Tahun 1930-an, Tuan Hassan melakukan perdebatan dengan tokoh Ahmadiyah Indonesia ketika itu, Abubakar Ayyub. Sejak awal memang Persis menetang Ahmadiyah, sebab ajarannya menyeleweng dari ajaran Islam. Penyelewengannya yang terutama adalah pengakuannya terhadap Murza Gulam Ahmad sebagai nabi setelah Nabi Muhammad Saw, dan mengaku adanya kitab suci setelah Al-Quran, yaitu Tadzkirah yang diturunkan kepada Murza Gulam Ahmad. Inilah penyelewengan yang sangat fatal. Bila mengaku ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad Saw dan ada kitab suci setelah Al-Quran, kelompok itu jelas keluar dari Islam, tidak termasuk golongan muslim.
Dalam buku “Riwayat Hidup A. Hassan”, H. Tamar Djaja menceritakan debat A. Hassan dengan tokoh Ahmadiyah itu. Dalam perdebatan itu, A. Hassan mengemukakan sebuah “hadits” yang dikutif dari kitab Murza, yang berbunyi:
“Di hari Rasulullah Saw meninggal, bumi berteriak, katanya: “Ya Allah, apakah badanku ini akan Engkau kosongkan daripada diinjak oleh kaki-kaki nabi sampai hari kiamat?” Maka Allah berfirman kepada bumi itu: “Aku akan jadikan di atas badanmu manusia yang hatinya seperti nabi-nabi.”
Abubakar Ayyub lalu menanyakan tentang riwayat hadis ini, dan A. Hassan menjawabnya tidak tahu, sambil berkata: “Apakah tuan suka hadis ini? Bila tuan suka silahkan pakai, bila tidak silahkan tolak.”
Abubakar Ayyub menolak “hadits” yang disampaikan oleh A. Hasan itu, karena tidak jelas siapa periwinya, dari mana diambilnya, dan di kitab apa tertulisnya. Pengikut Ahmadiyah yang hadir ketika itu bersorak, merasa bangga dengan tokohnya yang akan menang berdebat dengan waktu singkat, sebab A. Hassan tidak bisa menerangkan riwayat hadis yang dibacakannya. Mereka bersorak, dan Ayyub pun merasa dirinya menang. Namun kemudian A. Hassan mengatakan bahwa hadis itu terdapat di kitab Mirza, Tuhfah Baghdad, halaman 11. saat itupun pengkit Ahmadiyah diam seribu bahasa.
Giliran A. Hassan yang menyuruh Abubakar Ayyub agar bertanya kepada nabinya (Mirza) tentang riwayat hadis itu dan dari mana diambilnya, serta tanyakan pula, bagaimana bumi bisa bicara kepada manusia, sebab hadis itu bukan hadis nabi, mengingat bumi berteriak setelah Rasulullah wafat. Jadi, tegas A. Hassan, tentu ada orang lain yang mendengar omongan bumi, dan jawaban Allah itu pun orang lain yang mendengar. Siapa dia? Tanyakan kepada “nabi” Mirza.
Abubakar Ayub ketika itu sebetulnya sudah kalah total, tetapi ia masih berkelit dengan mengatakan bahwa hadis itu, bisa jadi terdapat dalam kitab “Kanzul Ummi,” masih kitabnya Ahmadiyah, namun ia bahkan melemahkan dirinya dengan mengaku tidak membawa kitab tersebut, jadi tidak bisa dilihat.
Selanjutnya A. Hassan menegaskan bahwa dengan adanya “hadits” itu sudah cukup menunjukkan kepalsuan Mirza. Lagi pula, kata A. Hassan, hadis yang dibawakan oleh Mirza itu dengan jelas menyebutkan bahwa nabi (setelah Nabi Muhammad) tidak ada lagi. Yang ada hanya orang-orang yang hatinya seperti nabi.
“Kalau perkataan yang begini terang, tuan mau putar-putar lagi, saya minta diadakan juri. Saya heran, apa sebab Ahmadiyah takut diadakan juri. Juri tidak akan makan orang!” tegas A. Hassan.
Dari perdebatan ini jelas bahwa sebenarnya Abubakar Ayyub tidak memilki hujjah (dalil) yang kuat untuk membela Mirza Gulam Ahmad sebagai seorang nabi. Meski demikian ia tidak tunduk dan menjadi pengikuti Islam yang baik. Ia tetap menjadi pengikut Ahmadiyah. Memang Abubakar Ayyub dikenal sebagai orang yang pandai memutarbalikkan fakta demi untuk mempertahankan keyakinannya kepada Ahmadiyah.
Hal itu terlihat ketika A. Hassan tak menyebut rawi hadis dan kitab yang memuatnya, keluarlah ejekan dan cemoohan. Namun kektika A. Hassan menyebutkan bahwa hadis itu tertera di kitab Tuhfah Baghdad terbitan Punjab Press Sialkot, Muharram 1311 H, Abubakar Ayyub dan pengikut Mirza lainnya pucat pasi, tetapi mereka tidak berubah keyakinan, tetap menjadi pengikuti Mirza.
Referensi Fospi.wordpress
Tidak ada komentar:
Posting Komentar