[Point of Interruption dan Sikap Keberatan BEM UI dan DPM UI terhadap Draft Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi tentang Organisasi Kemahasiswaan Perguruan Tinggi]
Ketua BEM UI, Muhammad Syaeful Mujab, dan Ketua DPM UI, Teuku Muhammad Iqbal Iftikar, menghadiri undangan sosialisasi Draft Permen Ormawa yang diselenggarakan oleh Kemenristekdikti pada tanggal 14 Desember 2017.
Forum tersebut dihadiri oleh Ketua BEM dan DPM dari 30 PTN/S seluruh Indonesia yang masing-masing didampingi oleh Pimpinan Perguruan Tinggi bidang Kemahasiswaan.
Pada forum tersebut, perwakilan mahasiswa UI menyampaikan Point of Interruption dan keberatannya terhadap rancangan Peraturan Menteri (Permen) yang akan mengatur organisasi kemahasiswaan (Ormawa) di setiap perguruan tinggi.
POI dan sikap keberatan tersebut didasari pada analisis tentang urgensi, permasalahan yang melatarbelakangi, dan potensi permasalahan yang dapat timbul jika Permen tersebut dilaksanakan.
*Point of Interruption*
1. Tidak Ada Dasar Hukum yang Mewajibkan dibentuknya Peraturan Menteri tentang Organisasi Mahasiswa
Dalam draft yang diterima, terdapat 9 peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pembentukan peraturan menteri tersebut, yang terdiri dari
(1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
(2) UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi;
(3) PP No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan;
(4) PP No. 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi;
(5) Perpres No. 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara;
(6) Perpres No. 13 Tahun 2015 tentang Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi;
(7) Keppres No. 121/P Tahun 2014 tentang Pembentukan Kementerian dan Pengangkatan Menteri Kabinet Kerja Periode 2014-2019;
(8) Permenristekdikti No. 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi; dan
(9) Permenristekdikti No. 15 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kemenristekdikti.
Kami melihat tidak ada pasal dalam peraturan perundang-undangan di atas yang memerintahkan Menteri untuk membuat peraturan yang secara khusus mengatur ormawa.
Sedangkan dalam Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 77 ayat (5) UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dijelaskan bahwa pengaturan tentang organisasi mahasiswa secara lebih lanjut diatur dalam Statuta Perguruan Tinggi, hal ini menunjukkan tidak ada delegasi dari peraturan yang lebih tinggi mengenai pengaturan organisasi kemahasiswaan melalui Peraturan Menteri.
2. Tidak ada permasalahan genting yang melatarbelakangi
Setelah menjabarkan bagaimana Peraturan Menteri yang tengah dirancang ini tidak mendapat delegasi dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sehingga hanya bersifat diskresioner, maka perlu untuk mempertimbangkan latar belakang pembentukan Permen untuk kemudian mencari tahu apakah benar penerbitan Peraturan Menteri ini berdasarkan urgensi yang jelas.
Berdasarkan pemaparan yang disampaikan dalam forum tersebut, alasan yang mendasari pembentukan Permen Ormawa adalah karena adanya kekosongan hukum yang mengatur ormawa.
Argumen ini tentu terbantahkan karena pengaturan tentang ormawa telah diatur dalam masing-masing Statuta Perguruan Tinggi, sebagaimana ditentukan dalam UU No. 12 tahun 2012.
Pengaturan ormawa melalui Statuta Perguruan Tinggi justru dinilai lebih tepat dilakukan karena penyelenggaraan kegiatan kemahasiswaan setiap kampus tentu berbeda, pengaturan melalui Statuta ini sesuai pula dengan asas kebutuhan dan kekhasan kultur kemahasiswaan.
Karenanya Peraturan Menteri tentang Organisasi Kemahasiswaan tidaklah diperlukan karena mengeneralisasi kelangsungan kegiatan kemahasiswaan dalam skala nasional secara teknis.
Apalagi tidak ada permasalahan genting yang menyebabkan Menteri perlu membuat peraturan tentang ormawa.
Berdasarkan dua Point of Interruption yang disampaikan, maka menurut kami, argumen yang mengatakan bahwa Permen Ormawa ini diperlukan telah gugur.
Selanjutnya, jika Permen Ormawa tetap diberlakukan, maka kami melihat setidaknya akan ada 4 (empat) potensi masalah yang dapat timbul.
1. Otonomi mahasiswa dalam mengelola kegiatan kemahasiswaan akan semakin terbatas
Peraturan sebelumnya yang mengatur ormawa yaitu Kepmendikbud 155/U/1998 menjelaskan bahwa kegiatan kemahasiswaan diselenggarakan dengan prinsip dari, oleh, dan untuk mahasiswa.
Hal ini memberikan peranan dan kewenangan yang besar terhadap mahasiswa untuk mengatur kegiatan kemahasiswaan.
Mahasiswa diberikan ruang untuk menentukan sendiri bentuk, struktur, AD/ART, program kerja, dan lainnya berdasarkan kesepakatan antar mahasiswa, dengan catatan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk Statuta Perguruan Tinggi.
Sedangkan dalam Permen Ormawa, Pimpinan Perguruan Tinggi justru yang diberikan *kewenangan* untuk menetapkan bentuk organisasi, organigram, AD/ART, dan program kerja.
Jika kegiatan kemahasiswaan merupakan bagian dari proses pendidikan maka pembatasan ruang gerak yang dilakukan melalui Permen ini akan menegasikan hal tersebut.
Mahasiswa hanya akan menjadi "pelaksana teknis" dari apa-apa yang telah ditetapkan oleh Pimpinan Perguruan Tinggi. Diskusi ide dan gagasan pengembangan organisasi tidak akan terjadi.
Selain itu ketentuan dalam permen ini jug mengatur hal-hal yang sifatnya *sangat teknis*.
Bahkan dalam Permen ini periodisasi organisasi diatur secara rigid dari tanggal 1 Januari sampai 31 Desember tahun berjalan.
Hal ini tentu akan menimbulkan permasalahan mengingat periodisasi organisasi kemahasiswaan di tiap kampus berbeda satu sama lain dengan memperhatikan jadwal akademik, kebutuhan, serta kultur kemahasiswaan masing-masing kampus.
2. Keberadaan organisasi lintas Perguruan Tinggi non bidang keilmuan akan diberangus
Permen tersebut hanya memberikan pengakuan terhadap organisasi lintas PT bidang keilmuan, contoh organisasi/aliansi jurusan/fakultas X se Indonesia.
Hal ini membuat organisasi lintas PT non keilmuan seperti aliansi BEM Seluruh Indonesia, BEM Nusantara, atau organisasi sejenis yang justru banyak bergerak di pergerakan sosial politik dan mitra kritis pemerintah tidak dapat berkembang dan memungkinkan untuk dibubarkan.
Selain itu, ketentuan dalam Permen tersebut mengatur bahwa Pimpinan PT dapat memberikan izin/tidak untuk ormawa mengikuti organisasi antar PT.
Ketentuan ini memberikan ruang untuk pelarangan berkegiatan dengan organisasi antar PT yang bergerak di bidang non keilmuan. Misal kegiatan aksi mahasiswa yang dilakukan oleh aliansi lintas PT untuk mengkritik pemerintah.
3. Kebebasan berserikat dan menyampaikan aspirasi akan terganggu
Ketentuan dalam Permen Ormawa yang mengatur tentang organisasi-organisasi apa saja yang boleh ada di PT memungkinkan adanya limitasi mahasiswa dalam berserikat.
Permen tersebut hanya mengakui BEM, DPM, UKM, atau penamaan lainnya sesuai dengan peraturan perguruan tinggi. Ketentuan ini akan memberikan limitasi bagi mahasiswa untuk berserikat di luar organisasi yang diakui oleh PT.
Secara lugas bahkan Permen ini memberikan larangan afiliasi dengan organ ekstra kampus. Padahal hak untuk berserikat merupakan hak konstitusional yang dimiliki oleh setiap warga negara.
4. Pemaknaan Pancasila secara sepihak sebagai alasan untuk merestriksi kebebasan berserikat dan berpendapat
Kami memahami bahwa menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi merupakan konsekuensi dari kehidupan bernegara di Indonesia.
Namun, dengan memperhatikan situasi politik saat ini, kami melihat adanya potensi membatasi ruang gerak mahasiswa dalam mengaktualisasikan dirinya. Karena definisi bertentangan dengan Pancasila akan dimonopoli oleh pemerintah.
Namun kami percaya bahwa dalam lingkungan akademik, mendiskusikan spektrum ideologi lain merupakan hal yang sangat wajar.
Bagaimana jika salah satu contohnya, ormawa melakukan kegiatan berupa diskusi pemikiran yang berbeda dengan konsep Pancasila namun hal tersebut relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan sedangkan pihak kampus mendefinisikan kegiatan tersebut bertentangan dengan Pancasila.
Berdasarkan argumen-argumen di atas, kami menyatakan keberatan terhadap rencana diberlakukannya Permenristekdikti tentang Ormawa.
Sebagai solusi terhadap permasalahan "kekosongan hukum" yang disampaikan oleh pihak kementerian, kami mengusulkan pihak kemenristekdikti untuk mendorong dibentuknya Statuta Perguruan Tinggi, untuk Perguruan Tinggi yang belum memiliki Statuta.
Hal ini sejalan dengan amanat UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan justru mendukung diterapkannya UU yang bersangkutan secara paripurna.
Nb:
Forum Sosialisasi (Hearing) draf Permen _diakhiri tanpa adanya kesimpulan yang jelas_.
Kabarnya draft terbaru _akan dibuat berdasarkan masukan-masukan yang disampaikan oleh perwakilan mahasiswa dalam forum tersebut._
Semoga Tuhan membersamai kita semua.
Hidup Mahasiswa!
Hidup Rakyat Indonesia!
16 Desember 2017,
Muhammad Syaeful Mujab - Ketua BEM UI
Teuku Muhammad Iqbal Iftikar -Ketua DPM UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar