(Jilbab Kanjeng Ratu Kidul)
Manusia yang paling sial di dunia adalah yang tak seorangpun berani menyalahkannya. Pemimpin yang paling berbahaya bagi rakyatnya adalah pemimpin yang semua orang tidak mengemukakan kebenaran kepadanya, baik karena takut, kepentingan untuk menjilat, atau karena sikap kemunafikan. Ketika pemimpin ini bertelanjang bulat pun bawahannya membungkuk dan bilang “Jas dan dasi Bapak bagus sekali”.
Kalau orang yang demikian itu kebetulan seorang pemimpin, maka ia bisa disebut “Pemimpin Yang Tuhan”. Sebab can do no wrong. Ia dianggap tidak mungkin salah. Ia diyakini selalu benar. Maka selalu harus dipuji, dilindungi, dibela: kalau perlu dengan toh nyowo, bertaruh nyawa. Segala keburukan, asal dia yang melakukan: menjadi kebaikan. Segala kebodohan, asal dia yang melakukan: menjadi kepiawaian. Segala kekonyolan, asal dia yang melakukan: menjadi kemuliaan. Ia bagaikan Tuhan itu sendiri. Minimal tajalli-Nya.
Kondisi itu membuat pihak lain yang berseberangan melakukan ekstremitas dan kemutlakan sikap yang sama. Pemimpin yang ‘Tuhan’ bagi pihak lawannya dipandang sebagai Pemimpin yang ‘Setan’ bagi pihaknya. Selalu salah. Polaritas pemihakan politik merasuk sampai ke wacana budaya, ilmu dan psikologi masyarakat. Manusia berhijrah dari kemanusiaannya, menjelma jadi Malaikat yang tak mungkin salah, serta Setan yang tidak mungkin benar.
Itu pun tidak pernah tercapai objektivitas pengetahuan yang mana Malaikat yang mana Setan. Karena setiap Setan disebut Malaikat, dan setiap Malaikat disebut Setan. Semua memalaikatkan golongannya dan mensetankan golongan lain. Manusia gagal menjalani hakikat penciptaannya sesudah formula Malaikat, Alam dan Iblis. Bersama masyarakat Jin, manusia dibekali perangkat untuk me-manage dialektika, mengelola keseimbangan, meneliti persenyawaan, memperjodohkan positif dan negatif menjadi lampu yang bercahaya.
Ada beberapa kemungkinan yang terjadi pada “Pemimpin Yang Tuhan”. Mungkin jumlah amal baiknya, sedekah dan kemuliaan sosialnya, sebelum jadi pemimpin, membuatnya dilindungi oleh Tuhan. Keburukan dari luar diharamkan oleh Tuhan untuk menyentuhnya. Aibnya ditutupi. Indikator kemungkinan ini adalah berlangsungnya secara jelas “benar itu benar, bathil itu bathil” di masyarakat dan Negaranya.
Kalau yang berlangsung dalam mekanisme ber-Negara dan budaya masyarakatnya adalah samar-samar antara yang benar dengan yang bathil, antara baik dengan buruk, dominasi hiprokrisi, kemunafikan, kepura-puraan, pencitraan dan pemalsuan – maka kemungkinannya adalah frekuensi “Dajjal”. Di mana api dipahami sebagai air, dan air malah terasa api. Neraka diiklankan sebagai Sorga, sementara disebarkan phobia-sorga ke seantero Negeri, dengan berbagai bentuk dan formula.
Kalau gejala ini yang terkuat, maka treatment dari Tuhan mungkin sekali bukan ujian, bukan peringatan, bukan pula hukuman – melainkan sejenis adzab. Kalau ujian, akan naik derajat. Kalau peringatan, itu penyelamatan. Kalau adzab: tidak sama dengan hukuman. Kalau hukuman, berfungsi pembersihan. Output hukuman adalah kehalalan kembali.
Sedangkan adzab, hilirnya hanya kesengsaraan. Turnamen Dunia-Akhiratnya penderitaan, bisa di babak penyisihan sudah menderita, bisa di perempat final, semifinal, final atau seusai turnamen tetap sengsara. Kholidina fiha abada. Lestari abadi. Mulai kapan itu terjadi? “Amhilhum ruwaida”, kata Tuhan, Ku-kasih tenggang waktu sejenak.
Kemungkinan lain adalah kumpulan para penyihir ulung mengelilingi Presiden. Semua kritik, pembunuhan karakter, oposisi, tidak mempan. Di abad 16 dulu Mataram Islam mengganti latar wibawa Walisongo Demak Pajang dengan mitologi Kanjeng Ratu Kidul. Amar langit, digeser ke sihir Bumi. Semua penguasa Pulau Jawa berabad-abad koalisi utamanya adalah Ratu Kidul. Rompinya Bung Karno di balik jas-nya hijau tua bertuliskan ayat-ayat dibikin oleh tokoh rahasia Madura.
Juga bungkusan dalam tas Yang Uti ketika revolusi internal parpol besar di Asrama Haji Surabaya, dari Madura juga. Tapi sejarawan tak mungkin berurusan dengan berbagai rahasia samar di belakang Bung Karno, 39 paranormalnya Pak Harto. Sampai ketika Gus Dur saya “iguh” jadi Presiden mengalahkan Mega dan Habibie, saya fetakompli “tidak boleh lagi ada kontak dengan Kanjeng Ratu Kidul”. Persis sebagaimana ketika 200-an Raja-raja Nusantara berkumpul di Keraton Yogya, dalam rangka launching Al-Qur`an Keraton, saya fetakompli di depan HB-X dan semua Raja-Sultan: “Dengan resminya Al-Qur`an Keraton Yogya malam ini, tidak ada lagi kaitan semua Keraton Nusantara dengan Kanjeng Ratu Kidul”.
Tetapi Gus Dur punya jawaban sendiri. Ia tertawa ngakak ketika saya desak jangan pacaran sama Ratu Kidul.
“Ndak masalah, Cak”, katanya, “Saya sudah kirim SMS ke Kanjeng Ratu…”
“Lho kok SMS gimana maksud Sampeyan ini?”, saya bingung.
“Ya. Saya SMS beliau. Saya anjurkan agar mulai pakai jilbab. Dan alhamdulillah Kanjeng Ratu Kidul nuruti saya, sekarang sudah jilbaban…”
Sekarang ini mungkin Kanjeng Ratu Kidul sudah kembali copot jilbab. Pantas tiga tahun belakangan ini situasi nasional kita keruh, panas dan berbau busuk. (Bersambung)
Yogya, 6 September 2017
Emha Ainun Nadjib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar