Kamis, 17 Agustus 2017

RASA CEMBURU DAN BENCI ISLAM

Deden Heryana
Di negeri ini, rasa cemburu dan anti Islam sudah tumbuh sejak lama. Ibarat bibit yang tersembunyi dalam tanah, tak disangka bahwa sesungguhnya telah ada mata yang mengawasi gerakan kaum muslimin di saat berjuang melawan penjajah.

Mereka tak muncul atau bersuara. Tak memberi apresiasi atau dukungan tapi juga tidak menghalangi. Sebagai minoritas, tau diri. Mereka menyembunyikan rencana dan pandangan yang jauh ke depan.

Di masa perjuangan kemerdekaan, kalau tak mau dikatakan penyokong penjajah, minimal tak punya peran bagi kebebasan negeri ini. Mereka tau persis betapa putra-putra bangsa ini mencatatkan nama-nama seperti; Oemar Said Cokro Aminoto, dengan gerakan ekonomi yang kental perlawanannya bagi penjajah, Diponegoro keluarga kerajaan yang menggerakkan perlawanan pada Belanda di Jawa Tengah. Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat, Tueku Umar dan Cut Nyak Din Di Aceh. Juga peran Ulama dan pondok-pondok pesantren, dan militer yang kala itu didominasi para mujahid. jelmaan dari Hizbullah dan Hizbul Wathan.

Negeri ini dimerdekakan Allah dari penjajah, setelah para pahlawan berjihad sambil mengumandangkan takbir. Ditandai cucuran keringat dan darah para syuhada'.
Semboyan mereka adalah :
عش كريما او مت شهيدا

"Hidup mulia atau mati syahid"
"Merdeka atau mati"

Sebaliknya, seperti dipaparkan Dr. Adian Husaini dalam buku beliau, "Penjajahan belanda dan missionaris. Kaum anti islam ini bergandengan tangan dengan penjajah begitu mesra. Pembangunan gereja oleh pemerintah Belanda dan biaya gratis pulang pergi para pendeta (missionaris)."

Namun, setelah kemerdekaan, Ketika tokoh-tokoh kemerdekaan merumuskan prinsip-prinsip landasan bernegara, mereka telah mulai tumbuh untuk ikut mewarnai sejak dini.

Buahnya, tujuh kata pada piagam Jakarta dihapus dari UUD 1945.

Skenario perubahan piagam Jakarta ini, bila kita baca buku yang ditulisi Endang Saifuddin Ansori: "Piagam Jakarta", bernuansa sabotase atas keputusan yang telah dibahas dengan liku-liku yang panjang. Tak berhenti di situ, lambat tapi pasti. Kesan  bahwa umat islam adalah pelopor dan pewaris paling berhak di negeri ini, secara sistematis lambat laun dihapuskan.

Tidak banyak dibahas, siapa sesungguhnya Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Umar, Jendral Sudirman. Ibadah dan ketaatan mereka tidak dikenal generasi muda. Apalagi peran para kiyai dan pesantren. Yang diajarkan di sekolah-sekolah, mereka itu adalah sebagai tokoh nasional saja.

Peran bpk. Dr. M Natsir mantan ketua Masyumi Organisasi politik Islam satu-satunya, dengan mosi integral, berbuah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita warisi sekarang. Begitu terlambat beliau mendapat predikat Pahlawan Nasional (baru di masa Presiden SBY).

Mempersempit Gerak
Kian hari kian terasa adanya upaya mempersempit gerak aktifis da'wah umat islam. Kini media massa hampir sepenuhnya dikuasai kelompok anti umat Islam. Perubahan undang-undang dasar negara yang memuluskan kaum anti Islam, yang dimasa perjuangan melawan penjajah masih bagai biji, kini laksana pohon yang sudah besar. Kuku mereka mencengkeram disemua lini. Terutama ekonomi. Dari perusahaan-perusahaan besar (yang kita kenal dg sebutan: sembilan naga), sampai mini market yang menyebar ke pelosok-pelosok daerah.

Optimis
Kita tak boleh berhenti berjuang, dan tak boleh kehilangan optimisme. Jika ada Jihad (kesungguhan) pasti ada kemenangan.

Allah berfirman:
*"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.*(Q.S. Al Ankabut: 69)

"Dan masa (kejayaan dan, kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim,"
(QS. Ali Imran: 140)

"Janganlah kamu kira bahwa orang-orang yang kafir itu dapat melemahkan (Allah dari mengazab mereka) di bumi ini, sedang tempat tinggal mereka (di akhirat) adalah neraka. Dan sungguh amat jeleklah tempat kembali itu." (Q.S. An-Nur: 57)

Mari kita renungkan di peringatan hari kemerdekaan ini.
Wallohu a'lam bishowab...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar