dengan negeri ini? Utang luar negeri semakin menumpuk, sudah menembus angka 328,17 miliar dolar AS atau setara Rp4.356 triliun. Namun, nasfu membangun infrastruktur semakin menggebu-gebu. Ekonomi rakyat kian susah, pemerintah malah sibuk jualan aset. Lapangan pekerjaan semakin sedikit, penguasa justru membentang karpet merah bagi ribuan buruh asing dari Tiongkok untuk bekerja di dalam negeri, sebagai bagian dari syarat memperoleh utang luar negeri.

Setiap kebijakan pemerintah nyaris tak ada yang berpihak kepada rakyat. Saat membangun banyak infrastruktur, pekerja Tiongkok yang didatangkan. Setelah jadi aset, dijual pula ke swasta. Sejak awal dinikmati orang asing, setelah jadi, pihak asing pula yang meraup untung. Rakyat hanya kebagian utang yang sudah kian menggunung. Entah dengan apa nanti bisa kita bayar. Mengutip slogan seorang aktivis yang kini telah terlelap nyaman di ketiak penguasa, yang dulu kerap ia dengungkan kala mengkritik pemerintah, “Kita ini bangsa apa?”

Source : politiktoday.com
http://politiktoday.com/presiden-bukan-pedagang-bumn-bukan-barang-dagangan/?utm_source=dlvr.it&utm_medium=twitter

Tidak ada komentar:

Posting Komentar