Yang harus difahami bahwa tidak seorang pun berdalil dengan satu dalil untuk mengukuhkan paham batilnya melainkan di dalam dalil tersebut terdapat dalil yang menggugurkan paham bathilnya itu. Dan kita akan membuktikan bahwa di dalam dalil tersebut ada dalil yang menunjukkan kebathilan pemahaman mereka, karena di dalam istinbath suatu maslah dari dalil tertentu, maka dalil tersebut harus diungkapkan secara utuh, di mana riwayat-riwayat yang berkaitan dengan hadits tersebut harus diutarakan juga supaya jelas maksud daripada hadits tersebut. Di dalam hadits yang sedang kita bahas ini yaitu kisah orang yang berwasiat itu, di dalam riwayat Imam Ahmad dalam Musnad dari hadits Abu Hurairah semoga Allah meridhainya dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
bersabda:
"Dahulu ada seorang pria dari kalangan umat sebelum kalian yang tidak melakukan sedikitpun amal kebaikkan kecuali tauhid, kemudian tatkala kematian menjemputnya ia berkata kepada keluarganya: Perhatikanlah, bila aku telah mati hendaklah mereka membakarnya sehingga membiarkannya menjadi arang, kemudian tumbuklah dan tebarkanlah di hari musim angin kencang (kemudian taburlah separuhnya di darat dan separuhnya di lautan, demi Allah seandainya Dia kuasa terhadapnya tentu Dia pasti mengadzabnya dengan adzab yang tidak pernah Dia timpakkan kepada seorang-pun), kemudian tatkala ia mati maka mereka melakukan hal itu (maka Allah memerintahkan daratan untuk mengumpulkan (abu-abu) yang ada padanya dan memerintahkan lautan agar mengumpulkan (abu-abu) yang ada padanya), maka ia-pun tiba-tiba (berdiri) dalam genggaman Allah".
maka Allah 'Azza wa Jalla berkata:
"Hai anak Adam, apa yang mendorongmu untuk melakukan apa yang telah kamu lakukan?"
Maka ia menjawab: "Ya Rabbi! Rasa takut kepada Engkau (dan dalam jalur riwayat lain: karena rasa khawatir dari-Mu, sedangkan Engkau lebih mengetahui),"
Maka beliau berkata: "Maka Dia mengampuni baginya dengan sebab hal itu, padahal ia itu tidak melakukan sedikitpun kebaikan kecuali tauhid."
Itu menurut teks yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
radhiyallahu anhu.
Dalam hadits ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu: "Bahwa seorang
pria yang tidak melakukan sedikitpun dari kebaikkan kecuali tauhid ".
Teks hadits ini menjelaskan dengan sangat nyata bahwa orang tersebut adalah orang yang tidak berbuat syirik, dengan teks hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam itu berarti orang tersebut adalah seorang muwahhid karena orang yang bertauhid itu bukan pelaku syirik akbar karena kita sudah faham bahwa tauhid dan syirik itu adalah
ّقٍضبُ ال ٌجزؼبُ ٗال ٌشرفؼبُ
"Dua hal yang berlawanan yang tidak mungkin bersatu dan tidak mungkin kedua-duanya lenyap (pada satu orang dalam satu waktu)".
Jadi dengan teks hadits ini gugurlah istidlal ahlul dlalal (orang-orang sesat) yang menggunakan dalil ini untuk dijadikan dalil atas syubhat mereka bahwa pelaku syirik akbar yang jahil itu diudzur, kenapa gugur istidlal mereka? Karena di dalam teks hadits itu sendiri disebutkan bahwa orang tersebut adalah seorang muwahhid, yaitu orang yang komitmen dengan tauhid. Maka Al Imam Al-Hafidz Ibnu Abdil Barr dalam Kitab At-Tauhid juz 18 hal. 37 mengatakan
"Diriwayatkan dari hadits Abu Rafi' dari Abu Hurairah dalam hadits ini bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengatakan: Ada seorang pria yang tidak melakukan kebaikkan sedikitpun kecuali tauhid."
Kita telah paham bahwa tauhid itu adalah kufur kepada thaghut dan iman kepada Allah, juga baraa dari syirik dan dari para pelakunya. Imam Ibnu Abdil Barr melanjutkan teks ucapan ini, yaitu Rasulullah:
"Bila teks hadits ini shahih tentu sudah melenyapkan isykal perihal keimanan pria ini, berarti orang ini mu'min muwahhid. Dan seandainya teks ini tidak shahih dari sisi sanad dan dari sisi naql, akan tetapi shahih dari sisi makna, dan kaidah pun semuanya mendukungnya dan peninjauan pun mengharuskan untuk makna seperti itu, karena mustahil lagi tidak mungkin Allah Subhanahu wa Ta'ala mengampuni orang-orang yang mati sedangkan mereka itu kafir, dikarenakan Allah Subhanahu wa Ta'ala sudah mengabarkan bahwa Allah tidak mungkin mengampuni orang yang menyekutukan-Nya bila dia mati dalam keadaan kafir dan ini adalah hal yang tidak bisa dibantah, dan hal ini adalah hal yang tidak ada perselisihan di antara ahli kiblat"
Juga Al-Allamah Muhammad bin Abdissalam Al-Mubarakfuri
mengatakan :
"Perawi telah meriwayatkan hadits dengan teks: Berkata seorang pria yang tidak melakukan kebaikkan kecuali tauhid,"
Teks ini melenyapkan isykal tentang keimanan pria tersebut dan kaidah ushul-pun mendukungnya di mana Allah mengatakan:
"Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa penyekutuan terhadap-Nya"
terus beliau mengatakan:
"Tatkala perbuatan dia ini dilakukannya karena rasa takut kepada Allah maka mesti dikatakan bahwa orang ini adalah orang mu'min, sehingga atas dasar ini maka hadits itu sangat nampak jelas bahkan seperti penegasan dalam pengecualiaan tauhid sebagaimana yang telah lalu, sehingga tidak ada isykal di dalamnya."
Kalau ini sudah dipahami, berarti tidak boleh hadits ini dibawa kepada makna pengudzuran pelaku syirik akbar karena kebodohan, karena itu bertentangan dengan teks hadist sendiri, di mana Rasululullah shallallahu alaihi wa sallam telah mengkabarkan bahwa orang tersebut tidak melakukan sedikitpun dari kebaikkan kecuali tauhid, orang itu adalah orang yang bertauhid, berarti ini yang harus dipegang, makna ini bahwa orang tersebut adalah muwahhid atau yang bertauhid. Juga di akhir hadits " apa yang mendorong kamu untuk melakukan hal tersebut? "
Orang itu mengatakan: "rasa rakut kepada Engkau yaa Rabb " sedangkan yang namanya Khasy-yah (rasa takut) itu hanya pada orang yang mengetahui Allah, di mana Allah mengatakan:
"Yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya itu hanyalah
para ulama, sesungguhnya Allah itu Maha Perkasa lagi Maha Pengampun."
Ulama (orang yang alim) itu adalah orang yang alim (mengetahui) Allah (yaitu orang muwahhid). Sedangkan orang musyrik itu dengan nash Al-Qur'an adalah orang yang jahil (bodoh)
Allah ta'ala berfirman:
"Katakanlah: Maka apakah kepada selain Allah kalian memerintahkan aku untuk beribdah wahai orang-orang bodoh." (Az Zumar: 64).
Di dalam Ayat ini Allah subhanahu wa Ta'la menyebut orang-orang musyrik itu sebagai orang jahil atau bodoh, setiap orang musyrik itu jahil (bodoh) tapi tidak setiap orang bodoh itu musyrik, ini kaidah setiap orang musyrik itu bodoh walaupun ilmunya banyak namun dia itu bodoh, karena tidak mengenal Allah yang sebenarnya, tapi tidak setiap orang bodoh itu musyrik karena ada orang muslim yang bodoh, di mana dia bertauhid tapi rincian-rincian dalam masalah furu' dia tidak paham.
Yang takut kepada Allah hanyalah orang yang alim sedangkan orang musyrik itu orang yang bodoh dan tidak mempunyai khasy-yah, terus juga dalam syarat laa ilaaha illallah terdapat syarat yang pertama adalah ilmu (mengetahui), dan orang yang tidak berilmu itu tidak mungkin memiliki khasy-yah, bagaimana mungkin orang yang tidak mengenal tauhid dia punya khasy-yah kepada Allah. Kemudian juga apa makna hadits tersebut setelah kita keluarkan bahwa ini tidak ada kaitannya dengan masalah syirik akbar. Terus harus dipahami juga bahwa orang tersebut dia tidak mengingkari qudrah Allah secara mutlak, dia menyakini bahwa Allah Maha Kuasa, dia menyakini qudrah Allah Subhanahu wa Ta'ala, di mana di dalam teks hadits tersebut sendiri terdapat pengakuan terhadap qudrah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sudah saya sebutkan tidak seorang pun berdalil dengan suatu dalil untuk paham bathilnya melainkan di dalam hadits tersebut terdapat hal yang bisa menggugurkan paham bathilnya.
Disarikan dari ceramah audio Ust.Abu Sulaiman Al-Arkhabali
Bro, ust. Abu Sulaiman al-Arkhabali -fakkallahu asroh- itu berbaiat kepada pemimpin mujahiden ¡$¡$, yaitu syaikh Abu Bakar al-Baghdady -taqobbalahullohu minassyuhadaa- di postingan yg lain, kamu IKUT-IKUTAN menuduh Syaikh sebagai agen mossad. Ini adalah fitnah bro, saya punya bukti yg menunjukkan sebaliknya. Apa kamu masih aktif di blog?
BalasHapusNah itu di artikel yg kamu tulis ada Syaikh al-Mubarokfuri, nah beliau kan Syaikh dari kelompok "Wahabi". Plis deh bro....
BalasHapus