Marak dibicarakan di pelbagai media masa tentang aliran Al Qiyadah Al Islamiyah, pengakuan pendiri aliran tersebut (Ahmad Mushadiq) bahwa dirinya adalah nabi dan rasul. Sehingga menimbulkan pertentangan keyakinan umat Islam yang berdasar kepada Quran Suci dan Hadits. Tidak disangsikan lagi bahwa Nabi Suci Muhammad saw adalah Nabi terakhir, karena itu anggapan adanya nabi setelah Nabi Muhammad saw tentu saja bertentangan dengan Quran Suci dan Hadits. Cukup menggelitik dibenak saya adalah bukankah mainstream umat Islam juga umumnya meyakini bahwa akan datang lagi Nabi setelah Nabi Muhammad saw yakni Nabi Isa as? Dalam hal ini Mirza Ghulam Ahmad beserta para muridnya yang setia (Ahmadiyah Lahore) berkeyakinan teguh bahwa Nabi Suci Muhammad adalah Nabi terakhir dalam artian tidak akan datang lagi nabi, baik nabi baru maupun nabi lama, berikut ini adalah dalil-dalil dari Qur’an Suci dan Hadits.
''Maha berkah Dia Yang telah menurunkan Furqon (Pemisah) kepada hamba-Nya, agar ia menjadi juru ingat bagi bangsa-bangsa” (25:1).
Segala sesuatu itu terjadi karena kebutuhan, Karena kenabian telah sempurna pada diri Nabi Suci Muhammad saw. dan agama dalam Islam, maka sekarang dunia tidak lagi membutuhkan datangnya Nabi dan agama baru. Quran Suci menyatakan sebagai berikut:
"Muhammad bukanlah ayah salah seorang dari orang-orang kamu, melainkan ia adalah Utusan Allah dan penutup para nabi "… (33:40)
1.1 Dasar Pengertian
Sabda Ilahi dalam Quran Suci (33:40) itu mengandung tiga pernyataan yang saling berkaitan, yaitu :
1. Nabi Suci Muhammad saw. bukan ayah salah seorang lelaki turunan siapapun.
2. Nabi Suci Muhammad saw. adalah Utusan Allah.
3. Nabi Suci Muhammad saw. adalah penutup para Nabi.
1.1.1 Masalah Abuwwat
Pernyataan pertama menegaskan bahwa garis keturunan kejasmanian pada beliau tertolak. Dengan turunnya ayat tersebut lenyaplah segala perhubungan sebagai bapak dengan anak antara Nabi Suci saw. dengan Zaid anak laki-laki Haritsah, Sebelum turunnya ayat tersebut Zaid anak angkat Nabi Saw. biasa dipanggil Zaid bin Muhammad. Ayat tersebut diturunkan sebagai jawaban atas tuduhan orang-orang kafir dan munafik yang memfitnah Nabi Suci saw. telah mengawini menantunya sendiri. Perkawinan Nabi dengan Siti Zainab seorang janda, bekas isteri Zaid bin Haritsah, oleh orang-orang kafir dan munafik digunakan sebagai kesempatan untuk menodai nama baik Nabi Suci saw. Mereka menuduh bahwa Nabi Suci mengawini menantunya sendiri. Tuduhan itulah yang menyebabkan turunnya ayat tersebut. Dengan demikian teranglah bahwa Nabi Suci saw. tidak mengawini bekas menantunya sendiri, sebab Zaid bukan anak Muhammad melainkan anak Haritsah. Perkawinan itu direstui oleh Allah (33:37, 38).
1.1.2 Masalah Risalah
Pernyataan kedua menegaskan bahwa beliau adalah Utusan Allah. Hal ini menunjukkan bahwa beliau mempunyai kebapaan – (Abuwwat) yang lebih mulia, yaitu kebapaan dalam segi kerohanian. Hubungan seperti ini berlaku pula pada nabi-nabi yang lain terhadap pengikut pengikutnya. Hubungan seorang nabi dengan pengikut-pengikutnya itu bagaikan hubungan seorang ayah terhadap anak-anaknya. Sebagaimana seorang anak itu mempunyai beberapa sifat ayahnya, demikian pula pengikut-pengikut para nabi yang sempurna itu mempunyai pula beberapa sifat nabi yang diikuti pada dirinya. Misalnya: lihatlah sifat-sifat Musa as. pada umat Yahudi, sifat-sifat Yesus Kristus pada umat Kristen, sifat-sifat Budha pada umat Budhis, sifat-sifat Krisna pada umat Hindu, sifat-sifat Zarathustra pada umat Majusi, sifat-sifat Konfusius pada umat di negeri Cina dan lihatlah sifat-sifat Muhammad saw. pada umat Islam. Semua pengikut para Nabi Utusan Allah itu disebut anak-anaknya dalam arti kerohanian. Dengan demikian teranglah bahwa Nabi Suci saw. secara kejasmanian bukan ayah salah seorang lelaki turunan siapapun, tetapi beliau dalam silsilah kerohanian adalah ayah bagi seluruh umat Islam. Dan Siti Zainab bukan lagi seorang janda, bekas isteri seorang budak yang hina; akan tetapi seorang istri yang paling mulia. Siti Zainab adalah ibu orang-orang beriman.
1.1.3 Masalah Khatamunnabiyin
Pernyataan ketiga, beliau adalah QHootamu-n nabiyyiin (di Indonesiakan menjadi Khatamun nabiyin) artinya penutup para nabi, sesudah beliau tidak akan datang nabi lagi baik Nabi lama ataupun Nabi baru. Hal ini menunjukkan bahwa beliau menduduki martabat yang paling agung dan mulia daripada sekalian Nabi. Bahkan lebih mulia daripada sekalian makhluk yang diciptakan oleh Allah Ta’ala. Sebab garis keturunan (silsilah) kerohanian beliau berlaku terus sepanjang masa tidak dibatasi oleh ruang dan waktu seperti para Nabi sebelumnya[i]. Dalam 33:6 Allah menyatakan bahwa beliau adalah bapak rohani bagi segenap orang beriman sampai akhir zaman dan dalam 4:65 Allah menyatakan bahwa beliau adalah hakim dalam urusan rohani (agama) untuk selama-lamanya. Hal ini 1 ah yang menjadi dasar pengertian istilah khatamun nabiyin dalam arti penutup para Nabi.
Jadi turunnya ayat 40 surat Al Ahzab itu menyatakan maksud Allah SWT bahwa garis keturunan yang bersifat kejasmanian tidak diteruskan oleh beliau, melainkan Allah Ta’ala menjadikan beliau sebagai Nabi Utusan Allah yang terakhir. Dengan demikian silsilah yang bersifat kerohanian tak akan terputus untuk selama-lamanya di dunia ini. Hal ini menunjukkan bahwa silsilah kejasmanian itu dalam Islam tak ada harganya pada pandangan Allah SWT. Harga diri seseorang tidak , terletak kepada darah keturunan, kebangsaan dan kedudukan, tetapi terletak pada ketaqwaannya (49:13)
1.2 Arti Khatamunnabiyin
Arti khatamunnabiyin ialah penutup atau kesudahan para Nabi. Ini adalah arti yang sebenarnya, sebagaimana dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya serta para sahabat dan alim ulama Islam sepanjang zaman.
1.2.1 Menurut bahasa
Para alim ulama Islam dan ahli bahasa Arab mengartikan kata qHootamu-n nabiyyiin dengan makna penutup/penghabisan para nabi. Di bawah ini keterangan dari beberapa ahli.
1. Al Lihyani
Beliau adalah ahli bahasa Arab pada abad kedua dan ketiga Hijriah, menerangkan bahwa “qHootamul- qoum. qHootirnuhum”, artinya yang penghabisan dari mereka itu. (Lisanul Arab).
2. Abdul Ta’idz Sayid Muhammad Murthadha al Husaini
Beliau menerangkan bahwa “qHootamu-l qoum” berarti “penghabisan dari suatu kaum” (Tajul Arus}.
3. E-W. Lane
Beliau adalah ahli bahasa Arab, telah menerangkan bahwa perkataan “qHootam” dan “qHootim” berarti bahagian yang penghabisan daripada sesuatu barang dan “qHootam” berarti stempel atau cap penutup (Arabic – English Lexicon, hlm. 703).
4. Zamakhsyari
Beliau adalah mufassir kenamaan (467-538 H), karyanya yang termasyhur ialah Tafsir Quran Kasysyaf. Dalam kitab “Asasul Balaghah” beliau menerangkan bahwa “nabiyyan, qHootama-n nabiyyiin” artinya seorang nabi yang mencap (menutup) segala Nabi (dari Abdullah bin Mas’ud).
5. Abu Ja’far Muhammad ibnu Jarir at Thabari
Beliau adalah ahli tarih dan tafsir termasyhur, telah menerangkan bahwa kata “qHootama-n nabiyyiin” Itu mempunyai arti cap nabi-nabi (menurut Hasan Asim) dan “qHootima-n nabiyyiin” berarti penghabisan daripada segala nabi (Tafsir at Thabari, jus 22, him. 11).
6. Imam Raghib al Isfahani
Beliau adalah ahli kamus bahasa Arab, menerangkan sebagal berikut: “(Nabi Muhammad) qHootama nabiyyiin, karena ia menutup nubuwwat (kenabian) yakni ia cukupkan kenabian itu dengan kedatangannya” (Al Mufradat fi Gharibil Quran).
1.2.2 Menurut Quran Suci
Quran Suci sendiri juga menguraikan bahwa khatamun nabiyyin artinya penutup nabi-nabi. Sesudah Nabi Suci Muhammad saw tak akan datang nabi lagi, baik nabi lama atau nabi baru. Ada puluhan ayat yang menunjukkan bahwa sesudah Nabi Suci Muhammad saw tak diperlukan lagi datangnya seorang nabi, baik nabi lama ataupun nabi baru. Adapun ciri-cirinya bahwa beliau sebagai nabi yang terakhir Ialah:
1. Diutus untuk semua bangsa
Allah Ta’ala dalam Quran Suci berfirman sebagai berikut:
“Maha-berkah Dia Yang telah menurunkan Pemisah kepada hamba-Nya, agar ia menjadi
juru ingat bagi sekalian bangsa” (25:1),
Lagi firman-Nya:
Artinya: "Katakanlah: Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah Utusan Allah kepada kamu semuanya" (7:158)
Dua ayat ,suci tersebut di atas menegaskan bahwa Nabi Suci Muhammad saw menggantikan empat nabi nasional. Dengan datangnya Nabi Suci saw Lembaga Kenabian dibuat universal (sejagat) dalam arti yang sebenarnya. Lembaga Kenabian Nasional yang ruang lingkup ajarannya hanya terbatas bagi suatu bangsa tertentu telah berakhir. Pada zaman Nabi Suci saw sudah datang waktunya seorang nabi untuk semua bangsa di dunia, tanpa membedakan batas kedaerahan, perbedaan warna kulit, suku bangsa, bahasa dan negara. Tiap-tiap bangsa di dunia yang mempunyai sejarah agama yang berbeda-beda telah mempersatukan dalam satu yaitu Islam. Maka dari itu ajaran Islam dimulai dengan “segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam (sekalian bangsa)” (1:1). Dengan demikian segala bentuk susunan kata seperti “Tuhannya Israil” (I Samuel 25:32); yang membatasinya sebagai Tuhan dari suatu bangsa, telah ditinggalkan oleh Quran Suci dan dipergunakan kata-kata “Robbu-1 “aalamiin” (Tuhan sekalian bangsa) untuk menunjukkan bahwa ajaran Quran Suci diperuntukkan bagi segala bangsa di dunia. Para nabi sebelum Nabi Suci saw tiada seorang pun yang menyatakan diri kepada dunia, bahwa kedatangannya untuk seluruh kemanusiaan. Sebagai contoh ialah Nabi Isa as, seorang Nabi nasional yang terakhir. Kepada seorang wanita kanaan menyatakan sebagai berikut: “Aku hanya disuruh kepada seluruh domba yang sesat dari kaum Bani Israil Tidak patut diambil roti dari anak-anak lalu mencampakkannya kepada anjing” (Matius 15:26).
Jadi kesudahan kenabian pada diri Nabi Suci saw adalah dasar daripada persatuan dunia. Dunia tidak membutuhkan lagi datangnya nabi dan agama baru yang akan mengadakan umat yang baru,
2. Beriman kepada semua Kitab suci dan para nabi
Tanda kedua daripada kesudahan kenabian pada diri Nabi Suci Muhammad saw ialah kewajiban para pengikutnya untuk mengimankan kepada semua kitab suci dari para nabi tanpa membeda-bedakan antara yang satu di antara mereka (2:136; 3:83; dan lain-lain). Para nabi terdahulu tak ada yang mewajibkan kepada para pengikutnya untuk mengimankan kepada para Nabi Utusan Allah pada bangsa lain. Akan tetapi Quran Suci menerangkan bahwa mereka yang beriman ialah:
''Dan yang beriman kepada yang diturunkan kepada engkau dan apa yang diturunkan sebelum engkau" (2:4) Kalimat “maa unzila min qoblika” itu menunjukkan bahwa sesudah Nabi Suci Muhammad saw tidak akan diturunkan lagi wahyu kenabian. Wahyu kenabian hanya diturunkan sebelum Nabi Suci saw saja.
Umat Islam wajib mengimankan kepada semua kitab suci dan semua nabi, karena para nabi itu datang menyiapkan pengikut mereka untuk menerima guru jagat, yaitu Nabi Suci Muhammad saw. Semua nabi telah mendapatkan perjanjian dari Allah dan menerima sebuah kitab suci dan nubuwwat (ramalan) datangnya Nabi Agung yang akan membenarkan ajaran mereka (3:80-84)[ii]
3. Adanya petunjuk yang sempurna
Tujuan Allah membangkitkan seorang nabi untuk semua bangsa ialah untuk menyatakan kehendak-Nya bahwa agama Allah telah sempurna, ajarannya memenuhi segala kebutuhan manusia pada setiap zaman. Allah Ta’ala berfirman sebagai berikut:
"Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kamu Agama kamu dan Aku lengkapkan nikmat-Ku kepada kamu dan Aku pilihkan untuk kamu Islam sebagai agama'' (5:3),
Jadi kesempurnaan agama berhubungan erat dengan kesempurnaan kenabian. Dengan datangnya Islam, tidak diperlukan datangnya nabi lagi, baik nabi lama ataupun nabi baru, Sebab kalau masih tetap akan datang nabi lagi, pasti akan menimbulkan golongan dan umat baru. Hal ini akan menggoyahkan persatuan dunia yang dituju oleh Islam yang ajarannya melingkupi segala macam kebutuhan manusia sepanjang zaman.
4. Adanya contoh yang sempurna
Nabi Suci saw bukan hanya sebagai Nabi yang terakhir dan pembawa agama yang sempurna saja, melainkan pula sebagai contoh yang sempurna. Oleh karena itu barang siapa yang ingin memurnikan tujuan hidupnya dan ingin makrifat kepada Allah SWT cukup mencontoh tingkah laku Nabi Suci saw saja. Allah Ta’ala sendiri telah menyatakan sebagai berikut:
"Sesungguhnya kamu mempunyai dalam diri Rasulullah teladan yang baik bagi orang yang mendambakan (bertemu) dengan Allah dan Hari Akhir, dan yang ingat sebanyak-banyaknya kepada Allah" (33:21).
Di tempat yang lain Allah berfirman sebagai berikut:
"Dan sesungguhnya engkau mempunyai akhlak yang agung" (68:4)
Lagi firman-Nya:
"Utusan dari Allah, yang membacakan[iii] halaman-halaman yang suci, Yang di dalamnya berisi Kitab-kitab yang benar,''(98:2-3)
Ayat-ayat suci tersebut di atas menjelaskan bahwa hidup Nabi Suci saw adalah gambaran yang sempurna dari segala ajaran kitab suci. Keluhuran dan kesempurnaan akhlak beliau disaksikan oleh sejarah. Lawan-lawan yang hendak membunuh beliau memberi gelar Al Amin artinya orang yang dapat dipercaya. Sehingga banyak di antara mereka yang memeluk agama Islam karena tertarik kepada ketinggian akhlak Nabi Suci saw, sebagaimana dinyatakan oleh Quran Suci sebagai berikut:
"Kerap kali orang-orang kafir menginginkan sekiranya mereka dahulu Muslim" (15:2)
Siti Aisyah, seorang isteri yang paling mesra hubungannya dengan beliau mengatakan: “Akhlak-akhlak beliau adalah Al-Quran”. Oleh karena itu beliaulah satu-satunya orang yang berhak berkata:
"Jika kamu cinta kepada Allah, ikutilah aku; Allah akan mencintai kamu,409 dan melindungi kamu dari dosa. Dan Allah itu Yang Maha-pengampun, Yang Maha-pengasih" (3:30).
5. Adanya penjagaan petunjuk yang telah sempurna
Sebagai bukti kelima bahwa kenabian telah berakhir pada diri Nabi Suci saw ialah adanya jaminan Ilahi terhadap kemurnian petunjuk yang telah diwahyukan kepada Nabi Suci Muhammad saw. Allah Ta’ala berfirman dalam Quran Suci sebagai berikut:
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Peringatan, dan sesungguhnya Kami adalah penjaganya" (15:9).
Penjagaan Ilahi itu tidak diserahkan kepada manusia, melainkan terletak pada tangan Allah SWT sendiri (perhatikan kata-kata “wainnaa lahuu lakHaafiizHuun” artinya dan sesungguhnya Kami (Allah) adalah Penjaganya). Dengan demikian Quran Suci atau agama Islam tak akan mengalami nasib seperti kitab suci atau agama terdahulu. Kitab suci dan agama terdahulu baru beberapa tahun sepeninggal pembawanya telah mengalami perubahan dari pada bentuk asli, karena “mereka mengganti kata-kata dari pada tempatnya” (4:46). Sebagai contoh kitab Injil, yang disampaikan kepada Bani Israil 600 tahun sebelum Quran Suci diturunkan, dalam tempo beberapa puluh tahun sepeninggal Isa Almasih tidak dapat diketemukan lagi dalam bentuknya yang asli sebagai ajaran agama dari Nabi Allah. Telah menjadi lebih dari empat Injil yang ajarannya saling bertentangan. Hal semacam ini tidak akan terjadi pada Quran Suci sebagai petunjuk yang sempurna yang diperuntukkan kepada semua bangsa dan zaman.
6. Penjaga itu Mujadid, bukan Nabi
Penjaga petunjuk yang telah sempurna itu bukan Nabi. Dalam terminologi islam, penjaga itu disebut Mujadid artinya Pembaharu yaitu orang yang ditugaskan oleh Allah untuk mengadakan pembaharuan (tajdid) dalam Islam. Tajdid ialah usaha membersihkan kotoran-kotoran dan kesesatan-kesesatan yang masuk dalam Islam dan menyajikan gambaran Islam yang sebenarnya yang selaras dengan tuntutan zaman. Para Mujaddid itu termasuk “ulil-amri minkum”, sebagaimana dinyatakan oleh Quran Suci sebagai berikut:
“Wahai orang yang beriman, ta’atlah kepada Allah, dan ta’atlah kepada Utusan, dan kepada yang memegang kekuasaan di antara kamu; lalu jika kamu bertengkar mengenai suatu hal, kembalikanlah itu kepada Allah dan Utusan” (4:59).
Dua kali perkataan Rasul pada ayat tersebut di atas ialah Nabi Suci Muhammad saw. Petunjuk jalan kebenaran yang akan selalu datang kepada umat Islam setiap ditimpa kerusakan termasuk ulil-amri minkum (yang memegang kekuasaan di antara kamu). Ulil-amri itu bukan nabi. Termasuk ulil-amri ialah para mujadid yang datang pada permulaan tiap-tiap abad. Jadi mujadid itu bukan nabi, sebab Muhammad saw adalah Nabi yang terakhir. Maka dari itu orang dapat berselisih paham tentang datangnya ulil-amri, sesudah Nabi Suci Muhammad saw. karena ulil-amri itu bukan nabi. Itulah sebabnya maka dalam 4:59 tersebut di atas ditegaskan “jika kamu bertengkar mengenai sesuatu hal, kembali.
7. Mujadid adalah khalifatun Nabi
Bukti ketujuh bahwa kenabian telah berakhir pada diri Nabi Suci Muhammad saw ialah adanya janji Ilahi kepada umat Islam bahwa Allah SWT akan selalu membangkitkan
Allah berfirman:
"Allah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan berbuat baik, bahwa Ia pasti akan membuat mereka penguasa di bumi sebagaimana Ia telah membuat orang-orang sebelum mereka menjadi penguasa".
Hanya bedanya, khalifah-khalifah Nabi Musa as pada Bani israil adalah para nabi Utusan Allah, Allah berfirman: “Dan kami menyusulkan sesudah Musa dengan beberapa Utusan.(2:87); sedangkan khalifah Nabi Suci Muhammad saw bukan nabi, tetapi hanya seorang ulama Islam yang seperti Nabi Bani Israel, Nabi Suci bersabda: “ulama-ulama umatku seperti nabi-nabi bani Israel”. Mereka lebih termasyhur dengan sebutan Mujadid
1.2.3 Menurut nabi Muhammad saw
Sekarang perhatikanlah arti khatamunnabiyyin menurut Nabi Suci Muhammad saw sendiri. Dengan panjang lebar beliau menjelaskan bahwa Khatamun nabiyyin artinya penutup para nabi-nabi. Di bawah ini sebagian dari pernyataan-pernyataan beliau.
1. Laa nabiyya ba’di (Tak ada nabi sesudahku)
Hadits Nabi meriwayatkan sebagai berikut:
"Rasulullah pergi ke medan perang Tabuk dan meninggalkan baginda Ali. Maka Ali berkata: Mengapa saya ditinggalkan buat menjaga anak-anak dan perempuan-perempuan? Nabi bersabda:Tidakkah engkau ridha jadi menggantiku sebagaimana Harun menjadi pengganti Musa, hanya bedanya tidak ada nabi lagi sesudahku"
(Bukhari)
Hadits lain meriwayatkan sebagai berikut:
"Sesungguhnya akan datang pada umatku tiga puluh penipu. Tiap-tiap orang dari mereka akan mengaku bahwa ia seorang nabi dan saya adalah penutup para nabi dan tidak ada lagi nabi sesudahku"
(Bukhari) .
2. Nabi adalah Al “Aaqib (penghabisan)
Nabi Suci saw pernah menyatakan bahwa dirinya adalah Al “aaqib artinya yang penghabisan, yaitu penghabisan para nabi (Lane’s Lexicon, hlm. 2103). Suatu Hadis Nabi meriwayatkan sebagai berikut:
Artinya: "Saya mempunyai lima nama: Saya ini Muhammad, Ahmad dan saya Al Mahi (yang menghapuskan) karenanya Allah menghapuskan kekafiran, dan saya ini Al Hasyir (Yang mengumpulkan) karena yang mengumpulkan segala manusia mengikuti jejakku, dan saya bernama pula Al ‘Aqip (Yang penghabisan karena sesudahnya tak akan datang nabi lagi' (Bukhari-Muslim)
3. Nabi laksana batu gedung
Dalam Hadis banyak kita temukan beberapa lukisan, bahwa Nabi Suci Muhammad saw sebagai batu penjuru bagi sebuah gedung. Batu itulah yang dipasang paling akhir untuk menyempurnakan bangunan tersebut. Nabi Suci saw pernah bersabda sebagai berikut:
Artinya:
“Sesungguhnya perbandinganku dengan para nabi sebelumku itu sebagai seorang yang membikin sebuah rumah yang dibuat indah sekali dan rapi pula, kecuali sebuah batu yang ditempatkan di penjuru: maka orang-orangpun mulailah berjalan mengelilingi rumah itu, dengan takjub mereka berkata: Mengapa batu ini tidak ditempatkan? Beliau bersabda: Sayalah batu itu dan sayalah penutup para nabi (Bukhari)
4. Umarlah yang patut jadi nabi
Nabi Suci saw pernah bersabda: “Sekiranya ada lagi nabi sesudahku, dia itu adalah Umar” (Tirmidzi). Lagi Nabi Suci saw pernah bersabda sebagai berikut:
"Sekiranya aku tak dibandingkan ditengah-tengah kamu, niscaya umarlah yang dibangkitkan “(jadi Nabi Utusan Allah)” (Mirah, jilid 5, hlm 539)
Berdasarkan dua Hadis Nabi tersebut di atas, teranglah bahwa Nabi Suci saw adalah penutup para nabi. Buktinya, Umar bin Khathab tak pernah menyatakan diri sebagai nabi.
5. Yang ada hanya khalifah nabi
Nabi Suci saw menerangkan bahwa sesudah beliau tak akan datang nabi lagi, yang akan. selalu datang ialah khalifah-khalifah yang banyak. Sabdanya sebagai berikut:
"Adapun Bani Israil itu dipimpin oleh Nabi-nabi. Setiap seorang nabi wafat maka datanglah nabi yang lain, dan sesungguhnya sesudah saya tidak akan datang nabi lagi, tetapi akan ada khalifah-khalifah yang banyak "(Bukhari)
6. Khalifah, seperti nabi bani Israil
Nabi ‘Suci saw menerangkan bahwa khalifah-khalifah yang banyak itu adalah ulama Islam yang seperti nabi bani Israil. Mereka dibangkitkan pada permulaan tiap-tiap abad untuk menjaga kemurnian agama Islam. Nabi Suci saw menerangkan sebagai berikut:
Sesungguhnya Allah akan selalu membangkitkan pada umat (Islam) ini pada tiap-tiap permulaan abad seseorang yang akan memperbaiki agamanya baginya (Abi Daud).
1.2.4 Menurut sahabat Nabi
Para sahabat adalah orang yang menerima sinar rohani langsung dari Nabi Suci saw. Merekalah yang dapat menghayati semua ajaran yang disampaikan oleh Nabi Suci saw. Mereka mempunyai i’tiqad bahwa Nabi Suci saw adalah Nabi yang terakhir, sesudah beliau tak akan datang Nabi lagi, baik nabi lama maupun nabi baru, membawa syariat ataupun tidak. suatu atsar sahabat meriwayatkan sebagai berikut:
Telah berkata Ismail bin Abi Khalid: saya pernah bertanya kepada Abdullah bin Abi Aufa: Apakah tuan lihat Ibrahim anak Rasulullah? Jawabnya Ibrahim telah wafat selagi masih kecil. Jika ditakdirkan ada nabi sesudah nabi Muhammad niscaya hidup anaknya, tetapi tidak akan datang nabi sesudah beliau (Ibnu Majah)
Lagi ada suatu riwayat sebagai berikut:
"Ada orang bertanya kepada Anas. Berapa umur Ibrahim? Ia menjawab Ibrahim telah memenuhi nubuatan, dan jika ia hidup, niscaya ia jadi nabi, tetapi ia tidak hidup, karena nabi kamu (Muhammad saw) adalah Nabi yang penghabisan” (Ahmad).
1.2.5 Menurut Mirza Ghulam Ahmad
Mirza Ghulam Ahmad adalah Mujadid abad ke-14 Hijriah, yang bergelar Masih dan Mahdi. Banyak orang menuduh beliau bahwa beliau tidak percaya akan berakhirnya kenabian pada diri Nabi Muhammad saw[iv]. Tuduhan ini tidak benar! Di bawah ini adalah penjelasan beliau tentang arti khatamun nabiyyin. Katanya:
“Tidakkah engkau ketahui bahwa Tuhan Yang Maha penyayang dan Pemurah telah namakan Nabi kita saw dengan Khatamal ambiya” dengan tidak pakai kecuali, dan ditafsirkan perkataan itu oleh Nabi kita sendiri dengan perkataannya: laa nabiyya ba’di, yakni tidak ada seorang nabi sesudahku dengan terang. Jika kita bolehkan lahirnya satu nabi sesudah Nabi Suci Muhammad saw berarti kita membolehkan terbukanya pintu wahyu kenabian sesudah tertutupnya. Yang demikian ini suatu omongan yang jelek. Bagaimana bisa jadi datang seorang nabi sesudah Nabi kita saw padahal terputus wahyu nubuwwat sesudah wafatnya Nabi, dan Allah telah mengakhiri sekalian nabi dengan dia.” (Hamamatul Busyra, him. 74-77).
Pada kitabnya yang lain beliau menegaskan sebagai berikut:
“Saya mempunyai kepercayaan yang teguh bahwa Nabi kita saw ialah Nabi yang penghabisan dan tak akan datang nabi lagi sesudah beliau kepada umat ini, baik nabi baru atau nabi lama.” {Nisyan-i-Asmani, him. 28).
1.2.6 Menurut bukti sejarah
Sejarah kemanusiaan juga membuktikan bahwa silsilah kenabian telah terputus. Sudah lebih dari 1.400 tahun sesudah Nabi Suci saw tidak seorang pun yang dibangkitkan sebagai Nabi Utusan Allah. Dalam sejarah dunia hanya satu kali terjadi fatrah (kosong kenabian). Selama 600 tahun tiada seorang nabi pun yang dibangkitkan. Allah Ta’ala berfirman sebagai berikut:
Wahai kaum Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kamu Utusan Kami yang memberi penjelasan kepada kamu setelah terjadinya penghentian para Utusan, agar kamu tak berkata: Kami tak kedatangan orang yang mengemban kabar baik dan juru ingat (5:19).
Sehubungan dengan terputusnya para Utusan itu Nabi Suci saw bersabda sebagai berikut: “Laisa bainii wabainahuu nabiyyun” artinya: “Antara aku dengan dia (lsa Almasih) tak ada seorang nabipun”. (Bukhari).
Jadi waktu yang sekian lama tiada seorang nabi pun yang dibangkitkan Allah itu suatu pertanda akan datangnya seorang Utusan Allah untuk seluruh umat manusia. Selama 600 tahun dunia menanti-nanti kedatangan nabi dunia itu. Sebelum itu dalam sejarah dunia nabi-nabi datang dalam jangka waktu yang lebih pendek. Dengan demikian, jelaslah bahwa kenabian telah diakhiri.
Nabi Muhammad saw adalah nabi terakhir
Perkara bahwa nabi Muhammad saw adalah nabi terakhir, adalah perkara yang sudah pasti dan diyakini oleh semua umat Islam. Setelah risalah beliau tidak akan ada lagi nabi yang diutus Tuhan. Banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an yang menjelaskan masalah ini, misalnya ayat 41 dan 42 surah Al Furqan, ayat 19 surah Al An’am, ayat 28 surah Saba’, dan seterusnya. Begitu pula riwayat-riwayat yang tak terhitung jumlahnya menjelaskan akidah umat Islam yang satu ini, baik dari kalangan Ahlu Sunah maupun Syiah.
♣ Ada sebuah dialog antara seorang Muslim dengan orang Baha’i. Silahkan anda menyimaknya:
♥ Muslim: “Sebagaimana yang kalian nyatakan, kalian menerima kebenaran Islam dan Al Qur’an. Hanya saja kalian meyakini bahwa setelah Islam ada ajaran lain yang menghapus ajaran Islam. Aku ingin bertanya kepada kalian, bukankah banyak ayat-ayat Al Qur’an yang menjelaskan bahwa Islam adalah agama terakhir dan global hingga akhir jaman?”
♦ Baha’i: “Misalnya ayat apakah itu?”
♥ Muslim: “Di ayat ke-40 surah Al Ahzab Allah swt berfirman:
“Bukanlah Muhammad itu ayah seseorang dari kalian, namun ia adalah utusan Allah dan nabi terakhir. Dan sesungguhnya Allah maha tahu akan segala sesuatu.” (QS. Al Ahzab: 40)
Kata “khatamun nabiyyin” di ayat itu menjelaskan bahwa nabi Muhammad saw adalah nabi terakhir yang diutus Allah swt. Karana kata “khatm” itu berarti akhir dan yang mengakhiri. Jadi tidak ada nabi lain setelah Rasulullah saw yang membawa ajaran baru.”
♦ Bahai: “Khatam berarti cincin yang menjadi hiasan jari. Oleh karena itu yang dimaksud ayat tersebut adalah Rasulullah saw merupakan penghias nabi-nabi.”
♥ Muslim: “Semua ahli tafsir mengakui bahwa arti “khatam” di ayat itu adalah “pengakhir” atau “yang terakhir”, bukan cincin. Karena menurut ahli bahasa, kata khatam tidak pernah diungkapkan untuk mensifati manusia. Kata “khatam” yang berarti cincin itu pun pada mulanya berarti “pengakhir”, bukan cincin itu sendiri. Karena cincin sering digunakan sebagai stempel untuk mengakhiri surat, maka cincin disebut “khatam”.
Coba lihat pendapat para ahli bahasa tentang arti “khatam”:
1. Fairuzabadi dalam kitab Qamus Al Lughah berkata: “Khatm berarti mengecap dengan stempel. Juga berarti mengakhiri sesuatu, atau sesuatu telah sampai pada akhirnya.”
2. Jauhari dalam kitab bahasanya Shihah berkata: “Khatm berarti sampai di akhir.”
3. Ibnu Manzur dalam kitabnya Lisanul Arab berkata: “Katamul Qaum berarti orang terakhir pada suatu kaum. Sedang Khatamun Nabiyyin adalah nabi yang terakhir.”
4. Raghib dalam kitabnya Al Mufradat berkata: “Khatamun Nabiyyin yakni Rasulullah saw dengan kedatangannya telah menutup risalah kenabian dan mengakhirinya.”
Jadi, yang dimaksud dengan kata “khatam” dalam ayat tersebut adalah “terakhir”, bukan “hiasan” sebagaimana yang kalian yakini.”
♦ Baha’i: “Kata “khatam” memang benar disebut unutk cincin yang mengakhiri suatu surat karena berlaku sebagai stempel yang biasa dipakai orang-orang saat itu. Maka benar artinya nabi Muhammad adalah nabi yang membenarkan nabi-nabi sebelumnya sebagaimana stempel membenarkan isi surat di atasnya.”
♥ Muslim: “Dari segi bahasa dan percakapan dalam bahasa Arab, kata “khatam” tidak pernah digunakan sebagai pembenar sebagaimana yang kalian maksud. Kalau kalian katakan maksud “khatam” adalah “yang mengakhiri”, sebagaimana stempel itu mengakhiri sebuah surat, maka itu benar, dan artinya nabi adalah utusan Tuhan yang mengakhiri nabi-nabi.”
♦ Baha’i: “Ayat yang kau baca menyebut Rasulullah saw sebagai “khatamun nabiyyin”, yakni akhir para nabi; ayat itu tidak mengatakan beliau adalah akhir para rasul. Jadi mungkin saja ada rasul yang datang setelah beliau meskipun tidak ada nabi lain yang datang setelahnya!”
♥ Muslim: “Meskipun dalam Al Qur’an antara nabi dan rasul memiliki arti yang berbeda, misalnya Rasulullah saw menyebut nabi Ismail as sebagai nabi namun menyebut nabi Musa as sebagai rasul, namun masalah ini tidak bisa menjadi syubhat untuk syubhat untuk permasalahan “khatamun nabiyyin”, karena nabi yang dimaksud adalah nabi yang diutus dari sisi Tuhan dan diberi wahyu oleh-Nya, entah diperintahkan untuk menyampaikannya ataupun tidak, sedangkan rasul adalah nabi yang diberi wahyu lalu diperintahkan untuk menyampaikannya. Jadi semua rasul adalah nabi, dan tidak semua nabi adalah rasul. Dengan demikian ayat tersebut mencakup para rasul. Ketika difirmankan tidak akan ada nabi setelah Rasulullah saw, maka artinya rasul pun tidak akan diutus setelah itu; sebagaimana yang sudah dijelaskan, rasul adalah nabi.”
♦ Baha’i: “Penjelasan tentang nabi dan rasul begini: setiap kali ada nabi, maka tidak ada rasul, dan setiap kali ada rasul, tidak ada seorang nabi. Jadi apa yang kukatakan benar.”
♥ Muslim: “Pengertian seperti itu bertentangan dengan pendapat para ulama dan ayat serta riwayat. Buktinya ayat di atas menyebut nabi Muhammad saw sebagai rasul dan juga nabi. Ia berfirman: “Tetapi ia adalah utusan Allah (Rasulullah) dan nabi terakhir.” Banyak pula riwayat yang menjelaskan bahwa beliau juga “khatamul mursalim”, yakni akhir para rasul, akhir para utusan Tuhan. Jadi tidak benar apa yang kalian katakan.”
♦ Baha’i: “Mungkin saja maksud “khatamun nabiyyin” adalah beliau merupakan pengakhir nabi-nabi tertentu saja. Bisa jadi yang dimaksud “para nabi” bukanlah semua nabi.”
♥ Muslim: “Lucu sekali pernyataan itu. Karena orang yang kurang lebih bisa bahasa Arab ketika membaca “an nabiyyin”, yang mana kata itu adalah jamak dan memiliki alif dan lam di sebelumnya, akan memahami bahwa kata itu umum, yang artinya mencakup seluruh nabi.”[1]
Referensi :
[1] Seratus Satu Perdebatan, Muhammad Muhammadi Isytihardi, halaman 408.
[2] hauzahmaya.com
[3] KH. S. Ali Yasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar