Sabtu, 09 September 2017

KEBIJAKAN LEGALISASI PENYEDOTAN UANG RAKYAT UNTUK PARPOL

Oleh

MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

Minggu ini Menteri Keuangan (Menku) telah menyampaikan berita penting dan kontroversial. Diberitakan, Pemerintah dan DPR sudah sepakat menaikkan dana untuk parpol hingga Rp.1.000 per suara sah. Naik 10 kali lipat dari dana sebelumnya hanya Rp.108 per suara. Bagi Parpol tak punya anggota DPR juga dapat bantuan uang rakyat ini. Yakni untuk DPRD Provinsi Rp.1.200 per suara; dan DPRD Kabupaten/Kota Rp.1.500 per suara. Berita ini tentu menyenangkan bagi pimpinan Parpol. Pimpinan Parpol umumnya menyambut gembira dan  mendukung kebijakan kenaikan bantuan dana Parpol ini. Hanya seorang pimpinan PAN menolak, dan   mengusulkan  agar kenaikan dana Parpol itu dibatalkan.

Apa pertimbangan kebijakan ini? Alasan utamanya adalah untuk pencegahan korupsi dengan upaya independen Parpol. Hal ini diperkuat argumentasi, dasarnya adalah Surat KPK kepada Pemerintah bahwa Parpol memang mendapatkan dana berdasarkan suara sah dengan jumlah Rp.1 071 persuara, lebih besar ketimbang kebijakan diambil hanya Rp.1.000.

Beragam alasan pembenar telah diajukan sejumlah pimpinan Parpol. Antara lain:
1. Kenaikan bantuan dana ini memungkinkan untuk kemandirian Parpol; dan, 
2.  Parpol lebih fokus dlm menjalankan peran demi percepatan demokratisasi, termasuk pendidikan politik masyarakat dan perkaderan.

Saya pada posisi tidak setuju atas kebijakan ini. Kebijakan ini hanya "legalisasi  penyedotan", jika tidak boleh dibilang "perampokan",  uang rakyat untuk Parpol. Sungguh tidak ada relevansinya kenaikan penyedotan uang rakyat untuk Parpol ini dengan kemandirian Parpol. Justru sebaliknya, semakin banyak uang rakyat disedot untuk Parpol, semakin bergantung, tidak mandiri, pada negara. Sebagai komponen masyarakat madani, Parpol akan kehilangan eksistensi, menjadi bagian negara. Akibatnya, Parpol tidak lagi berperan sebagai komponen strategis masyarakat madani mengawasi dan menekan atau menjadi  oposisi terhadap kekuasaan negara. Akibat lanjut, prilaku kekuasaan negara kembali mundur ke arah otoriterianisme dan oligarki menguat tanpa kendali rakyat. Demokrasi menjadi semata-mata prosedural, bukan substansial.

Kenaikan dana parpol justru akan semakin memperbesar peran negara dalam proses politik di Indonesia. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi yakni meminimalkan peran negara dan memaksimalkan peran masyarakat madani dalam proses politik sebagai perwujudan kedaulatan rakyat. Berdasarkan pengalaman era reformasi ini, Parpol tidak melakukan fungsi pendidikan politik masyarakat dan perkaderan secara efektif dan terprogram  meski sudah menerima bantuan dana rakyat

Alasan berikut saya menolak kebijakan legalisasi penyedotan uang rakyat untuk Parpol  ini terkait kondisi memprihatinkan defisit APBN tahun 2018 mendatang, diperkirakan di atas Rp.326 triliun. Dalam kondisi anggaran defisit dan krisis anggaran, elite politik justru buat kebijakan tidak tepat, bukannya berupaya kurangi defisit.  Ketimbang dana rakyat banyak disedot Parpol, lebih baik dana tsb. digunakan untuk mengurangi defisit APBN atau subsidi rakyat kini daya beli merosot tajam.

Bagaimanapun, kebijakan ini akan membebani APBN. Hal ini diakui Wapres JK dan Menku.

Meski mengakui kebijakan ini membebani APBN, tetapi JK menilai ini masih  lebih baik dilakukan. Daripada Parpol itu mengejar proyek dan merugikan keuangan negara. "Tapi lebih berbahaya kalau partai-partai itu ingin kerja proyek dan lebih menyulitkan kan," tandas JK

Senada JK, Menku juga mengakui, kenaikan dana Parpol ini bisa membebani APBN  yang tengah defisit.

Sebaliknya, Menko  Perekonomian menyatakan  tidak memberatkan APBN,  hanya sekitar Rp 250 miliar.
"Itu kan kenaikannya besar. Tapi sebenarnya absolutnya enggak besar-besar banget", kilahnya.

Perlu dipahami, sebuah Sumber memperkirakan, dana dihabiskan untuk 12 Parpol peserta pemilu 2014 lalu sebelum kenaikan sebesar Rp 13,42 Miliar. Setelah kenaikan,   akan melonjak hingga Rp 124,92 Miliar. Selisih dana parpol sebelum kenaikan dan sudah kenaikan mencapai Rp 111,5 Miliar.

Diperkirakan, total dana akan diterima setiap Parpol Parlemen (punya anggota DPR)  setelah kenaikan setiap tahun sbb:

1. PDI-P, semula menerima Rp 2,5 miliar setiap tahun, akan menerima  Rp 23,7 miliar;2. Nasdem dengan  perolehan suara 8.402.812, akan menerima Rp 8,4 miliar;3. PKB dengan perolehan suara 11.298.957, akan memeroleh Rp 11,2 miliar; 4. PKS dengan perolehan 8.480.204 suara, akan menerima Rp 8,4 miliar; 5.  Golkar dengan perolehan18.432.312 suara, akan menerima Rp 18,4 miliar;
6. Gerindra dengan
perolehan  14.760.371 suara, akan menerima Rp 14,7 miliar;
7. Demokrat dengan perolehan 12.728.913 suara, akan mendapat Rp 12,7 miliar;
8. PAN dengan perolehan 9.481.621 suara,  akan menerima Rp 9,4 miliar 9. PPP
dengan perolehan 8.157.488 suara, akan mendapat Rp 8,1 miliar; dan, 10. Hanura
dengan perolehan 6.579.498 suara, akan mendapat Rp 6,5 miliar.

Disamping 10 Parpol di atas, jika PKPI dan PBB juga dianggap Parpol parlemen: 1. PKPI semula hanya menerima Rp 123,4 Juta, menjadi Rp 1,1 miliar; 2.
PBB  dengan perolehan 1.825.750 suara, akan memperoleh  Rp 1,8 miliar.

Kebijakan Rezim Jokowi ini kontroversial dengan komitmen tentang penghematan anggaran sedang digalakkan termasuk memangkas berbagai subsidi terkait kesejahteraan masyarakat dalam APBN. Terjadi ironi,  saat bantuan langsung ke rakyat dikurangi, namun bantuan uang rakyat untuk Parpol justru ditingkatkan.

Jelaslah, kebijakan kenaikan sangat tinggi (10 kali lipat) dana  Parpol ini  justru menambah beban defisit APBN. Sangat tidak layak dari perspektif  keuangan negara RI  yang sangat memprihatinkan saat ini.

Dari perspektif keuangan negara,  tentu saja kebijakan legalisasi penyedotan uang rakyat untuk Parpol ini tidak layak atau tidak pas. Hanya membebani APBN sudah  defisit.

Lalu, mengapa kebijakan ini tetap diambil? Sudah tentu, jawaban paling tepat diperoleh dari perspektif politik kekuasaan. Pertimbangan dukungan politik Parpol terhadap kelanjutan kekuasaan Rezim, salah satu jawaban atas pertanyaan dimaksud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar