By Endro dwi hatmanto
Dunia maya mengharu-biru dengan kritikan-kritikan pedas terhadap Arya Permadi, atau yang lebih dikenal dengan Abu Janda Al Bolliwudi karena penampilan buruknya dalam debat ILC di TVone. Debat dalam acara ini memang menghadirkan dua kubu: pendukung dan penentang gerakan 212.
Pendukung 212 diwakili oleh Fahri Hamzah, Fadli Zon, Felix Siauw dan Rocky Gerung. Penentang 212 diwakili oleh Abu Janda, Aan Anshori, dan Deny Siregar (Desi).
Namun sayang, debat antara dua kubu ini nggak imbang. Fadli Zon dan Rocky Gerung berbicara dengan intelektualitas yang tajam. Fahri Hamzah dan Felix beretorika dengan bahasa yang sangat fluent, logis dan rasional, menyentuh substansi persoalan yang sedang dibahas. Rocky Gerung jauh lebih dalam lagi menggali krisis nilai dan visi dalam kepemimpinan nasional kita.
Sebaliknya, Abu Janda gagal dalam menelisik substansi persoalan dalam diskusi. Bahkan Abu Janda sering salah dalam memilih diksi. Misalnya, dia salah ketika dia bilang bahwa lawan debatnya terjebak dalam “Logical Fallacy” karena peserta 212 memakai bendera hitam. “Kenapa tidak, merah, kuning…?”, katanya. Kalau Anda belajar tentang ‘logical fallacy’ baik dalam diskursus tulis menulis maupuan komunikasi verbal, bukan seperti ini pemaknaan logical fallacy.
Abu Janda juga melakukan ‘contradictio interminis’ ketika bilang: “Saya bukan ustadz dan tak tahu tentang hadits”. Tapi anehnya, dia mempersoalkan hadits tentang bendera yang diungkapkan oleh Felix Siauw. Ngaku nggak tahu, tapi masih juga berpendapat tentang sesuatu yang dia nggak tahu. Sebuah ‘ignorance’ yang sempurna !
Deny Siregar tak kalah menyedihkan. Dia gagal membawa substansi persoalan kedalam arena diskusi. Dia hanya bicara masalah permukaan dan gagal memberikan perspektif yang cerdas atas aksi 212.
Saya kira Deny Siregar itu cerdas. Ternyata dia tak mampu melakukan ‘discourse analysis’ atas gerakan 212. Gerakan 212 itu sejaitnya adalah sebuah ‘teks sosial’ yang sebenarnya menarik untuk diberikan persepsi secara sosial, politik dan kebudayaan. Analisa yang mendalam dalam perkara-perkara ini yang saya tunggu dari Deni Siregar. Tapi cara ngomong Deny Siregar ternyata ‘mak plekenyik’ nan ecek ecek.
MASYARAKAT YANG JARANG BACA
Pertanyaannya, mengapa bangsa kita melahirkan gimik-gimik sosial seperti Abu Janda dan Deny Siregar yang gagap dalam menelaah persoalan secara mendalam? Dan mengapa masih banyak pengikut mereka yang masih memujanya? Lucunya lagi, mengapa ada ormas yang mengundang Abu Janda memberi ceramah dan pelatihan? Weka weka weka !
Jawaban saya singkat: Karena mereka tidak banyak membaca !
Memang, datangnya zaman now yang oleh Alvin Tofler disebut sebagai gelombang ketiga melahirkan banyak gadget. Informasi makin mudah didapat. Diseminasi informasi semakin massif.
Anehnya, ketersediaan informasi dan pengetahuan tak lantas membuat orang-orang zaman now gemar membaca. Banyak penelitian yang menemukan fakta bahwa kelemahan generasi milenial adalah malas membaca. Kesukaan mereka adalah informasi-informasi pendek yang sifatnya instan.
Akibatnya fatal. Generasi yang nggak banyak baca kehilangan critical thinkingnya, tak mampu menelaah, gagal menganalisa dan melakukan sintesa, gagal melihat persoalan dari berbagai sudut pandang.
Tak usah heran kalau generasi malas baca menjadi generasi yang tidak bisa berpikir independent. Kalau dia sudah suka sama satu tokoh politik, dia akan selalu menyanjungnya, sebrengsek apapun tokoh tsb. Dia tak bisa menerima kebenaran dari tokoh politik lain yang dianggap musuhnya. Informasi yang dia cari pun adalah informasi yang mendukung opininya. Mindset nya adalah “either….’or’….Perspektifnya model kacamata kuda. Tak heran jika masih banyak yang suka Abu Janda. Inilah model kaum yang mengalami stagnasi dan keterjajahan pikiran.
SOLUSINYA: BACALAH, AGAR TIDAK MENJADI ABU JANDA
Ray Bradbury, seorang sastrawan Amerika, berujar: “You don’t have to burn books to destroy a civilization. Just get people to stop reading them”. Tak perlu membakar buku untuk menghancurkan sebuah peradaban. Cukup suruh manusia-manusianya berhenti membaca.
Ketika anak-anak bangsa berhenti membaca, runtuhlah peradaban tersebut.
Dalam konteks individu, manusia-manusia pembaca akan tercerahkan. Luas wawasannya. Jauh pandangan cakrawala pengetahuannya. Bernas kata-katanya. Mendalam analisa-analisanya. Kokoh argumentasinya.
Manusia-manusia pembaca mampu membangun kemampuan dalam berpikir kritis dan analistis. Diskusi dan perdebatannya menjadikan ilmu dan hikmah makin kaya.
Sebaliknya, rendahnya budaya membaca menghasilkan manusia-manusia yang dangkal pengetahuannya. Rabun jauh cakrawala pengetahuannya. Lemah argumentasinya.
Manusia-manusia yang malas membaca cenderung menjadi kaum ‘nyinyirun’. Ujaran-ujaran di media sosial penuh ‘kenyinyiran’, “baper”, miskin argumentasi, tak bisa move on secara intelektual, sosial, politik dan budaya.
Oleh karenanya, Fran Lebowitz, seorang penulis dan pembicara publik, memberi nasehat: “Think before you speak. Read before you think”. Berpikirlah sebelum bicara dan membacalah sebelum berpikir, agar apa yang engkau bicarakan menjadi bernas, berbobot dan bermakna.
Ayo baca, biar tidak seperti Abu Janda !
Tambahan :
Sebuah percakapan yang inspiratif :
Ambulan Rumah Sakit Jiwa yang disupiri Abu Janda terpaksa berhenti di jalan karena ban bocor. Saat sedang mengganti ban, Abu Janda tidak sengaja menendang empat baut masuk ke selokan dan hilang.
Dengan panik, Abu Janda berteriak, "Waduh, gimana gue mesti pasang ban kalau nggak ada bautnya?"
Salah satu pasien gila di dalam ambulan nyeletuk, "Bang, copotin aja tuh satu baut dari masing-masing tiga roda lainnya, terus pasang ke bannya, jadi tiap ban dapat tiga baut. Entar kalau ada toko baut, tinggal beli tuh empat baut."
Abu Janda langsung lega. "Pintar juga loe. Tapi, kalau loe sepintar ini, kenapa bisa masuk rumah sakit jiwa sih?"
Pasien itu menjawab, "HELLOOO? Pliiiis deh! Gw ini cuma gila, bukan bego kayak loe!"
Wkwkwk...
Komentar admin.
Orang gila aja menganggap 'bego' bagaimana komentar orang-orang waras
Tidak ada komentar:
Posting Komentar