By: Sri-Bintang Pamungkas
Jokowi yang menjadi Presiden RI sekarang ini sudah mulai ancang-ancang berkampanye untuk Pilpres 2019, yaitu dengan memanggil para Sukarelawannya. Jadi tidak salah, kalau para oposannya juga mulai ancang-ancang… termasuk kami, sekalipun kami tidak masuk dalam kelompok partai politik mana pun. Di dalam UUD 1945 Asli tidak ada disebut-sebut “partai politik”, melainkan pada Pasal 28 ada disebut “kemerdekaan berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat, baik lisan maupun tulisan dan lain-lain…”.
Ketika Pak Harto mengatakan, bahwa di Indonesia tidak boleh ada oposisi, kami dengan tegas menentangnya! Negara kita, NKRI, adalah Negara Demokratis, di mana Rakyat Berdaulat, dan mempunyai kedaulatan puncak (ultimate), sehingga Lembaga Tertinggi Negara seperti MPR pun berwajib menjalankan sepenuhnya Kedaulatan Rakyat itu (Pasal 1 ayat 2). Artinya, setiap suara rakyat, sekalipun hanya SATU ORANG, harus didengar, diperhatikan dan dijalankan. Tentu Lembaga Perwakilan Rakyat Tertinggi itu diberi kewajiban pula secara profesional dalam menganalisa dan menyintesakan segala suara rakyat itu menjadi suatu kesimpulan dan melaksanakannya dengan sebaik-baiknya!
Pada 1996 kami menyampaikan pendapat kami tentang TIGA HAL, dalam Kartu Lebaran 1417 H, secara nasional kepada masyarakat, Wakil Rakyat dan dan, tentunya, Rezim Soeharto. Sehingga, kartu itu menjadi terkenal sebagai Kartu Lebaran Politik, yang isinya adalah:
(1) Menolak Pak Harto dicalonkan lagi sebagai Calon Presiden Tunggal…
(2) Menolak Pemilu (legislatif) 1997… dan
(3) Menyiapkan Tatanan Baru Pasca Soeharto 1998…
Kiranya, pernyataan pendapat semacam isi Kartu Lebaran itu sudah mulai perlu untuk disampaikan secara nasional sekarang ini… Tentulah bukan mau kami mengatakan, bahwa Jokowi adalah presiden sehebat Soeharto, tetapi justru sebaliknya… Hanya dalam waktu kurang dari tiga tahun, dibanding Soeharto yang bercokol lebih dari 30 tahun, kemampuan Jokowi mengacak-acak Tatanan Negara dan melanggar Konstitusi ini sudah seperti di jaman Soeharto. Bahkan terlebih-lebih lagi, mengingat Rezim Soeharto tidak pernah melakukan hal-hal berkaitan dengan “kejahatan terhadap Keamanan Negara” seperti di masa Rezim Jokowi ini. Artinya, ada unsur khianat terhadap NKRI, sebagaimana terindikasi dilakukan di masa Rezim Jokowi.
Memang, kalau mau jujur, peristiwa November 1967 di Jenewa, di mana Satu Tim Ekonomi Indonesia yang dikirim Soeharto untuk membicarakan bantuan Utang Luar Negeri/ ULN oleh Negara-negara Donor bagi Indonesia, yang disusul dengan terbentuknya IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia) dan UU Penanaman Modal Asing Nomor 1/1967 (ditandatangani Bung Karno pada 10 Januari 1967!). Kerugian yg diakibatkan oleh “tindakan Tim Ekonomi” Pak Harto itu luar biasa besar dan terasa akibat buruknya sampai sekarang…
Di dalam Pasal-pasal KUHP tentang Pelanggaran terhadap Keamanan Negara, Kerugian Negara yang diakibatkan oleh Keputusan Tim Ekonomi itu termasuk dalam Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, khususnya melanggar Pasal 121 s/d Pasal 130. Tim itu bisa dihukum maksimum 15 tahun penjara…Di situ hukum juga sudah tidak ditegakkan. Bahkan, baru sesudah Pak Harto jatuh, orang berani melemparkan tuduhan kepada Tim Ekonomi itu sebagai Mafia Berkeley…
Harus diakui dengan jujur, bahwa banyak kebijakan-kebijakan Rezim Pak Harto yang buruk yang diikuti dan dilanjutkan oleh rezim-rezim sesudahnya… bahkan dengan intensitas yang lebih besar. Yang paling kentara adalah Kebijakan ULN dan Perampokan terhadap Sumberdaya Alam Indonesia. Belum terhitung warisan buruk di bidang-bidang lain, seperti Korupsi, Pelanggaran Hukum dan Hak-hak Asasi Manusia/ HAM serta Pelanggaran Pemilu.
Tentu tulisan-tulisan serial “Pasca Jokowi” kali ini tidak bermaksud menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan berbagai kejahatan rezim yang bermuara pada isi Kartu Lebaran Politik tersebut di atas… tetapi lebih luas lagi, termasuk menjangkau Indonesia masa depan… Yaitu, sejauh yang kami bisa lakukan, dalam usaha mewujudkan Cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 1945.
Akibat dari Kartu Lebaran Politik itu, langsung atau tidak langsung, memang Luar Biasa… di luar perkiraan akal manusia… pasti ada Tangan Allah YME! Di situ disebut tentang “Pasca Soeharto 1998″… Kartu Lebaran dikirim pada Desember 1996… September 1997 Pemilu Legislatif… Maret 1998 untuk ke tujuh kalinya Pak Harto terpilih menjadi Presiden Calon Tunggal…. Mei 1998 Pak Harto dipaksa lengser keprabon…
Tentu terlalu lama menunggu Jokowi untuk mundur teratur seperti Pak Harto, semisal dua tahun kemudian. Orang banyak bilang lebih cepat lebih baik. Kenapa?! Karena kejahatan yang terjadi pada masa Rezim Jokowi ini, sebagai ekstra kejahatan terhadap kejahatan-kejahatan lain di atas, sungguh menakjubkan. Tanpa melupakan keinginan Jokowi untuk menjadi Calon Tunggal pada 2019. Yaitu kejahatan yang marak, yang tidak pernah terjadi sebelum-sebelumnya, dalam TIGA HAL:
• Gerakan Anti-Pribumi Pro-Mafia Cina…
• Gerakan Anti-Islam Pro Non-Islam… dan
• Gerakan Pro- Komunis.
Terlepas dari campur-tangan kekuatan Rezim di belakang gerakan-gerakan yang sangat berbahaya bagi eksistensi NKRI itu, kiranya, seperti terjadi pada 1998 kepada Rezim Soeharto, maka kepada Rezim Jokowi pun perlu diberi isyarat STOP 2017!
@SBP
100917
Source : Obsessionnews
Baca juga Pasca Jokowi... (II)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar