Jumat, 28 Juli 2017

LAHIRNYA PERPPU ORMAS: MIRIP TAHUN 65

Mirip Tahun 65

Lahirnya Perppu Ormas dimasa rezim Jokowi memiliki kemiripan saat Indonesia dipimpin Soekarno pada era tahun 1965. Rezim Jokowi sedang mempraktekan politik belah bambu atau Divide at impera. Pemerintah memuji-muji kelompok Islam tertentu dan menekan kelompok Islam yang lain. Tokoh masyarakat Solo, Mudrik Sangidoe mengatakan bahwa Perppu ormas menyasar pada kelompok Islam yang kritis terhadap pemerintah. Rezim Jokowi menurutnya sedang mempraktekkan Devide at impera (Politik belah bambu).

Peristiwa saat ini persis seperti tahun 65. Rezim Jokowi itu menggunakan teori belah bambu. Terkait Perppu, ini kan mestinya melalui pengadilan, kesalahan HTI apa ta?” kata Mudrik, usai diskusi Kebangsaan di Hotel Aston, Solo, Rabu (26/7/2017).

Kelompok umat Islam yang diangkat, kata Mudrik adalah kelompok yang mau dininabobokkan dan mengikuti kemauan pemerintah. Sedang yang kritis terhadap pemerintah disebut melanggar Perppu.
Kalau sebutan anti Pancasila, anti kebhinekaan itu ditujukan pada Umat Islam yang kritis pada pemerintah. Saya hanya berharap umat Islam tetap memegang amar makruf nahi munkar. Harapan saya segera ganti rezim,”.

Contoh orang yang anti NKRI dan Pancasilais seperti apa. Saya merasa aneh dalam Negeri ini, sebab sikap pemerintah mengarah pada kediktatoran. “Ini aneh, seolah yang radikal ini lahir dari umat Islam yang kritis. Jadi yang tidak sama dengan pemerintah dianggap musuh, sama dengan jaman bung Karno, yang anti Nasakom dianggap supersif. Jaman Suharto juga begitu, anti asas tunggal dianggap supersif”.

Sepakat dengan pakar hukum tata negara, bahwa Jokowi bisa diimpeachment. Pasalnya utang negara telah melanggar UU keuangan. Mudrik mengungkapkan bahwa peta politik Jokowi berubah pasca kekalahan Ahok.
Saya sependapat dengan pernyataan Yusril Ihza Mahendra yang mengatakan bahwa pemerintah sudah bisa diimpeachment. Saya katakan Jokowi paranoidnya luar biasa, dengan kekalahan si Ahok peta politiknya berubah secara total”.

Mirip Kebangkitan PKI

Sastrawan Taufik Ismail menilai kondisi Indonesia pada tahun ketiga Presiden Joko Widodo memerintah, seperti situasi kebangkitan Partai Komunis Indonesia. "Situasi minggu-minggu dan bulan-bulan terakhir ini, mirip situasi pada tahun 62, 63, 64, dan 65," kata Taufik, dalam sambutannya dalam deklarasi Alumni Universitas Indonesia Bangkit untuk Keadilan di Perpustakaan UI, Jumat, 27 Januari 2017.

Menurut Taufik Ismail itu, PKI sedang menyusun kekuatannya dengan sehebat-hebatnya untuk merebut kekuasaan. Namun, setelah gagal pada 1926 dan 1948, mereka berhasil menghasut Presiden Sukarno, untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat yang demokratis, yang dipilih dengan jujur dan tanpa bunuh-bunuhan. Bahkan, tidak ada penipuan penghitungan suara, dan diikuti oleh pers dunia.

Pers Amerika dan Eropa, menyebut ada negara baru sembilan tahun merdeka mengadakan pemilihan yang bersih, dan tidak ada tandingannya di dunia dalam berdemokrasi, yaitu Indonesia. "Tidak ada penghitungan suara yang dicurangi. Ketuanya tokoh besar Masyumi Burhanudin Harahap, dia netral dan tidak mengaju-ngajukan Masyumi supaya menang."
Namun, pada waktu bersamaan ada suatu negara yang jaraknya tidak jauh dari Indonesia menggelar pemilihan umum pertama tapi heboh. Sesama partai berkelahi. Bahkan, ada belasan orang yang terbunuh. Negara itu adalah Filipina. "(Demokrasi) kita dipandang dunia waktu itu," ujarnya.
 
Indonesia menjalankan pemilu yang jujur dan tenang. Sedangkan di Filipina juga 10 tahun merdeka, gontok-gontokan dan surat suara dicurangi. Mereka diejek dunia luar. "Itu yang terjadi pada tahun itu." Situasi politik berubah ketika Sukarno membubarkan DPR yang demokratis. Sukarno menunjuk 200 orang menjadi anggota DPR yang baru dan melan Anggota DPR yang baru mengangkat Sukarno menjadi presiden seumur hidup. Namun, Mohammad Hatta tidak setuju, lalu meletakkan jabatan sebagai wakil presiden. Saat itu ada satu konsep idieologi negara yakni Nasionalis, Agama dan Komunis yang disatukan. Bagi, komunis konsep itu merupakan kesempatan. "Dia (Sukarno) tidak tahu orang komunis ini kerjanya berdusta dan menjegal. Konsep Nasakom dijegal. Dan mereka merebut kekuasaan ketiga kalinya, tapi gagal juga."

Referensi
Panjimas
M. Tempo
Islam Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar