Tim Penulisan Sejarah Islam Era Majapahit Lembaga hikmah dan Kebijakan Publik PDM Kota Yogyakarta
SEKAPUR SIRIH
Saya bersyukur kehadirat Allah SWT atas karunia kesempatan yang telah dilimpahkan. Dan juga berterimakasih kepada junjungan Gusti Kangjeng Nabi Agung Muhammad SAW yang senantiasa melimpahkan berkah dan syafaat beliau. Juga berterimaksih kepada seluruh sayyid ulama leluhur tanah Jawa dan Nuswantara. Baik yang tercatat dalam sejarah maupun yang tidak. Yang telah rela, tulus dan ikhlas meninggalkan jejak-jejak, petunjuk-petunjuk, maupun riwayat-riwayat sejarah Islam di Nuswantara. Berkat jejak-jejak tersebut kami para anak-cucu ini dapat melacak dan mengeksplorasi. Sekalipun untuk itu, kami harus bekerja ekstra keras. Dan kami juga harus mengikuti laku leluhur untuk bekerja dengan titi, nastiti, lan ngati-ati.
Terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada seluruh rekan-rekan penulis, peneliti, dan pendukung lainnya. Yang rela melibatkan diri dalam Tim Penulisan Sejarah Islam Majapahit. Terutama kepada Pengurus Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta. Lebih khusus lagi kepada Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik atas inspirasi, bantuan, dan dorongannya. Saya akhirnya memberanikan diri menuliskan gagasan-gagasan dan temuan-temuan menarik sepanjang sejarah Islam di Nuswantara, khususnya sejarah Kesultanan Majapahit. Kesultanan, sepanjang pengertiannya memang pantas di kenakan kepada negeri Majapahit. Hal ini disebabkan oleh rajanya yang memang telah muslim sejak awalnya.
Di samping itu, Majapahit juga dengan demikian adalah sebuah Darussalam. Mengapa Darussalam? Karena, dalam bahasa Kawi ia setara dengan istilah hadiningrat. Istilah ini sesungguhnya cukup akrab di telinga kita. Mengingat ia masih dipergunakan hingga saat ini terutama di Jawa Tengah. Misalnya Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat. Penulisan sejarah Majapahit Darussalam ini seharusnya didahului dengan penulisan dan penelitian yang seksama di seputar masa awal Islam di Nuswantara. Yakni dari masa Gusti Kangjeng Nabi SAW masih hidup, setidaknya hingga era akhir Singasari (1292).
Mungkin tulisan ini akan disusun kemudian setelah buku ini dianggap cukup untuk diterbitkan. Namun untuk memberikan penjelasan singkat mengenai hal ini, saya menyertakan sekelumit singkat tentang sejarah Islam di Nuswantara sebelum Majapahit. Meskipun hanya sekilas, namun diharapkan penjelasan serba singkat itu dapat memberikan latar belakang bagi negeri Majapahit muslim Nuswantara. Kerja keras Tim Penyusun ini sungguh menimbulkan keheranan dan kagum dari pribadi saya. Kemauan dan tekad yang sangat gigih mendorong bapak-bapak ini untuk melakukan ekspedisi-ekspedisi. Ekspedisi yang langsung ke situs-situs peninggalan Majapahit. Misalnya kunjungan ke Trowulan di Mojokerto, Jawa Timur. Ini adalah kunjungan swadana yang apa adanya. Hingga pengantar ini selesai ditulis, komunitas Lembaga Hikmah telah berkunjung ke Trowulan sebanyak 8 kali, sejak Desember 2008. Bahkan sedang merencanakan ekspedisi ke Museum Nasional “Fatahillah”, Museum Uang, Museum Maritim, dan berkunjung ke Perpustakaan Nasional, serta Pusat Dokumentasi di Jakarta.
Di samping itu bapak-bapak Lembaga Hikamh juga melakukan kunjungan kepada para akademisi dan pakar yang terkait. Antara lain berkunjung dan wawancara dengan Prof. Dr. Tulus Warsito (UMY), Prof. Dr. Damardjati Supadjar (F. Filsafat, UGM), Prof. Dr. Timbul Haryono (FIB, UGM), Prof. Dr. Ribut (FIB, UGM), Prof. Dr. Popi Romli, Dr. Andi (FIB, UGM), dll. Semuanya adalah narasumber penting dalam penulisan ini. Namun, melampaui semua itu adalah, tekad, niatan suci, dan keikhlasan dari seluruh rekan-rekan. Dengan begitu –termasuk penulis- berharap agar buku ini dapat menjadi amal saleh dan persembahan suci/ dharmasiksa ke hadirat Allah SWT. Sehingga dengan upaya penulis yang tak seberapa ini dapat memperoleh ampunan serta rahmat dari Allah SWT. Allahumma taqobbal minnaa, yaa arhamarraahimiin.
PRAWACANA
JALUR SUTRA LAUT YANG MENGAGUMKAN
Menyebut Nuswantara berarti mengacu kepada area kepulauan pra kolonial yang menjadi cikal bakal Indonesia. Efek bola bumi mengijinkan Nuswantara ditinjau sebagai sentrum globe dunia. Menurut laporan Bilveer Singh , konferensi tahunan di Hawaii mengenai Indonesia menyangkut masalah posisinya yang sangat strategis. Nuswantara/ Indonesia secara geografis terletak pada jalur perdagangan Internasional. Sekalipun saat ini kargo telah mengalami perkembangan teknologi secara mengagumkan, namun untuk kargo dalam jumlah raksasa hanya dapat dilakukan melalui lautan. Dan jalur transkontinental via lautan dari Amerika ke Eropa-Afrika hanya bisa dilakukan melalui kepulauan Nuswantara.
Lintasan transkontinental ini tak mungkin dilakukan melalui selatan Australia atau utara Kanada. Daerah tertutup oleh lautan es. Satu-satunya lintasan hanya melalui Nuswantara. Hal ini telah berlangsung sejak ribuan tahun lalu, yakni disebut sebagai Jalur Sutra Laut (dari Eropa, Timur Tengah, ke Cina). Sedangkan lintasan darat disebut sebagai Jalur Sutra Darat.
Ke dua jalur perdagangan purba ini menepis anggapan bahwa masa lalu manusia merupakan peradaban yang statis dan tribalis. Ia adalah peradaban dunia yang mobil dan dinamis. Jalur Sutra Darat menghubungkan Muslim Timur Tengah dengan Muslim China melalui Arab, Persia, Afganistan, melalui Pegunungan Tianshan, terus ke Qinghai, Gansu, Cang An/ Xian. Sedangkan Jalur Sutra Laut menghubungkan Muslim Timur Tengah, Muslim Nuswantara, dan Muslim China. Yakni melalui Teluk Parsi atau Laut Arab, melalui Teluk Bengala, lalu masuk ke Selat Malaka (Gerbang Barat Nuswantara). Dari gerbang barat Nuswantara ini terdapat dua jalur laut.
• Pertama, melalui Laut China Selatan, Brunai, Ma’man Allah / Manila, tiba di Guangzhou/ Hong Chu, Quanzhou, Hangzhou, Yangzhou, dll, termasuk kota pelabuhan Kanton.
• Kedua, karena Laut China Selatan termasuk lautn bergelombang besar, pelayaran dunia cenderung ke selatan melalui Palembang, Banten, Cirebon, Tuban (Majapahit), Warugasik/ Gresik (Majapahit), Watugaluh/ Surabaya (Majapahit), Banjarmasin, melalui Selat Makassar atau Perairan Maluku (Gerbang Timur Nuswantara), terus ke Ma’man Allah/ Manila hingga ke Kanton.
SEGITIGA EMAS NUSWANTARA KARUNIA TUHAN YME
Inilah karunia Tuhan YME kepada muslim di Nuswantara/ Indonesia. Yakni berwujud nuswa (sansekerta) atau nesos (yunani) yang artinya negeri kepulauan, negeri patirtan/ perairan. Negeri-negeri muslim di seluruh Nuswantara berada di ”segitiga emas”. Yakni dari Gerbang Barat (Selat Malaka), ke ujung Selatan di (pojok, ujung) Zawiyah/ Jawa, hingga Gerbang Timur (Perairan Sulawesi-Maluku). Dengan adanya Jalur Sutra Laut, maka seluruh perdagangan dan kargo yang melintasi lautan harus memasuki perairan Nuswantara. Konsekuensinya, setiap kapal dari seluruh dunia harus berlabuh di Nuswantara. Dan mereka harus membayar beaya labuhnya itu (semacam charge).
Karenanya muslim Nuswantara merupakan muslim terkaya dan paling makmur di seluruh Islamistand/ negeri-negeri muslim. Baik yang berada di Timur Tengah maupun yang berada di China. Masuk akal bila banyak pedagang asal Timur Tengah maupun asal China memutuskan untuk mukim di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Dan negeri-negeri manapun di Nuswantara adalah negeri yang mensejahterakan rakyat dan kawulanya. Mereka bebas mukim di Nuswantara di bawah raja-raja muslim ahli sufi dan tasawuf, atau imperial cult . Mereka membangun negeri-negeri yang saling bersaudara baik dalam hal agama Islam, maupun dalam arti genetik sesama keturunan Nabi Muhammad SAW. Seluruh pemimpin dan kawula di bumi Nuswantara hanya tinggal beribadah dan berbakti kepada Tuhan YME. Dinamika perdagangan Jalur Sutra Laut telah menjadikan Nuswantara negeri yang tata titi tentrem kertaraharja. Subhanallah.
KILASAN SEJARAH ISLAM NUSWANTARA SEBELUM KESULTANAN MAJAPAHIT
Tahun 675M, abad 7M, atau sejak 650, telah terbentuk sebuah segitiga silaturrahmi di Nuswantara, yakni antara daulat Ta Jik (Ta Ce di Swarnabhumi/ Sumatera Utara), Ho Ling (Kalingga di pesisir utara Jawadwipa)- Kanton (Kwang Tung di China Selatan). Pada era Ratu Sima bertahta di daulat Kalingga (Jepara sekarang), telah terjadi relasi silaturrahmi antara daulat-daulat muslim di Nuswantara dengan daulat muslim di China. Jaringan ini meliputi berbagai aspek kehidupan dari mulai perdagangan, pemerintahan, hingga pendidikan agama Islam .
Inilah salah satu jaringan (network) yang terjalin semenjak Imam Agung Ali bin Abithalib berkelana selama sekitar 23 tahun (632-655) keluar dan di luar pusat kepemimpinan Islam dunia, kota suci Madinah, dan Timur Tengah pada umumnya. Saat itu Timur Tengah, khususnya di kota suci Madinah, kota suci Kuffah, dan markas pembangkang Muawiyah bin Abusufyan di Damaskus, tengah terjadi konflik politik berkepanjangan. Konflik itu telah mengakibatkan beberapa hal penting dalam sejarah muslim dunia :
Pertama, berpindahnya pusat kepemimpinan Islam dunia (gingsir kedhaton) dari kota suci Madinah Munawwarah ke kota suci Kuffah di Persia (656M).
Gingsir kedhaton ini dilakukan atas titah Baginda Ngali atau Imam Agung Ali bin Abithalib yang jumeneng natapandhita (bertahta sebagai Imam, sebagai sayyidin Panatagama Khalifatullah) selama 6 tahun dari 655-661M. Kelak gingsiring kadhaton Islam ini menjadi “sunnah” atau tradisi yang lazim dilakukan oleh daulat-daulat muslim di Nuswantara. Peristiwa ini terkait dengan peletakkan pondasi kosmologis purba bagi sebaran Islam -yang rahmatan lil ‘alamin- ke seluruh dunia . Lisan Jawa kuno menyebut prinsip ini sebagai “kiblat papat, kalima pancer” untuk makrokosmos. Untuk mikrokosmos, “sedulur papat, kalima pancer”. Pancer artinya sentrum/ pusat, yaitu “khalifatullah” yang memancarkan rahmat Allah ke seluruh penjuru bumi.
Kedua, wafatnya Imam Agung Ali bin Abithalib tahun 661 di pusat kepemimpinan Islam, kota suci Kuffah di Persia.
Era kepemimpinan Baginda Ali diwarnai dengan pembangkangan beberapa elit Arab terhadap kedhaton Kuffah. Beberapa peperangan internal terjadi. Misalnya perang Jamal, adalah pembangkangan Siti Aisyah bersama Tolhah dan Zubair . Siti Aisyah adalah putri Khalifah Abu Bakar, Khalifah Islam pertama (632-634). Beliau juga termasuk salah seorang janda GK Nabi Muhammad SAW. Peperangan kecil ini berakhir dengan menyerahnya Ibu Aisyah, sehingga terjadi perdamaian. Meskipun demikian dalam peperangan ini putra angkat Ibu Aisyah, Tolhah dan Zubair, wafat. Perang Shiffin, adalah peperangan Imam Agung Ali bin Abithalib dengan kaum pembangkang. Mereka dipimpin oleh Muawiyah bin Abusufyan.
Muawiyah adalah termasuk salah seorang sahabat GK Nabi Muhammad SAW. Namun karir kepemimpinannya didasari oleh delik-delik politik semata. Bahkan tega melakukan penipuan politik terhadap Imam Agung Baginda Ngali dan sahabat-sahabat GK Nabi SAW lainnya. Kota Damaskus, markas besarnya, menjadi tempat berkumpul para petualang politik. Mereka berambisi untuk menguasai semua asset kepemimpinan Islam –sejak jaman GK Nabi SAW- yang luar biasa kaya. Damaskus juga merupakan kota besar dengan pelabuhan Libanon yang sangat ramai. Pelabuhan ini menghadap ke selat Gibraltar. Sebuah selat yanbg ramai dengan perdagangan sejak jaman kuno. Sementara di kota suci Kuffah berkumpul para sahabat yang ahli ibadah, para sufi, dan para pekerja ilmu. Mereka tetap bekerja dengan ikhlas meskipun dalam kondisi terjepit. Mereka harus bekerja cepat (hanya dalam tempo 6 tahun) dan sistematis, karena serbuan dan penipuan politik yang dilakukan muslim Damaskus (Damsyik).
Salah satu amanat ilmiyah daulat Kuffah adalah menata sistem-sistem harakat dalam metode pembacaan Al Quran. Sulit membayangkan Alquran seperti yang dibaca muslim hari ini, tanpa penataan dan kerja keras Imam Agung Baginda Ngali dan para pekerja ilmu di Kuffah saat itu . Mungkin sudah menjadi takdir Allah, kerja-kerja suci dan ilmiyah selalu memperoleh tentangan keras dari para petualang politik muslim. Mereka hanya berpikir seputar kekuasaan dan kelimpahan harta benda. Mereka tak pernah mau memahami betapa penting dan krusialnya penataan ilmiyah yang dilakukan Imam Agung Baginda Ngali bagi masa depan Islam, bahkan bagi masa depan kehidupan dunia secara keseluruhan. Mereka silau dengan gemerlapnya kekuasaan dunia muslim yang terhampar mahaluas ke seantero dunia saat itu.
Berturut-turut setelah wafatnya Imam Agung Baginda Ngali tahun 661, adalah wafatnya penerus kepemimpinan Islam dunia. Adalah Imam Hasan putra sulung Baginda Ngali di kota suci Kuffah. Setelah itu adalah wafatnya Imam Husein putra kedua Baginda Ngali di padang suci Karbala, dekat kota suci Kuffah (682M). Ketiga Imam Agung ini terbunuh oleh muslim petualang politik dan pecandu kekuasaan dari Damaskus. Bahkan pembunuhan ini telah terjadi sejak dua khalifah Islam sebelumnya. Mereka adalah Khalifah ke-2 Sayyidina Umar bin Khaththab dan Khalifah ke-3 Sayyidina Utsman bin Affan . Menarik dicermati, orang-orang Yahudi dahulu membunuh nabi-nabi pemimpin agung mereka sendiri. Dan hal yang sama dilakukan muslim Arab saat itu, yaitu membunuh para Khalifah dan Imam (natapandhita dalam lisan Nuswantara), pemimpin agung mereka sendiri.
Berikutnya, semenjak tahun 661M, kepemimpinan Islam dunia berbalik sifat dan karakternya. Para Khalifah dan Imam Agung sebelum itu menjadi pemimpin bagi pencerahan moral dan pengetahuan manusia, pembawa rahmat Allah ke seluruh dunia. Sedangkan kepemimpinan kuasa Arab baik Umayyah (661-1492) maupun Abbasiyyah (750-996) adalah kepemimpinan kekaisaran dunia. Capaian-capaian kuasa mereka semata bersifat politik dan penguasaan harta benda. Karakter kuasa politik dan harta benda semata ini, mengakhiri ajaran suci Islam untuk membawa rahmat suci bagi semesta alam raya. Kepemimpinan rahmatan Islam (kasih sayang), menjadi kekuasaan pedang dan kekejaman. Demikianlah karakter kuasa Arab yang berkembang setelah itu di sebagian dunia.
Di Nuswantara berkembang kepemimpinan Islam dengan karakter yang sangat berbeda. Islam di Nuswantara sejak awal merupakan Islam yang indah dan santun. Islam yang mengutamakan kezuhudan seperti para pendeta, namun gagah berani seperti kesatriya. Kesatuan sifat jamaliyah Allah dan sifat jalaliyah Allah menyempurna menjadi sifat kamaliyah Allah. Hal ini mengingatkan kita kepada sabda GK Nabi Muhammad SAW. “Siang seperti singa, malam seperti pendeta….” . Karakter Islam demikian ini dikatakan dengan lugas oleh Panembahan Senapati ing Alaga Mataram (1586-1601): hamemangun karyenak tyasing sesama. Islam santun yang rahmatan lil ‘alamin. Islam yang menjadi rumah tempat berteduh bagi semua hati manusia dan kemanusiaan .
Ketiga, berakhirnya tradisi ilmiyah di Kuffah.
Selama enam tahun di kota suci Kuffah, Imam Agung Baginda Ngali membangun semacam “serikat sahabat pekerja ilmu”. Serikat ini dibentuk demi membangun sistem ilmu pengetahuan dunia. Amanat ilmiyah pekerja ilmu ini menata system tanda harakat bagi aksara Al Quran sebagaimana telah dijelaskan di atas. Di samping itu yang cukup fenomenal, adalah rekonstruksi atas system dan notasi angka-angka dan huruf dari seluruh peradaban ilmiyah dunia saat itu. Kerja ilmiyah ini, membuka peluang bagi terbentuknya suatu system notasi dan angka yang dapat dipahami seluruh peradaban dunia.
Tanpa upaya ilmiyah di kota suci Kuffah ini, sulit bagi kita membayangkan sebuah dunia dengan sistem angka dan aksara yang tunggal seperti sekarang. Keempat, penistaan terhadap keluarga dan keturunan Gusti Kangjeng Nabi Muhammad SAW, khususnya terhadap keluarga Sayyidina Baginda Ngali. Delik politik memalukan dan tidak senonoh ini dilakukan oleh kedua rejim Kaisar Arab baik Dinasti Umayyah maupun Abassiyah. Kaisar Umayyah berkuasa di Damaskus selama 89 tahun (661-750), kemudian di Andalusia, Eropa, selama 742 tahun (750-1492). Kaisar Dinasti Abassiyah berkuasa di Baghdad selama 250 tahun (750-1000). Mereka adalah penguasa baru dunia Islam Arab. Hal ini berlangsung hampir selama 1000 tahun di dunia Islam Timur Tengah. Mereka menghina dan mencela Imam Agung Baginda Ngali, istri beliau Sayyidah Fathimah Zahra dan putra-putra beliau seperti Imam Hasan dan Husein. Bahkan wajib menghina Imam Agung Baginda Ngali dan keluarganya serta keturunannya di mimbar-mimbar suci seperti khutbah jum’at, khutbah Idul Fithri, khutbah Idul Adha, dan khutbah-khutbah lainnya.
Tentu saja situasi seperti ini membentuk budaya agama dan religiusitas yang tidak sehat. Secara psikologis, hal ini menjadi penyebab terjadinya was-was, histeria kolektif, dan truthphobia (takut kepada kebenaran). Mereka menjadi muslim yang keras, arogan, materialistik, dan menyukai kekejaman. Karakter yang demikian itu masih dapat kita saksikan dalam perilaku muslim di Timur Tengah hingga saat ini. Keempat, terjadinya eksodus duriyah Nabi dan tradisi ilmiyah Kuffah ke China (lewat Jalur Sutra Darat) dan ke perairan Nuswantara (lewat Jalur Sutra Laut). Situasi sosial budaya yang tidak sehat di Timur Tengah seperti dijelaskan di atas, mengakibatkan para durriyah dan pendukungnya harus meninggalkan Timur Tengah.
Muslim Nuswantara: Hamemayu Hayuning Rat
Durriyah artinya keturunan GK Nabi Muhammad SAW. Terutama perkawinan keluarga Sayyid Baginda Ngali dan Sayyidah Fatimah Az Zahra. Baginda Ngali adalah sepupu GK Nabi SAW. Beliau putra pamanda Abu Thalib pamanda dan pembela GK Nabi SAW. Sementara Sayyidah Fatimah Az Zahra adalah putri bungsu GK Nabi Muhammad SAW. Di Nuswantara, khususnya Jawa, beliau juga disebut sebagai Gusti Ayu Partimah, Ibu Pertimah, Dewi Sri Pertimah, atau Dewi Sri.
Budaya nasab resmi dan formalistik orang Arab sesungguhnya bersifat paternalistik. Ia tidak mengijinkan penyebutan nasab dari jalur seorang perempuan. Di Nuswantara, hal ini diijinkan. Nasab tidak ditinjau semata-mata formalisme dan resmi saja. Budaya muslim Nuswantara menghormati perempuan lebih dari budaya dunia manapun. Misalnya dapat disaksikan pelestarian hal ini dalam budaya maternalistik di Minangkabau. Bahkan kepemimpinan perempuan di Nuswantara juga diijinkan. Misalnya kepemimpinan :
• Sri Ratu Sima (Kalingga, 670),
• Sri Ratu Pramodhawardhani (Sailendra, 833),
• Sri Ratu Isyanatunggawijaya putri Mpu Sendok (Watugaluh, 947),
• Sri Putri Nurul A’la (Perlak, 1110),
• Sri Ratu Galuh Candrakirana (Kediri, 1117),
• Sri Ratu Ken Dedes (Singasari, 1222),
• Sri Ratu Gayatri Rajapadni (Majapahit, 1328),
• Sri Ratu Tribuana Tunggadewi (Dyah Wyat Kahuripan, 1328),
• Sri Ratu Rajadewi (Breng Daha, 1328),
• Sri Ratu Pramowardhani (Majapahit, 1389), dan
• Sri Ratu Suhita (Majapahit, 1429).
Panglima-panglima dalam peperangan melawan Kumpeni di Nuswantara, juga lazim dilakukan oleh perempuan. Misalnya :
• Cut Nyak Dien (Aceh),
• Cut Mutia (Aceh),
• Martha Tyahahu (Maluku),
• Nyahi Ageng Serang (Yogyakarta, 1829),
• Panglima Gusti Ayu Jayaningrat (Madiun, 1829), dan
• Panglima Gusti Ayu Sri Sumirah (Yogyakarta, 1829).
Dunia pergerakan pendidikan Indonesia modern juga dipenuhi oleh kepemimpinan perempuan seperti :
• RA Kartini (Jepara, 1921), dan
• Ibu Dewi Sartika (Bandung, 1925).
Itulah sebabnya, budaya sosial-politik muslim di Nuswantara –sejak awal- sangat berbeda dengan negeri-negeri Timur Tengah. Keluarga GK Nabi Muhammad SAW sangat dihormati, bahkan menjadi semangat dan inspirasi tradisi dan budaya Nuswantara. Hal ini dilakukan sebagai konsekuensi dari penghormatan terhadap GK Nabi Muhammad SAW itu sendiri. Namun penghormatan ini tidak menjulang hingga mengkultuskan mereka. Apalagi sampai menghujat dan melaknat para khulafaur rasidin. Di Timur Tengah respon terhadap penistaan menciptakan masyarakat pemuja Imam Agung Baginda Ngali dan keluarganya . Mereka juga juga balas menghujat tiga Khalifah (Abu Bakar, Umar, dan Utsman) dan sahabat-sahabat Nabi SAW.
Di Nuswantara tidak demikian halnya. Penghormatan terhadap Imam Agung Baginda Ngali dan keluarga beliau tidak disertai penghujatan terhadap tiga khalifah dan para sahabat nabi. Bahkan mereka tetap dihormati dan dimuliakan sebagai suri teladan. Sifat dan karakter muslim Nuswantara karenanya menjadi santun, aristokrat, dan unik. Perhatikan wejangan (dalam pupuh dhandhanggula) Sunan Kalijaga di bawah ini. Beliau adalah seorang ulama besar dan Qadli (hakim syariat agama) di Majapahit, Demak, dan Nuswantara umumnya pada abad ke 16M.
Panggupakaning warak sakalir
Nadyan arca myang sagara alas
Temahan rahayu kabeh
Sarwa sarira ayu
Ingideran ing widadari
Rinekseng malaekat
Sakhatahing rusul
Pan dadya sarira tunggal
Ati Adam, utekku Baginda Esis
Pangucapku ya Musa.
Artinya, bahkan hingga semua bangsa binatang. Ataupun batuan, arca, dan hutan belantara. Semuanya mendapatkan berkah dan salam. Mendapatkan hati yang indah dan suci. Yang dikelilingi para bidadari. Disaksikan para malaikat, serta sebanyak-banyak utusan Allah. Semuanya akan menyatu dalam hati sanubari. Nuraniku seperti Nabi Adam As. Pikiranku seperti Nabi Syits As. Kalamku seperti Nabi Musa As .
"Napasku Nabi Ngisa linuwih
Nabi Yakub pamiyarsaningwang
Yusup ing rupaku reke
Nabi Dawud swaraku
Njeng Suleman kasekten mami
Ibrahim kang anyawa
Idris ing rambutku
Sayyid Ngali kulitingwang
Abu Bakar getih daging
Ngumar singgih Balung Baginda Ngusman"
Artinya, jiwaku suci seperti nabi Isa As. Penglihatanku seperti nabi Yakub As. Wajahku rupawan bagaikan Yusuf As. Suaraku indah bagaikan Dawud As. Gagah berani seperti nabi Sulaiman As. Semangat dan jiwaku dari nabi Ibrahim As. Kerapian tatanan hatiku seperti nabi Idris As. Semuanya terbungkus dalam akhlaqku yang seperti Imam Agung Ali bin Abithalib ra. Sifat Sayyidina Abu Bakar mengalir dalam darahku. Ketampanan Sayyidina Umar dalam dagingku. Dan ditopang kokohnya Sayyidina Utsman bin Affan ra.
"Sungsumku Patimah kang linuwih
Aminah kang bebayuning angga
Ngayub minangka ususe
Sakehe wulu tuwuh Ing sarira tunggalan
Nabi Cahyaku ya Muhammad
Panduluku rasul Pinayungan adam syara’
Sampun jangkep sakathahing nabi wali
Dadya sarira tunggal"
Artinya, Sayyidah Fathimah Az Zahra bagaikan sumsum hidupku. Sayyidah Siti Aminah adalah penyejuk hati. Tata cara makan sebagai Nabi Ayyub As. Sebanyak apapun bagaikan bulu yang tumbuh di kulit. Menyatu dalam hati sebagai cahaya Nabi Muhammad SAW yang menerangi hidupku. Penglihatanku semoga seperti penglihatan para rasul. Yang dinaungi oleh syariat manusiawi. Telah genap seluruh nabi dan wali. Semoga menyatu dan membentuk sifat mulia dalam diriku.
Demikianlah, di Nuswantara, seorang muslim tak perlu memaki para khulafaur rasyidin, apalagi memaki keluarga Nabi Muhammad SAW. Ora elok, kata orang Jawa. Hal itu pantang dilakukan, karena tidak sesuai dengan keindahan budi pekerti, atau akhlak karimah. Karenanya, muslim Nuswantara –sejak awalnya- telah melampaui semua perdebatan, permusuhan, dan persengketaan antara mazhab Sunni-Syiah, maupun aliran-aliran lainnya di Timur Tengah. Islam di Nuswantara sejak awalnya bukan jenis muslim epigon. Meniru dan berpura-pura seperti Timur Tengah, Barat atau China. Ia adalah genre muslim yang unik. Subhanallah wa bihamdih. Secara ekstrapolatif, religiusitas Islam di Nuswantara pantas menjadi agama dunia di masa depan. Agama yang membawa dunia kepada perdamaian dan keluhuran kemanusiaan. Hamemayu hayuning rat, begitu dituliskan dalam bahasa sansekerta dan Kawi/ Jawa Kuno.
Tradisi Kuffah di Nuswantara, Mongol, dan China
Bencana politik di pusat kepemimpinan dunia Islam di Timur Tengah, mengakibatkan terjadinya eksodus para duriyah Nabi berikut tradisi ilmiyah Kuffah. Melalui Jalur Sutra Laut, para duriyah dan tradisi ilmiyah Kuffah ini melarikan diri ke perairan Nuswantara, lalu ke Kanton (China Selatan). Sedangkan lewat Jalur Sutra Darat mereka melarikan diri ke Xin Jiang (China Barat Laut). Arus eksodus para duriyah dan tradisi ilmiyah Kuffah ke Xin Jiang (China Barat Daya, efek Jalur Sutra Darat) dan sekitarnya ini menjadi cikal bakal bagi Islam di Mongol. Sedangkan arus eksodus duriyah dan tradisi ilmiyah Kuffah ke Nuswantara lalu ke Kanton (China Selatan, efek Jalur Sutra Laut) menjadi cikal bakal Islam di perairan Nuswantara dan China. Perairan Nuswantara ketika itu meliputi Swarnabhumi utara (Pali), Swarnabhumi Selatan (Sriwijaya Malayu), Jawadwipa Kulwan (Sunda), Jawadwipa tengah dan timur (Holing/ Kalingga), dan Bakulapura atau kawasan Indonesia Tengah dan Timur sekarang. Masuknya para durriyah dari Timur Tengah ke Nuswantara ini sering disamakan atau disebut dengan “para pelarian dari India” atau pelarian orang “keeling/ kaling”.
Demikian juga dengan para petualang dagang dari Arab sebelum GK Nabi Muhammad SAW lahir. Bangsa Arab termasuk dalam kategori orang Semit, bersama dengan bangsa Yahudi. Sedangkan bangsa India sekarang, termasuk dalam kategori orang Arya, bersama dengan bangsa Jerman, Iran, Afganistan, dll. Namun secara fisiologi umumnya mereka memiliki ciri-ciri yang hampir sama, sebagaimana umumnya orang-orang Timur Tengah. Sejarawan Gerini mencatat bahwa sekitar tahun 606 telah banyak pengikut GK Nabi Muhammad SAW yang mukin di Nuswantara. Mereka masuk melalui Barus dan Aceh di Swarnabumi utara. Dari sana menyebar ke seluruh Nuswantara hingga ke China selatan. Sekitar tahun 615 sahabat GK Nabi Muhammad SAW, Ibnu Mas’ud bersama kabilah Thoiyk, datang dan bermukim di Aceh. Mereka mendirikan kabilah Thoiyk. Catatan China menyebutnya Ta Chi atau Ta Jik.
Catatan Nuswantara menyebut mereka sebagai Ta Ce atau Taceh (sekarang Aceh). Sekitar tahun 670 kepemimpinan durriyah di Jawadwipa berdiri dengan munculnya Sri Ratu Sima dari Kalinggawangsa (Jepara, Jawa Tengah). Mereka bisa jadi adalah para duriyah pelarian Timur Tengah yang mukim di Jawadwipa. Mereka juga disebut dari “keling”. Tahun 800, datang rombongan pelarian Timur Tengah ke Taceh. Mereka berjumlah sekitar 100 orang yang dipimpin oleh Nakhoda Khalifah. Semua muslim di Swarnabumi utara ini kemudian membentuk kerajaan Perlak. Yakni dari nama kayu peureula (sejenis kayu jati) yang sangat baik untuk bahan pembuatan kapal waktu itu. Dan mereka menamakan pelabuhan internasional di Perlak waktu itu sebagai Bandar Khalifah.
Jadi jika di Timur Tengah berdiri kepemimpinan rejim Arab berupa Dinasti Umayyah dan Abassiyah, maka “Nakoda Khalifah” atau kepemimpinan khalifatullah fil ard, sayyidin panatagama, berdiri kokoh di Nuswantara. Percampuran para durriyah dengan orang-orang Nuswantara melestarikan genetika GK Nabi Muhammad SAW dan keluarga suci beliau. Hampir semua orang Nuswantara sekarang ini keturunan GK Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian mereka juga keturunan keluarga Imam Agung Baginda Ngali dan Sayyidah Fathimah Az Zahra.
Di samping itu, dari uraian di atas tradisi Islam di Nuswantara merupakan kelanjutan dari tradisi para sahabat, ahli ibadah, para sufi, dan juga budaya ilmiyah dari kota suci Kuffah. Hanya saja bahasa yang digunakan adalah bahasa dan tradisi sansekerta, kemudian Melayu kuno, dan Jawa kuno. Tradisi ilmiyah Kuffah di Timur Tengah melanjutkan diri dengan menerjemahkan buku-buku dari hampir seluruh budaya dunia ke dalam bahasa Arab. Misalnya menerjemahkan buku-buku karya Plato dari Yunani. Orang-orang Eropa kelak kemudian, memahami bahasa Yunani dari buku-buku terjemahan bahasa Arab ini. Jadi mereka tidak langsung mengenal bahasa Yunani seperti citra yang terjadi sekarang. Di Nuswantara, tradisi Kuffah ini melanjutkan diri juga dengan menerjemahkan buku-buku dari berbagai budaya dunia ke dalam bahasa Jawa Kuno atau Melayu Kuno. Misalnya penerjemahan Kakawin Ramayana karya Walmiki dari bahasa sansekerta ke bahasa Jawa kuno oleh seorang ulama Mdang Poh Pitu bernama Mpu Yogiswara (Sanjayawangsa, 900).
Fenomena unik yang khas Islam Nuswantara (kelanjutan dari tradisi ilmiyah di Kuffah) berikutnya adalah berdirinya universitas-universitas agama Islam. Khalifah dan para ulama durriyah di Swarnabhumi utara (Perlak) mendirikan universitas Islam Dyah Bukit de Cerek (840) dan Dyah Cotkala (850). Mereka didirikan untuk mengembangkan ajaran dan tradisi ilmiyah Islam di Nuswantara. Fenomena unik ini terjadi bahkan sebelum muncul tradisi sekolah di Andalusia dan Baghdad. Di Jawadwipa pengajaran dilakukan para ulama dengan membangun monumen-monumen berupa candi yang merupakan teks simbolik ajaran Islam sebagai pembawa rahmat ke seluruh alam raya. Hal ini kemudian juga diajarkan kepada durriyah di Champa sekitar abad 10. Sri Sultan Jayawarman (990) dari Champa ketika muda sempat belajar membuat candi ke kesultanan Sriwijaya, di Malayu, Swarnabumi Selatan. Tahun 730, seluruh Swarnabhumi/ Sumatera telah menjadi daulat-daulat Islam. Sri Sultan Jayawarman juga belajar Islam dan teknologi candi di Jawadwipa selama kurang lebih 2 tahun. Di samping itu di Jawa (Timur) di sekitar Warugasik-Watugaluh kelak kemudian berdiri Madrasah Giri.
Struktur budaya sansekerta adalah budaya simbol, maka menjadi penting bagi para ulama durriyah saat itu untuk mempelajari dan menggunakan pranata simbol demi mensosialisasikan ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Hal ini harus dilakukan demi menetapi dhawuh atau titah GK Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan risalah Islam secara “bi lisani qoumihi”. Menyesuaikan dengan dinamika tradisi dan budaya sesuai konteks peradabannya. Karenanya sungguh mengherankan jika di kalangan dunia Islam saat sekarang ini, ada upaya-upaya untuk memaksakan Arabisasi sebagai satu-satunya pola pengajaran Islam. Hal ini sudah tentu bertentangan dengan dhawuh GK Nabi Muhammad SAW di atas. Konteks social budaya Islam demikian itu diperburuk dengan upaya-upaya pelarangan penggunaan symbol-simbol, dengan alasan rasionalitas konvensional. Tentu saja hal ini membuat muslim modern di Nuswantara terputus dengan konteks sejarahnya. Mereka tak lagi mampu membaca budayanya sendiri. Mereka menjadi “tuna budaya” dan terjauhkan dari sejarahnya. Sungguh besar efek dari kondisi social budaya Islam modern hari ini. Mereka menjadi masyarakat yang gagal. Gagal menjadi diri mereka sendiri, gagal memahami diri sendiri, gagal melakukan introspeksi, dan gagal merencanakan masa depan. Kegagalan di atas menyudutkan muslim modern kepada pragmatisme akut. Mereka menjadi pemuja keberhasilan material, harta benda, dan kuasa politik. Semua itu menjadi satu-satunya orientasi hidup dan seluruh gerak kehidupannya. Inilah semangat dan inspirasi hidup muslim modern saat ini yang “sama dan identik” dengan orientasi hidup kaum materialis, sekuler, dan tanpa iman. Dalam kebutaan cultural seperti itu maka ruh “amal perjuangan” berubah menjadi radikalisme, terorisme, dan anarkisme. Semua kehilangan aspek kesuciannya karena semata berlandaskan rasa iri, dengki, dan dendam kesumat, lantaran kalah dalam perebutan gemerlapnya dunia.
Mongol
Di sisi lain, arus eksodus duriyah Nabi SAW dan tradisi ilmiyah dari kota suci Kuffah yang melalui Jalur Sutra Darat, menjadi cikal bakal Islam di Mongol, membentuk tradisi Kerajaan Islam Mongol. Semenjak Jengis Khan, Mongol sudah menjadi imperium Islam di Asia Tengah. Imperium ini memuncak pada abad 10 dan 11. Yakni ketika Hulagu, Pangeran Muslim Mongol, membumihanguskan Baghdad (996). Beliau saat itu menggunakan slogan-slogan sebagai “Pembawa Bencana dari Allah untuk Menghukum Para Pendosa (Baghdad)”. Karena dinasti Kaisar Abassiyah Baghdad, selama 3 abad telah menjadi penguasa (Islam) yang tiran, kejam, dan penista duriyah Nabi SAW.
Kesamaan latar sejarah ini juga menjelaskan kepentingan kunjungan utusan Imperium Mongol ke Singasari. Yaitu ketika jaman Sri Sultan Kertanegara (1268-1292) bertahta di Singasari. Kunjungan I Khubilai Khan, Kaisar Mongol, mengutus Meng Chei. Kunjungan II, setahun kemudian, mereka mengutus Shieh Pie, dkk. Namun fenomena histories ini masih memerlukan penelitian lebih jauh. Kelak kemudian tahun 1408 Laksamana Muhammad Ceng Ho meminta maaf atas kesalahpahaman mendiang Kubilai Khan Sultan Mongol, kepada Sri Ratu Suhita di Daha, Majapahit.
Nuswantara-China
Arus eksodus duriyah dan tradisi ilmiyah Kuffah dari Timur Tengah ini menjadi latar belakang histories terjadinya “segitiga silaturrahmi” Tajik/Taceh-Kalingga-China/ Champa. Dan relasi silaturrahmi ini akan terus terjalin secara harmonis di Nuswantara berabad-abad kemudian. Bahkan jaringan kekerabatan antar durriyah ini membentuk negeri perairan muslim duriyah yang disebut Nuswantara. Penataan, penjagaan, dan pengamanan terhadap kawasan muslim duriyah di segitiga Nuswantara (hingga China) ini sering dan terus menerus dilakukan.
Bisa jadi untuk mengantisipasi kedatangan armada kaisar Dinasti Umayyah (Andalusia, Spanyol sekarang) dan kaisar Dinasti Abassiyah (Baghdad). Di jaman Khalifah Utsman (645-655), Muawiyah bin Abusufyan dititahkan Khalifah membentuk Armada Maritim Khalifah Islamiyah di Damaskus. Muawiyah bin Abusufyan diangkat menjadi Al Amirul Bahr (atau Admiral dalam lisan Eropa). Namun setelah Khalifah Utsman wafat, armada ini tidak lagi dipergunakan untuk kepentingan Islam, melainkan untuk kepentingan kuasa politik kaisar Muawiyah.
Demikian halnya setelah tahun 750, berdirinya Dinasti kaisar Abbasiyah di Baghdad menjadi pesaing politik dinasti kaisar Umayyah. Secara maritim kaisar Abassiyah juga membangun armada untuk kepentingan kerajaannya. Namun tabiat politiknya sama dengan dinasti Umayyah. Ia juga yaitu menistakan keluarga suci GK Nabi Muhammad SAW, khususnya keluarga Imam Agung Baginda Ngali. Mereka juga menghujat keluarga GK Nabi SAW dan keluarga Baginda Ngali dalam khutbah-khutbahnya. Dua daulat politik ini menjadi ancaman bagi kepemimpinan durriyat di Nuswantara. Namun kepemimpinan durriyat di Nuswantara diuntungkan fakta sejarah, bahwa mereka kemudian lebih direpotkan oleh peperangan menghadapi Eropa dan sekitarnya.
Ekspedisi Maritim Internal
Meskipun begitu, secara historis tercatat ekspedisi-ekspedisi maritim dari sultan-sultan muslim di Nuswantara/ Jawa. Semuanya bertujuan menjaga silaturrahmi dan keamanan perairan Nuswantara. Hal ini terus berlangsung selama kurun 1000 tahun (sekitar tahun 800 sampai 1800). Tahun 840, abad 9M, berdiri Kesultanan muslim duriyah-Kuffah di Perlak, Aceh sekarang, di sisi barat Selat Malaka. Kerajaan ini merupakan kebangkitan kepemimpinan para duriyah-Kuffah di dunia Islam. Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak adalah keturunan duriyah-Kuffah sejak jaman Tajik tahun 650. Gelar “Saiyidin Maulana” secara jelas menunjukkan identitas duriyahnya. Kemudian tahun itu juga Bandar Perlak berganti nama menjadi Bandar Khalifah. Pergantian nama ini seakan mengumumkan kepada dunia Islam bahwa Pelabuhan dan negeri Perlak di Nuswantara adalah kekhalifahan yang sesungguhnya.
Kepemimpinan Islam dunia dari para durriyah Nabi SAW yang meneruskan Imamah dan Nubuwah. Di sisi lain, bandar ini sangat strategis karena merupakan gerbang (Selat Malaka) memasuki perairan Nuswantara-China. Kepemimpinan duryah-Kuffah di Nuswantara ini juga membangun Universitas Islam non-Timur Tengah pertama di dunia. Yaitu Universitas Islam Dyah Bukit de Cerek di Perlak Tunong dan Universitas Islam Cotkala di Perlak Baroh. Kepemimpinan muslim di Swarnabhumi utara ini dipegang oleh dua keluarga duriyah-Kuffah, yaitu keluarga Azizah dan Makhdum. Universitas ini –dan juga universitas Islam lainnya di Nuswantara- kelak menjadi tempat menimba ilmu para ulama dan pelajar dari mancanegara.
Tahun 947, abad 10M, Sri Baginda Sultan Sendok (Mpu Sendok, duriyah turunan dari Ratu Sima, Kalingga) membentuk kota Watugaluh bersama turunan keluarga duriyah Makhdum dari Perlak. Kolaborasi duriyah Isyana -Makhdum ini mengembangkan pelabuhan Warugasik/ Gresik dan Watugaluh menjadi pelabuhan internasional di Jalur Sutra Laut.
Kolaborasi dua keluarga duriyah ini (Isyana-Makhdum) yang juga symbol kekerabatan Jawadwipa-Swarnabhumi kelak menurunkan sultan-sultan yang ulama (satriya pinandhita). Mereka adalah sultan-sultan di Jawadwipa seperti kesultanan Kahuripan, Kadhiri, Singhasari, Majapahit, Demak, Cirebon (dari turunan Sunda), Pajang, Mataram, hingga Yogyakarta dan Surakarta Hadiningrat sekarang. Di samping itu mereka juga menurunkan trah ulama “pangemban praja” (pandhita sinatriya). Keturunan Isyana menjadi para Sunan atau Wali tanah Jawi seperti Sunan Giri. Dan trah Makhdum seperti Kyahi Ageng (Syekh Al akbar) Hibatullah Makhdum, Kyahi Ageng Maimun Makhdum, Kyahi Ageng Abu Kasan (suami Fatimah binti Maimun di Leran, Gresik, wafat 1082), Syekh Ngali Syamsu Zein , bahkan kelak menurunkan para Sunan/ Wali tanah Jawi seperti Sunan Ngampel, Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim), Sunan Drajat, dll. Singkatnya, duriyah Nabi SAW di Nuswantara membentuk pasangan “priyagung/ priyayi agung” tanah Jawa/ Nuswantara, yakni jalur Janandaru atau satriya pinandhita, atau raja-pemerintah ulama. Dan jalur Dewandaru atau ulama pangemban praja.
Pasangan priyayi agung demikian inilah yang disebut oleh peneliti anthropolog politik asal USA, Prof. Dr. Mark Read Woodward , sebagai imperial cult. Kelak kepemimpinan sultan dan ulama di nagari Kedhiri (1117-1222) menjadi ahli waris dari imperium Islam besar Isyana-Makhdum dengan aset pelabuhan internasional (Jalur Sutra Laut selatan) Warugasik (Gresik sekarang) dan Watugaluh (Ngampel, Surabaya sekarang).
Tahun 996-1006, abad 11M, Sri Sultan Dharmawangsa Teguh penerus duriyah dari Isyanawangsa melakukan ekspedisi ke selat Malaka. Beliau memerintah di Watugaluh, Jawadwipa Timur. Ekspedisi ini bisa jadi untuk pengamanan perairan duriyah-Kuffah Nuswantara. Di samping itu beliau juga memblokade pelabuhan Palembang (Sriwijaya) untuk menyelenggarakan musyawarah perdamaian “sesama duriyah-Kuffah” baik dari Kesultanan Perlak, Kesultanan Sriwijaya, maupun Kesultanan Jawadwipa. Kesultanan di Perlak waktu itu sedang terjadi pertikaian sengit antara Perlak Baroh (keluarga Azizah) dengan Perlak Tunong (keluarga Makhdum). Kedaulatan Sri Sultan Dharmawangsa Teguh di Watugaluh saat itu didukung oleh keluarga besar duriyah dari Gusti Ayu Fatimah binti Maimun dan suami beliau Kyahi Ageng Sayyid Abu Kasan. Paman Fatimah (adik Kyahi Ageng Maimun Makhdum) yang bernama Kyahi Ageng Sayyid Muhammad Saleh adalah menantu Sultan Perlak saat itu, yakni SMAM Ibrahim SJB (976-1012). Sri Sultan Dharmawangsa Teguh sendiri memiliki permaisuri putri Perlak . Bahkan hampir semua sultan di Jawadwipa hampir bisa dipastikan memiliki permaisuri putri keturunan durriyat Malayu dan atau Perlak. Hal itu terdapat dalam catatan-catatan mengenai sultan-sultan Sunda, Medang Poh Pitu (Gresik), Kahuripan, Kediri, Singhasari, Majapahit, bahkan sampai Mataram, Ngayogyakarta, dan Surakarta Hadiningrat sekarang ini.
Tahun 1042, Watugaluh pusat pemerintahan Isyanawangsa (Mdang ) berganti nama menjadi kesultanan Kahuripan dengan pusat kepemimpinan di kota Wutan Mas. Yang bertahta saat itu adalah Sri Sultan Airlangga. Beliau membangun Kota Wutan Mas, membangun Pelabuhan Watugaluh, memperbaiki pelabuhan Kambang Putih di Tuban. Singkatnya, Jawadwipa mencapai salah satu masa keemasannya di kala itu. Hal ini kelak juga diwariskan kepada Kadhiri/ Panjalu di Daha/ Dahanapura.
Tahun 1117, abad 12M, Sri Sultan Kamesywara (Bamesywara, 1117-1130) cucu Sri Sultan Airlangga di Jenggala/ Wutan Mas, Kahuripan, menikah dengan Putri Candrakirana. Putri Galuh Candrakirana. Gusti Ayu Galuh Candrkirtana ini juga cucu Sri Sultan Airlangga dari Daha/ Dahanapura, Kedhiri Panjalu. Pernikahan ini menyatukan kembali negeri Kedhiri (semula Kahuripan) dari era palihan nagari tahun 1049 (menjadi Jenggala/ Kahuripan dan Daha/ Kedhiri). Kesultanan Islam warisan Sultan Airlangga ini kembali mencapai era kejayaan dan kemakmuran bagi kawula muslim Jawa. Kesultanan ini berpusat di Kedhiri Panjalu dengan pusat kepemimpinan di Daha atau Dahanapura. Kemakmuran Kedhiri Panjalu demikian ini kemudian dilanjutkan oleh Sang Prabu Sri Sultan Jayabaya. Beliau adalah adik dari Sri Sultan Kamesywara atau Bamesywara. Sri Sultan Kamesywara dan Permaisurinya, terkenal sebagai pasangan legendaris dalam cerita Raden Inu Kertapati dan Dewi Galuh Candrakirana. Mereka juga disebut sebagai Pangeran Panji Semirang Asmarataka dan Putri Galuh Candrakirana dalam Serat Smaradhana. Serat ini dituliskan oleh seorang ulama Kedhiri bernama Mpu Dharmajaya. Adik beliau, Sang Napanji Sri Sultan Jayabhaya ketika jumeneng nata (bertahta) terkenal dengan karya Serat Jangka Jayabaya atau Nubuwwah Al Islamiyyah (dalam bahasa arab).
Kemakmuran dan tradisi intelektual Islam seperti ini menjadi latar kejayaan kesultanan Majapahit. Tahun 1270, abad 13M, Sri Sultan Kertanagara dari kesultanan Singasari (semula Kedhiri Jenggala) melakukan pengamanan dan silaturrahmi ke seluruh Nuswantara, terutama sekitar selat Malaka. Ekspedisi itu disebut sebagai Pamalayu. Beliau bersilaturrahmi ke Malayu atau Sriwijaya di Swarnabhumi Selatan (Jambi dan Palembang sekarang) dan Champa (Thailand, Vietnam, dll). Permaisuri Kertanegara adalah duriyat dari Malayu/ Swarnabhumi. Adik perempuan Sri Sultan Kertanegara bahkan diboyong hijrah ke Mekah untuk naik haji dan diperistri Syarif Mekah saat itu.
Kejayaan Kesultanan Majapahit
Tahun 1328, abad 14M, Mahamantri Gajahmada (Gajah Ahmada?) menjalankan ekspedisi Palapa atas seluruh wilayah kepemimpinan durriyat antara Nuswantara dan China. Ekspedisi silaturrahmi ini atas titah Ratu muslim Majapahit Rajapadni, Sri Ratu Tribhuana WTW, dan Prabu Sri Sultan Hayam Wuruk (hayyun wara’= hidup prihatin, apa adanya, sederhana). Di samping itu Sri Sultan Hayam Wuruk sendiri melakukan silaturrahmi ke wilayah-wilayah internal di Majapahit. Hal mana dicatat dalam Kitab Nagarakertagama. Secara letterlijk Negarakertagama searti dengan madinah dalam bahasa arab. Negarakertagama atau madinah berarti negeri tempat agungnya kemuliaan agama.
Era Majapahit ini kepemimpinan durriyah Nabi SAW termasuk mengalami salah satu kejayaannya lagi di Nuswantara. Silaturrahmi dan pengamanan perairan kepemimpinan duriyyah di Nuswantara oleh Mahamantri Gajahmada ini memperoleh banyak dukungan. Dukungan itu antara lain dari Laksamana Hang Tuah (Selat Malaka), dari Adipati Adityawarman (Pelabuhan Palembang), dan dari Mahapatih Mpu Nala (lautan timur Nuswantara). Mereka bersama-sama menjaga gerbang maritim dan lautan Barat Nuswantara.
Tahun 1405, abad 15M, giliran Laksamana Muhammad Cheng Ho bersilaturrahmi ke seluruh wilayah durriyah di Nuswantara, bahkan sampai ke Mekkah. Nama lengkapnya dalam lisan arab adalah Muhammad Husen bin Ali (Ma Ho Sen Li). Jadi beliau adalah keturunan Ma atau GK Nabi Muhammad SAW, Nabi dan Rasulullah Agung. Saat itu secara teoritik syarif Mekkah dijabat oleh Syeh Hassan II. Laksamana Haji Muhammad Cheng Ho juga membangun ratusan mesjid di wilayah kepemimpinan para durriyah ini. Termasuk pembangunan masjid-masjid di wilayah Majapahit saat itu. Jadi menurut catatan terdapat banyak sekali masjid di Majapahit. Ia terdapat di hampir setiap kadipaten Majapahit. Semua ini atas prakarsa Kaisar Yung Lo (1403-1424), dan Kaisar Hsuan Te (1425-1436). Mereka adalah para kaisar muslim dari Dinasti Ming di China.
Ketika Laksamana Muhammad Cheng Ho wafat, seluruh umat Islam Majapahit/ Nuswantara melakukan shalat ghaib di masjid-masjid yang telah didirikan Cheng Ho, baik di seluruh Majapahit dan di seluruh Nuswantara. Namun ratusan masjid ini bisa jadi telah lapuk dan musnah karena terbuat dari kayu. Atau telah dipugar menjadi bangunan masjid modern. Namun beberapa masjid era Majapahit masih dapat kita jumpai, misalnya di daerah Majenang dan Karanganyar, Jawa Tengah. Tahun 1481, adalah era Sunan Gunung Jati/ Pangeran Syarif Hidayatullah (1448-1578), putra Syarif Mekkah Syeh Barakat I (1425-55) dan Gusti Ayu dari kesultanan Sunda. Beliau bermarga Al Atthas atau Alatas. Beliau dinobatkan tahun itu sebagai Imam Agung bagi kepemimpinan para duriyah di Nuswantara atau bahkan dunia muslim internasional. Beliau bergelar “Gusti Kangjeng Susuhunan Jati Khalifah Rasulullah Senapati Sarjawala Sayyidin Panatagama”. Beliau berkraton di Masjid Ciptarasa, Cirebon.
Sementara itu, dunia Islam di seluruh Timur Tengah sudah powerless (tak lagi memiliki kuasa) akibat Perang Salib (1130) dan runtuhnya Granada di Andalusia (1492). Beliau juga menobatkan Raden Patah, atau Pangeran Jinbun, atau Raden Sayyid Kasan Al Akbar, menjadi Panglima Armada Sabilillah Laut di pelabuhan Majapahit, Demak Bintara. Beliau bergelar Syah Alam Akbar I. Kepemimpinan atas Armada Sabilillah Majapahit di Demak Bintara ini terus bergulir hingga Syah Alam Akbar Tsaniy (II, Sayyid Adipati Yunus Al Idrus). Kemudian berlanjut dengan Syah Alam Akbar III, yaitu Sayyid Raden Trenggana Al Akbar, dan lalu Syah Alam Akbar IV, yaitu Sayyid Sunan Prawata Al Akbar. Khalifah Rasulullah Syarif Hidayatullah juga memprakarsai ekspedisi Perang Sabilillah Armada Majapahit di Demak Bintara ke Selat Malaka (1521). Ekspedisi Selat Malaka abad 16M ini demi menyelamatkan gerbang Maritim Nuswantara dari serbuan Kumpeni Portugis (tahun 1512 mereka berhasil menduduki Malaka). Peperangan sabilillah di Selat Malaka ini, membawa Syah Alam Akbar Tsaniy atau Adipati Yunus Al Idrus ke gerbang syahid.
Perang sabilillah ini, kelak terus menerus berlanjut dengan peperangan sabilillah berikutnya di tanah Jawa/ Nuswantara. Bahkan tidak pernah berhenti selama kaum kolonial bercokol di Nuswantara. Buku sederhana ini akan memperjelas diskusi mengenai Majapahit ini. Yakni rentang waktu antara abad 13 sampai 16. Salah satu era keemasan kepemimpinan Islam di Nuswantara. Namun untuk kelengkapan latar belakang, narasi dan deskripsi mengenai kilasan sejarah Islam di Nuswantara akan dilanjutkan terlebih dahulu.
Tahun 1613-1645, abad 17M, adalah era kepemimpinan durriyah Nuswantara dibawah Yang Mulia Sultan Agung Hanyakrakusuma. Secara nasab, beliau keturunan durriyat dari Sayyid Abdurrahman atau Kyahi Ageng Selo . Sultan Agung Hanyakrakusuma juga bergelar Maulana Mataram Abdul Muhammad Sultan Matarami. Tahun 1627-1629 beliau menitahkan peperangan sabilillah Mataram menggempur Batavia dari cengkeraman JP Coen. Beliau menggempur Batavia sekaligus untuk mengenang dan memuliakan 100 tahun berdirinya kesultanan Islam Jayakarta (sebelum menjadi Batavia), yaitu tahun 1527.
Pasca Majapahit: Peperangan Sabilillah
Sejak Andalusia runtuh (1492), daulat-daulat durriyah di Nuswantara menjadi sasaran utama kolonialisme. Dinasti Abassiyah telah lama runtuh (1006). Dinasti-dinasti arab kemudian hanya menjadi kerajaan-kerajaan kecil di Timur Tengah. Mereka mudah ditaklukkan karena mudah sekali tersulut konflik internal dan perpecahan. Sementara daulat-daulat durriyah di Nuswantara terbentengi oleh luasnya perairan laut yang gerbangnya terletak di Selat Malaka. Di atas telah dijelaskan bahwa Khalifah Rasulullah Syarif Hidayatullah memprakarsai ekspedisi Perang Sabilillah Armada Majapahit ke Selat Malaka (1521). Pangkalan armada tempur ini terletak di Demak Bintara.
Peperangan armada sabilillah laut Majapahit ini demi menyelamatkan gerbang maritim Nuswantara dari serbuan Kumpeni Portugis (tahun 1512 mereka berhasil menduduki Malaka). Sabilillah laut ini, membawa Adipati Yunus Al Idrus ke gerbang syahid. Perang sabilillah kelak akan terus menerus berlanjut selama kaum kolonial bercokol di Nuswantara. Kumpeni tidak pernah mengakui kekalahannya di selat Malaka ini. Namun fakta sejarah menunjukkan, bahwa berkat perang agung sabilillah lautan ini, kumpeni portugis urung memasuki area selatan perairan Nuswantara. Mereka tidak berani ke perairan Jawa. Mereka meluaskan wilayah jajahannya ke timur, yaitu ke perairan Maluku. Tahun 1613-1645, abad 17M, daulat durriyah Nuswantara dalam kepemimpinan Yang Mulia Sultan Agung Hanyakrakusuma. Secara nasab, beliau keturunan durriyat dari Sayyid Abdurrahman atau Kyahi Ageng Selo . Sultan Agung Hanyakrakusuma juga bergelar Maulana Mataram Abdul Muhammad Sultan Matarami. Tahun 1627-1629 terjadi perang agung sabilillah Mataram Islam. Benteng Batavia dalam cengkeraman JP Coen. Beliau menggempur Batavia sekaligus untuk mengenang dan memuliakan 100 tahun berdirinya kesultanan Islam Jayakarta (sebelum menjadi Batavia), yaitu tahun 1527. Jayakarta didirikan oleh ulama dan sultan-sultan Jawa demi menghadapi Kumpeni Belanda. Raden Tubagus Pasai diangkat menjadi sultan di Jayakarta. Beliau bergelar Sultan Fatahillah. Kumpeni Belanda-VOC juga tak pernah mengakui kekalahan mereka dalam peperangan agung sabilillah ini.
Namun faktanya, berkat perang agung sabilillah ini JP Coen tewas tahun 1629. Tubuhnya dimakamkan di Museum wayang, Jakarta. Sedangkan kepalanya dipenggal dan di tanam di makam Imogiri. Yaitu ditanam di salah satu anak tangga naik menuju makam Sultan Agung. Kumpeni-VOC tak berani keluar dari Batavia, setidaknya hingga Sultan Agung wafat tahun 1645. Tahun 1748-1755, abad 18M, adalah era kepemimpinan Pangeran Mangkubumi atau Sayyid Sujana. Beliau juga keturunan Kyahi Ageng Selo/ Sayyid Abdurrahman. Beliau memimpin perang sabilillah Mataram melawan Kumpeni-VOC di Jawa. Beliau dibantu para sayyid dan ulama Jawi/ Nuswantara lainnya. Mereka antara lain Kyahi Ageng Sayyid Mertapura berikut seluruh santri-santrinya di Sukawati (Sragen sekarang). Kemudian Pangeran Garendhi yang sempat bertahta sebagai Amangkurat V di Kartasura. Beliau memimpin laskar Tionghoa muslim pelarian dari Kanton tahun 1644 dan dari Batavia tahun 1712. Kemudian Adipati Kediri, Sayyid Untung Surapati. Beliau didukung laskar Madura dan Makassar yang datang ke Jawadwipa. Pangeran Samber Nyawa (Sayyid Raden Mas Said) juga ikut bergabung dengan angkatan sabilillah ini.
Akibat perang sabilillah ini Kumpeni-VOC gagal menguasai seluruh Jawa (Kontrak Ponorogo, 1748) dan Pangeran Mangkubumi berjaya mendirikan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (1755). Tahun 1825-30, abad 19M, peperangan sabilillah melawan Kumpeni Belanda berkobar lagi. Bahkan kali ini lebih dahsyat dan lebih besar. Pangeran Dipanegara, putra Sri Sultan HB III, cucu Sri Sultan HB II, seorang sayyid, ulama, dan pangeran, memimpin perang sabilillah melawan Kumpeni Belanda. Beliau di dukung para sayyid lainnya seperti Pangeran Ngabehi Jayaningrat (putra HB II), Pangeran Mangkubumi sepuh (putra HB I), Pangeran Senthot Alibasah (putra Pangeran Ranggaprawiradirja, Madiun), Kyahi Ageng Maja (Raden Bagus Kholifah, Majasanga), berikut 56 keluarga bangsawan Jawa dan seluruh abdinya, serta 60 ribu muslim sabilillah Jawa. Dukungan juga diperoleh dari angkatan perang Pangeran Surayuda, wedana Malangbong, di Jawa Barat.
Sekali lagi historiografi kolonial enggan mengakui kekalahannya. Padahal faktanya mereka mengalami rugi besar sekitar 25.000.000 gulden. Dan Kumpeni-VOC ditutup oleh kerajaan Belanda karena bangkrut. Pemerintah penjajah berganti dari Gubernur Jendral VOC menjadi Gubernur Jendral Kerajaan Belanda. Pasca peperangan sabilillah Jawa, muslim Nuswantara masih terus saja berjuang merebut kemerdekaan negeri Indonesia tercinta dari cengkeraman Belanda , dan juga Jepang setelah itu. Kilasan dinamika sejarah muslim durriyah di Jawa/ Nuswantara merupakan jalan panjang dan penuh liku-liku perjuangan suci. Hal ini yang menyebabkan Islam begitu mendalam dan berurat berakar di Nuswantara, bahkan hingga ke pelosok-pelosok pedesaan dan suku-suku terasing.
HISTORIOGRAFI ISLAM YANG ANEH
Pada bagian ini penulis hendak menguraikan secara serba singkat dan terbatas beberapa persoalan.
Pertama, keheranan-keheranan menyangkut berbagai konsep pendekatan yang terapkan untuk membaca sejarah Orang Nuswantara. Keheranan paradigmatik atau epistemik (secara lebih luas) ini senantiasa menjadi inspirasi yang melatar belakangi penyusunan buku ini. Di antara berbagai keheranan itu adalah mengapa tradisi tua dalam alam kehidupan Orang Nuswantara/ Jawa sulit dicari dalam ruang sejarah? Bahkan dalam sejarah negeri dan bangsanya sendiri? Setiap kali membaca latar sejarah bangsa sepertinya berhadapan dengan sebuah narasi yang bukan masa lalu Orang muslim Nuswantara.
Bahkan kadang kala narasinya terkesan naïf dan pandir. Keheranan demikian sepintas seperti melampaui dan atau sudah bukan lagi persoalan rasional atau tidak, ilmiah atau tidak, metodik atau tidak, serta modern atau tidak. Persoalannya, sebagai bagian dari Orang Nuswantara/ Jawa, sering kali menemukan masa lalu yang “berbeda” secara cukup signifikan. Masa lalu yang “bukan saya”, “bukan kami” Orang muslim Nuswantara. Dengan kata lain, masa lalu yang tidak menjelaskan dan tidak korelatif dengan kenyataan sosial-historis yang dialami Orang Nuswantara modern saat ini. Tentu saja ini menimbulkan sebuah “epistemological gap” atau jurang pemutus pemahaman yang mendasar. Seolah tak pernah ada “korelasi logis” antara Orang Nuswantara dahulu dan sekarang. Dan ini jelas-jelas menyalahi asas logika pertama yakni verba volant atau rantai sebab akibat. Harus ada kesinambungan sebab-akibat antara masa lalu Orang muslim Nuswantara dengan realitasnya yang sekarang.
Kedua adalah mengenai munculnya mekanisme pikiran kolektif Orang Nuswantara yang cenderung melupakan para leluhur dan pendahulu bangsa. Penyebabnya adalah karena mendengar/ membaca/ mengenal para leluhur dan ruang waktu yang melingkupinya tidak menimbulkan rasa bangga dan percaya diri. Malahan sebaliknya, mental kolektif Orang Nuswantara menjadi underconfident, tak percaya diri. Seakan tak ada sama sekali bagian sejarah Nuswantara yang layak dijadikan referensi dan pegangan hidup.
Akibatnya, hampir semua Orang muslim Nuswantara melakukan tindakan epistemological suicide. Mereka melakukan “bunuh diri pikiran”. Mengharap terhinggapi amnesia sejarah. Berusaha melupakan sejarah, atau setidaknya berpura-pura lupa terhadap sejarah. Menerapkan lam nafi terhadap sejarah bangsa sendiri, la tarikhu. Sebuah tindakan pikiran untuk menihilkan sejarah bangsa sendiri. Kemudian setelah itu berpijak pada eksepsi afirmatif illa tarikhuhum. Bahwa sejarah “orang lain”/ “mereka” lebih memorable and referrensiable. Tentu saja “tarikhuhum” berkonotasi kepada sejarah modernisme yang cenderung western. Atau kalaupun beroriemtasi kepada sejarah Orang Nuswantara, harus yang western version atau colonial version.
Akibat yang paling komprehensif adalah hilangnya kemampuan kolektif kita untuk melakukan ekstrapolasi dan prediksi ke masa depan. Hal ini disebabkan oleh terus-menerus mengalami kegagalan setiap kali melakukan rekonstruksi dan atau reformasi diri. Konsekuensinya, Orang Nuswantara menjadi mudah terombang-ambing, rentan, dan hanya mampu berpikir emosional. Nampaknya suatu tindakan epistemik alternative perlu dilakukan di titik ini. Semacam reconstruction Muhammad Iqbal terhadap Orang muslim Pakistan. Atau ihya’ Al Ghazali terhadap Orang muslim Timur Tengah. Atau rerepen Sunan Paku Buwana X, dan sesanti jumenengan Sri Sultan HB X bagi Orang muslim Nuswantara/ Jawa. Namun seperti kita ketahui, tindakan epistemik demikian hanya mungkin dilakukan oleh para pemimpin, tokoh, dan pahlawan dunia.
Sulit membayangkan hal itu dalam dunia kawula alit seperti saya. Meskipun begitu, toh saya ingin berbuat sesuatu untuk persoalan epistemology seperti ini. Setidaknya dalam lingkup saya, dunia tradisi, dunia para kawula alit. Dunia yang atmosfernya cenderung pikul dhuwur, pendhem jero. Atmosfer yang andhap asor dan lembah manah. Dalam atmosfer seperti itu, eksplorasi ini cenderung ekstensional bukan intensional. Lebih internal, bahkan eksistensial. Eksplorasi dalam atmosfer seperti itu menjadi sebuah ngudi sangkan paran dan susur leluhur di kedalaman sejarah Nuswantara. Sebuah caos bekti eksistensial se-Orang muslim Nuswantara/ Jawa. Eksplorasi afirmatif, demi keteduhan dan ketentraman epistemology, serta kenyamanan nurani. Agar berbakti dan mengabdi kepada para leluhur menjadi bermakna dan berarti. Inilah ngrukti para leluhur. Beliau-beliau yang agung dan mulia di sisi Tuhan YME. Yang mana gen-gen keagungan dan kemuliaan beliau-beliau itu telah-sedang-akan selalu mengisi rangkaian mitokondria DNA saya dan seluruh Orang (muslim) Nuswantara hingga kelak tumekaning kiyamat kubro.
AGAMA BRAHAM/ MILLATU IBRAHIM
Jika dicermati dengan seksama religi yang berkembang di Nuswantara adalah agama Abraham atau millatu Ibrahim. Hal ini tertera misalnya dalam Catatan Fa Xian/ Fa Shien sepulang dari India di era tahun ke-7 Kaisar Xiyi (411M) . Fa Xian adalah seorang ulama senior di China saat itu. Ia singgah di Yapoti (Jawa dan atau Sumatra) selama 5 bulan. Ia menulis,
“Kami tiba di sebuah negeri bernama Yapoti (Jawa dan atau Sumatra). Di negeri itu Agama Braham sangat berkembang., sedangkan Buddha tidak seberapa pengaruhnya.”
Catatan ini menjelaskan agama yang berkembang di era awal sejarah Nuswantara. Tapak kaki Purnawarman (395-434M) pada prasasti Tarumanagara secara langsung menunjukkan korelasi dengan millatu Ibrahim. Tradisi menyematkan tapak kaki pada batu/ prasasti ini juga adalah tradisi simbol Islam pra-Muhammad, yakni Maqam Ibrahim. Atsar Nabi Ibrahim (3500 SM, abad 34 SM) ini menunjukkan prakarsanya dalam membangun dan melestarikan baitullah Ka’bah di Haramain. Menyematkan telapak kaki sebagai tanda juga dilakukan Nabi Muhammad SAW (571-632M). Telapak kaki Beliau SAW terdapat di museum Nasional Turki, di Masjid Jami’ Newdelhi, India, dan di Mesir. Di Nuswantara, di bekas area kerajaan Tidore, Maluku, juga terdapat situs yang dipercayai masyarakat setempat sebagai tapak Nabi Muhammad SAW . Demikian juga dengan ”tapak Rasul” yang dipercayai masyarakat Makassar dan Papua.
Tapak Nabi Ibrahim (3500 SM), tapak Purnawarman (395-434M), tapak Nabi SAW (571-632M) di Mesir, tapak Nabi SAW di Newdelhi, dan tapak Nabi SAW di Museum Turki.
Tradisi menyematkan tapak kaki ini juga terdapat di Kutai, Kalimantan Timur. Tradisi millatu Ibrahim lainnya adalah ”memberi hadiah” atau berderma. Salah satunya diwujudkan dalam budaya kuno penyembelihan sapi. Yaitu untuk kemudian dibagikan kepada rakyat dan ulama. Tradisi ini masih dilestarikan hingga oleh umat Islam hingga saat ini. Yaitu dalam Iedul Adha atau Iedul Qurban. Baik Raja Purnawarman (Tarumanagara) maupun Raja Maulawarman (Kutai) melaksanakan ritual ibadah ini. Qurban oleh Purnawarman, Tarumanagara, tertera pada prasasti Tugu, Cilingcing, Jakarta. Sedangkan oleh Maulawarman, Kutai, tertera pada Prasasti Batu Yupa/ Muara Kaman, tepian sungai Mahakam, Kalimantan Timur.
Kedua prasasti menceritakan kedua raja agung itu masih melaksanakan adat millatu Ibrahim. Mereka menyembelih 1.000 ekor sapi. Dagingnya dibagikan kepada seluruh rakyat dan ulamanya. Tradisi kurban dengan menyembelih sapi pasti bukan tradisi Hindu. Bagi agama umat Hindu Dharma, sapi merupakan hewan suci dan keramat. Penyembelihan sapi pasti akan dilarang. Oleh karena itu Qurban menyembelih sapi –hingga 1000 ekor- sudah pasti merupakan tradisi millatu Ibrahim. Tradisi ini terus bertahan di kalangan umat Islam sekarang ini. Tarumanagara terletak di tepian sungai Cisadane, Jawa Barat, dan menghadap ke laut Jawa. Sedangkan Kutai di tepian sungai Mahakam, Kalimanatan Timur, menghadap ke Selat Makassar. Kedua kerajaan tersebut sama-sama langsung berhubungan dengan kesibukan lalu lintas perdagangan dunia (Jalur Sutra Laut) saat itu.
ASUMSI HINDUISME
Damais adalah seorang profesor sejarah antropologi asal Perancis. Peneliti ini keheranan dan mempertanyakan tesis-tesis tentang sejarah Nuswantara. Antara lain adalah terjadinya penaklukan para petualang ”hindu” ke Nuswantara. Mereka lari dari negeri asal mereka ke Nuswantara ini karena ”satu dan lain hal”. Tesis ini tak pernah memiliki argumen secara proporsional. Faktanya, di Nuswantara tidak pernah terdapat peninggalan ”bahasa” kaum hindu. Yang menonjol adalah kosa kata Sansekerta yang memperkaya bahasa-bahasa Melayu Kuno, Jawa Kuno, dan Bali Kuno. Sebagian besar bahkan merupakan bahasa dan istilah teknik. Kata-kata sansekerta ini pun, asalnya bukan dari ”para pendatang Hindu” itu. Melainkan ia berasal dari kitab-kitab kuno yang dibaca orang Nuswantara jaman dahulu. Secara linguistis, jelas tidak terdapat peninggalan bahasa lisan ”orang India kuno” di Nuswantara.
Damais juga mengutarakan bahwa para penulis sejarah Nuswantara tidak pernah menjelaskan secara jelas. Yaitu apa yang dimaksud dengan ”koloni-koloni hindu” di jaman dahulu. Damais menyatakan bahwa istilah ”hindu” adalah tidak tepat. Kosekuensinya, kalimat ”Raja-raja Hindu Majapahit” atau ”Pulau Hindu” (untuk Bali) sama sekali tidak benar. Beberapa tokoh di Bali lebih suka jika mereka disebut sebagai penganut agama Syiwa. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa mereka sangat berbeda dengan agama Hindu Dharma atau Brahmaisme India.
Menurut Damais istilah hindu yang dipergunakan sejarawan Belanda merujuk kepada istilah hindoesch, Indische, Indie, atau Indo . Pengertian kata-kata ini mutlak berarti ”Hindia” Belanda. Hal ini bersesuaian dengan istilah Oost Indische/ Hindia Timur untuk dunia Islam (Islamistand) sebelah timur Granada. Dan West Indische/ Hindia Barat untuk Islamistand di sebelah barat Granada, Spanyol. Dalam peta dunia dapat dilihat bahwa Granada adalah kota yang ditetapkan kaum kolonial sebagai garis bujur bumi 0 derajat.
Berdasarkan prasasti-prasasti dan dan dokumen kuno Nuswantara asli, kesan bahwa kebudayaan Nuswantara berhutang budi kepada ”masyarakat Hindu” di jaman dahulu harus dihilangkan. Sebaliknya, justru mereka yang berhutang budi kepada peradaban Nuswantara. Pandangan ini juga dikemukakan oleh Damais. Keanehan tesis-tesis di atas, terdapat misalnya pada buku The Sculpture of Indonesia. Buku tersebut karya Jan Fontein, terbitan Harry N. Abrams, Inc., New York, USA (1990). Dalam buku itu dikatakan bahwa inskripsi Citarum ”berhubungan” dengan Dewa Wisnu. Kemudian dinyatakan bahwa mereka adalah para pengikut Brahmanisme. Padahal telah dijelaskan, bahwa prasasti-prasasti Tarumanegara ataupun Kutai adalah jelas-jelas berlatar belakang tradisi Abrahamik atau millatu Ibrahim.
ISLAMLESS SEJARAWAN KOLONIAL
Nancy K. Florida, seorang Filolog berkebangsaan Amerika Serikat menarik untuk diperhatikan. Dia mengatakan Filologi kolonial memberi gambaran keliru atas sastra Jawa. Mereka menganggap karya-karya agung para pujangga Jawa abad ke-9 sampai 14, sebagai “puncak dari kebudayaan Hindu-Buddha”. Menurut pandangan itu, zaman emas tersebut diakhiri oleh kedatangan Islam pada akhir abad ke-15. Jadi Islam dipandang sebagai penghancur keindahan Hindu-Budha. Risalah ini bisa dibaca misalnya dalam buku “Membaca Postkolonialitas (di) Indonesia”, editor Budi Susanto, SJ, Penerbit Kanisius, 2008.
Nancy kemudian menggulati naskah-naskah Jawa kuna. Ia sampai pada satu titik kesumpulan. Filologi kolonial berada dalam suatu struktur (pikiran) yang disebutnya ”tidak-akan-melihat” kenyataan budaya Jawa yang sesungguhnya. Filologi Barat adalah proyek penjajahan colonial. Karenanya selalu gagal ”melihat signifikansi Islam” dalam teks-teks Jawa (Islamless). Mereka bersikeras mempertahankan struktur (pikiran) ”tidak-akan-melihat-Islam” itu. Dengan demikian Nancy sebenarnya bukan hanya melihat gambaran kebudayaan sastra Jawa. Ia telah menguak sejarah Islam Jawa yang sebenarnya.
Struktur pikiran yang “tidak-akan-melihat” seperti di atas, salah satunya tampak dari pernyataan HJ de Graaf dkk. Yaitu dalam buku “China Muslim di Jawa abad XV dan XVI” pengantar Riklefs, dan diterbitkan oleh Tiara Wacana, Yogyakarta. Mereka mengatakan bahwa para penafsir sejarah Indonesia mengenal nama-nama penguasa Majapahit (hanya) dari karya-karya ilmuwan/ sejarawan Belanda. Misalnya Pararaton karya Brandes atau buku-buku yang lebih kemudian.
Mereka juga mengatakan bahwa tulisan atau laporan mengenai raja-raja Jawa yang benar adalah yang sesuai dengan sejarah dinasti-dinasti Jawa yang sudah direkonstruksi oleh ilmuwan Belanda. Pernyataan de Graaf ini secara langsung menunjukkan bahwa cara pandang/ pikiran/ yang tidak melalui, meniru, dan menyesuaikan diri, dengan pikiran kolonial mutlak dianggap keliru. Persoalan paradigmatik termasuk persoalan yang sangat aneh dan mengkhawatirkan. Ia telah mengakibatkan fakta-fakta sejarah Jawa/ Nuswantara menjadi menggelikan dan menimbulkan ketidak-nyamanan logis. Lebih jauh lagi, pandangan “tidak-akan-melihat-Islam” telah membawa para pengikutnya kepada suatu awan berpikir yang pandir. Mereka telah menjadi lucu karena terlalu lama berpura-pura. Sesungguhnya berpikir dan berpandangan “apa-adanya” mengenai sejarah Jawa/ Nuswantara merupakan kunci penting. Yakni sebelum kita membahas dan berdiskusi mengenai sejarah dan historiografi Nuswantara lebih lanjut. Sepertinya kita harus menetapi prinsip “Banteng Mataram”. Yaitu kita harus “wani, jujur, lan prasaja” . Prinsip ini memberi sebuah lompatan. Dari pikiran “tidak-akan-melihat-Islam” menjadi “selalu-melihat-Islam”. Kita harus berani melepas beban epistemic/ paradigmatic itu. Hal ini akan membawa kita kepada berpikir yang sehat, prasaja, atau apa-adanya. Atau erleben, kata Immanuel Kant. Sejarawan Eropa yang juga keheranan melihat awan berpikir ini adalah Louis-Charles Damais sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Damais kemudian hidup dan menikah di Batavia. Pernyataan-pernyataannya kontroversif, terutama bagi para sejarawan kolonial.
Setiap hipotesis menjadi sangat lemah sebelum melangkah lebih jauh. Dan tampaknya penulis-penulis yang membahas “koloni-koloni hindu” itu tidak pernah menetapkan dengan jelas apa yang mereka maksudkan dengan istilah (hindu) tersebut. Bahkan istilah hindu itu sendiri juga sebenarnya tidak tepat. Akibat pemakaian istilah yang terlalu kabur tersebut, misalnya istilah “koloni hindu” sengaja tidak dijelaskan lebih lanjut. Dan juga munculnya istilah –dalam karya penulis-penulis yang tidak sempat menggunakan sumber-sumber asli- seperti Raja-raja Hindu Majapahit atau Pulau Hindu (untuk Bali), dsb. Hal ini adalah sama sekali tidak benar.
Pernyataan ini terdapat pada buku “Epigrafi dan Sejarah Nuswantara, Pilihan Karangan Louis-Charles Damais”, yang diterbitkan EFEO-Jakarta 1995 . Di dalam buku itu Damais juga menyatakan,
Akhirnya, sama sekali tidak ada kata dari salah satu bahasa yang dipakai secara lisan di India pada jaman dahulu yang tersisa dalam bahasa-bahasa di Indonesia. Pada hemat kami, suatu dominasi politik oleh orang-orang India (yang konon beragama hindu atau budha) sama sekali tidak mungkin.
MAJAPAHIT DALAM PROTOKOL JAYABAYA
Dari uraian di atas, maka historiografi susunan para sejarawan kolonial secara umum berseberangan dengan tradisi lisan klasik di Jawa/ Nuswantara pada umumnya. Tradisi lisan klasik itu salah satunya termaktub dalam Jangka Jayabaya. Jangka ini selama ribuan tahun lestari tertanam dalam ingatan kolektif Orang Nuswantara. Jangka Jayabaya menyatakan bahwa mula pertama yang datang ke Nuswantara adalah para utusan Gusti Kangjeng Nabi Ibrahim AS (sekitar 3500SM). Bukan petualang hindu/ budha. Jangka Jayabaya dinisbatkan kepada Prabu Jayabaya histories. Beliau adalah raja Jawa di Kedhiri (1135-1159). Menurut Prasasti Hantang (1135), beliau adalah raja besar dan membawa Kedhiri ke Jaman Keemasan.
Bahkan menurut berita China (Chou-Ku-Tei) di Kerajaan Kedhiri telah berlaku uang emas/ dinar dan peraturan-peraturan mengenai pajak. Jangka Jayabaya berarti Nubuwwwah Al-Islamiyah jadi bukan ramalan, melainkan sebuah peletakkan periodisasi jaman yang telah, sedang dan akan dilaksanakan oleh Orang Nuswantara. Ia semacam GBHN (garis besar haluan Negara). Namun rentangan waktunya sangat panjang, sekitar 2100 tahun. Sejak orang Nuswantara masih millatu Ibrahim hingga kemudian memeluk dienul Muhammad atau Islam.
Jangka Jayabaya mengakar dan melestari dalam keyakinan kolektif Orang Nuswantara secara lisan. Karenanya ketika muncul era tulisan dalam susastra Jawa/ Nuswantara sekitar abad 17M, penulisan Jangka Jayabaya memiliki banyak sekali versi. Ada Jangka Jayabaya Pasundan, Mataram, Jawatimur, dll. Para penulisnya pun sangat banyak. Misalnya R. Ng. Ranggawarsita (1803-73), KH Kasan Besari II , BPH Soemodidjojo, Tumenggung Mangunagara, KPH Tjakraningrat, BPH Soerja Widjaja, BPH Soerjanagara, dll. Semuanya ditulis tangan/ seratan tangan.
Kaliyoga-Kala Teteka: Era Kesultanan Kedhiri
Secara singkat, Jayabaya membagi rentangan waktu 2100 tahun menjadi 3 Trikali (jaman besar), yakni Swara (periode awal), Yoga (periode tengah), dan Sangara (periode akhir). Setiap kali tersebut memuat 7 Saptama Kala (jaman kecil) . Kaliswara terdiri dari 7 kala: Kukila, Budha, Brawa, Tirta, Rwabara, Rwabawa, dan Purwa. Kaliyoga: Brata, Dwara, Dwapara, Praniti, Teteka, Wisesa, dan Wisaya. Kalisangara : Jangga, Sakti, Jaya, Bendu, Suba, Sumbaga, dan Surata.
Jaman Kedhiri (1117-1222) sampai Singasari (1222-1292) termasuk dalam Kala Teteka – Kaliyoga.
• Kala Teteka artinya banyak orang dari mancanegara mulai berdatangan ke Nuswantara. Kala Teteka ini juga terdiri dari 3 jaman , yakni jaman Sayaga, Prawasa, dan Bandawala. Era Kedhiri-Jenggala adalah era di mana Timur Tengah sedang dilanda kerusuhan besar, yakni Penghancuran Baghdad (oleh Mongol) dan Perang Salib (oleh Eropa). Inilah mahapralaya di belahan Timur Tengah. Maka banyak orang Timur Tengah mengungsi ke segala penjuru dunia, termasuk Nuswantara/ Jawa.
• Jaman sayaga artinya jaman siap-siap, atau berhati-hati.
• Jaman prawasa artinya jaman ketika manusia di seluruh dunia saling berebut kekuasaan. Sesama kedaulatan Islam saling menghancurkan. Baghdad hancur, Fatimiyah di Mesir hancur, Turki Saljuk juga hancur. Orang-orang muslim Mongol menganggap kaum muslimin di Timur Tengah (Bani Umayah dan Abbasiyah) telah terlalu banyak melakukan dosa dan kezaliman. Tahun 1253, Pangeran Hulagu Khan, cucu Sultan Mongol Jengis Khan, membawa mahabala Mongol untuk menghancurkan Ismailiyah. Mahabala Mongol ini semula mengajak Khalifah Mu’tashim (1242-58) untuk bersama-sama menghancur Ismailiyah. Namun Banghdad menolak. Maka tahun 1256, Benteng Ismailiyah “Alamaut” berikut ribuan penduduknya dihancur leburkan oleh Hulagu tanpa ampun. Bulan September 1257, Hulagu memberi ultimatum agar Khalifah Baghdad menyerahkan diri, namun ditolak. Maka bulan Januari 1258 Benteng kota Baghdad dihancurkan Hulagu. 10 Februari 1258, Hulagu membumi hanguskan Kota Baghdad kecuali Masjid Besarnya. Khalifah Baghdad, berikut 300 pejabat, dan qodhi menyerahkan diri. Tanggal 20 Februari 1258, semuanya dibunuh tanpa sisa. Baghdad menjadi lautan darah dan api. Mahabala Mongol membawa panji-panji bertuliskan:
“Pembawa bencana yang dikirim Allah untuk manusia (muslim) sebagai hukuman atas dosa-dosa mereka”.
Mungkin Bani Umayah dan Abassiyah berikut bani-bani muslim lainnya di Timur Tengah sudah terlalu bergelimang harta, kejayaan, dan dosa. Sejak 20 Februari 1258, untuk pertamakalinya dunia muslim Timur Tengah terbengkelai tanpa seorang Khalifah. Tokoh ulama yang diharapkan sebagai pembaharu saat itu adalah Imam Muhammad Al Ghazali yang termasyhur (wafat 1110). Beliau mengingatkan umat muslim dunia saat itu agar meninggalkan kehidupan muslim yang bergelimang harta, tahta, dan wanita seperti itu. Beliau mengingatkan agar manusia muslim kembali kepada tradisi spiritual yang telah dicontohkan Rasulullah SAW. Buku-buku karya beliau antara lain Ihya’ Ulumuddin, Al Munkidz min Adz Dzalal, Misykatul Anwar, Kimia Kebahagiaan, dll. Peringatan ulama waratsatul ambiya telah disampaikan, namun manusia muslim saat itu tetap saja berkubang dalam kehinaan dunia. Maka kemudian Allah SWT berkenan mengirimkan mahabala Mongol.
• Jaman berikutnya adalah jaman bandawala. Pada jaman ini, seluruh raja-raja dan kawula Nuswantara meningkatkan kemampuan perangnya. Orang Nuswantara yang semula tata titi tentrem kerta raharja, harus bersiaga mempertahankan Nuswantara Darussalam. Hal ini terlaksana ketika nantinya, pasukan Mongol utusan Khubilai Khan juga memasuki Pulau Jawa di era Kertanegara raja terakhir Singasari. Uniknya, utusan dan bala Mongol “Sang Penghukum” itu tidak melanjutkan dengan serbuan mahabala seperti yang mereka lakukan terhadap muslim di Timur Tengah. Bahkan sekalipun Kertanegara melakukan penistaan terhadap mereka. Kedatangan mereka yang kedua juga dalamjumlah yang sedikit, sehingga mudah diusir oleh R. Wijaya dan Pangeran Jayakatwang. Mungkin karena kehidupan muslim Nuswantara saat itu tidak bergelimang dalam harta, tahta dan dosa, sehingga serbuan Mahabala dianggap tidak diperlukan. Bahkan Mongol-China (pusat pemerintahan mereka sudah pindah dari Mongol ke Beijing) di era Majapahit mengirimkan armada silaturrahmi mereka untuk meminta maaf dan menjalin Ukhuwah Islamiyah. Armada silaturrahmi itu dipimpin oleh Laksamana Muhammad Cheng Ho tahun 1405.
Kaliyuga-Kalawisesa: Era Kesultanan Majapahit
Era Majapahit dalam jangka Jayabaya termasuk dalam era Kalawisesa . Jaman ini berarti jaman bertahtanya kebaikan dan kesucian manusia. Orang-orang suci, wali-wali tanah Jawa/ Nuswantara menjadi pemimpin dan pemerintah Nuswantara. Inilah mulabuka dari jaman imperial cult yang menjadi thesis Mark R. Woodward. Masa kepemimpinan para sufi dan ahli tashawuf di Jawa/ Nuswantara. Kalawisesa dibagi menjadi 3 jaman, yakni jaman mahapurusa/ mapurusa, nisditya, dan kindaka .
• Mahapurusa artinya jaman puncak kemakmuran. Majapahit/ Nuswantara memuncak menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Atau gemah ripah loh jinawi, tata iti tentrem kertaraharja seperti dahulu kala abad 7-10M.
• Nisditya/ nisdetya artinya musnahnya sifat angkara murka atau durkamurkan. Nuswantara hidup dalam puncak keindahan akhlak Islam yang membawa dan menyebarkan rahmatan lil ngalamin. Representasi jaman ini diwakili oleh silaturrahmi Maha Amangku Patih Gajahmada ke seluruh pelosok Nuswantara. Di samping itu, juga silaturrahmi yang dilakukan oleh Maha Prabu Hayam Wuruk ke seantero wilayah Jawa dan sekitarnya. Sikap saling menghormati/ silaturrahmi ini kemudian saling gayung bersambut dengan kekaisaran China.
• Kindaka artinya jaman air, tirta (air yang berkah dan menyuburkan), atau warih (air yang berkah mensucikan jiwa raga Orang Nuswantara). Swarga patirtan ini muncul di mana-mana di Nuswantara baik secara alamiah (umbul, sendang, mata air, sungai, tlaga, dll) maupun secara planologi.
Tata kota Majapahit dan seluruh negeri-negeri Nuswantara setelahnya diatur berdasarkan konsep petirtaan. Yakni konsep perkotaan yang mengutamakan aliran dan sebaran air untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jadi kebudayaan muslim material yang memuncak di Baghdad dan Timur Tengah pada umumnya hanya berumur 400 tahun saja sejak Rasul Suci wafat. Kemuncak peradaban Islam secara utuh spiritual-material terbangun setelah mahapralaya terjadi di Timur Tengah. Maka peradaban muslim Nuswantara merupakan bauran estetik aneka peradaban muslim sebelumnya baik di Timur Tengah, China-Mongol, maupun di Nuswantara itu sendiri. Bauran estetik ini melahirkan kombinasi genetic yang sangat unik. Sehingga Orang Nuswantara hingga saat ini secara fisik merupakan bauran wajah arab-persi-Jawa-china. Bauran sifat jalaliyah Allah (keperwiraan, arab-persi), dengan sifat jamaliyah Allah (keindahan, china), membentuk sfat kamaliyah Allah (sempurna). Manusia gagah perwira yang menjunjung tinggi kemuliaan akhlak dan keluhuran ruhani. Para satriya pinandhita hambak talering kautaman. Dan tanah di mana mereka menjalani kehidupan sucinya adalah tanah keramat yang mereka sebut Nuswantara.
Kaliyoga Akhir- Kalawisaya: Era Armada Sarjawala Majapahit di Demak
Akhir dari Kaliyoga atau periode tengah ini adalah kalawisaya. Artinya jaman yang penuh dengan fitnah. Pada jaman ini adalah dimulainya Kolonialisme dari Granada di Spanyol ke seluruh dunia muslim (Islamistand) hingga Nuswantara. Era ini penuh fitnah karena gentingnya situasi Nuswantara/ Jawa. Banyak ajaran keutaman budi Islam yang disembunyikan. Para wali, kyahi ageng, dan panembahan, melakukan hijrah ke pesisir selatan Jawa. Mereka mulai membangun pertahanan terakhir Orang muslim Nuswantara. Kalawisaya terbagi menjadi 3 jaman yakni paeka, ambondan, dan aningkal. Dimulai dari sengkalan ulama Majapahit bernama Mpu Prapanca. Yaitu terdapat dalam serat Kandha: sirna ilang kertaning bhumi. Artinya, tahun 1400 saka atau 1478 masehi. Dari tahun 1478 ini di mulailah jaman penuh fitnah ini. Orang muslim Nuswantara berada dalam konflik berkepanjangan dengan kaum Kolonial dimulai oleh Portugis, Spanyol, dan kelak Belanda/ Nederland serta Jepang.
***
Sumber
Hangnohartono.blogspot
Tidak ada komentar:
Posting Komentar