Oleh: Nasrudin Joha
Sekuat apapun pintu dan benteng-benteng kekuasaan membendungnya- pasti akan menemukan jalannya. Rezim telah menggunakan pendekatan represifme untuk membendung geliat tuntutan keadilan.
Tidak sulit, bahkan bagi awam sekalipun untuk mengindera ketidak-adilan di negeri ini. Kedzaliman yang dipertontonkan rezim begitu telanjang dan sangat kasat mata.
Kasus HRS yang tidak memiliki bukti, hingga detik inipun dipaksakan untuk dipertahankan. Meskipun tidak ada update kasus lebih lanjut, setidaknya rezim telah mem-peties-kan untuk sewaktu-waktu bisa digoreng. Tidak ada SP3, meski lemahnya unsur bukti begitu 'Ceta Wela-Wela'.
Kasus Alfian Tanjung, adalah yang paling telanjang. Sebab, begitu dibebaskan dari penjara atas dikabulkannya pra peradilan, Alfian langsung ditangkap atas status tersangka baru. 1000 pra peradilan, 1000 sprindik baru diterbitkan. Apa ini bukan diktator?
Buni Yani adalah korban selanjutnya, untuk satu perkara yang telah diputus bahwa si Ahok adalah Terpidana Penista Agama, namun jaksa masih ngotot. Pencurinya di penjara, orang yang mengabarkan adanya pencurian dituntut hukuman. Hukum macam apa ini?
Asma Dewi, adalah kasus paling tragis dan membuat hati miris. Seorang emak-emak, yang mencoba peduli atas kondisi bangsa, setelah barisan mahasiswa sibuk dengan diskursus kampus namun lupa dengan pergerakan dan perjuangan, juga di sel oleh rezim. Pasal ITE adalah pasal karet yang jamak digunakan.
Habib Smith, singa Allah juga tidak luput. Panggilan polisi telah dilayangkan. Awalnya sebagai saksi, tapi hukum di negeri ini milik Ali baba. Sim salabim, panggilan saksi sehari bisa langsung jadi tersangka dan ditahan.
Jonru, pejuang sosmed rival politik pegiat sosmed istana juga mengalami hal serupa. Ia juga terkena delik "pukat harimau UU ITE".
Hermansyah, sampai ia pulih pelakunya belum juga disidangkan. Jika tidak ada tuntutan, atau jika tuntutan tidak kuat dan dianggap remeh, bisa saja rezim menundanya hingga peradilan yaumul hisab kelak.
Ormas Islam HTI, langsung dibubarkan tanpa ditanya, dimintai klarifikasi, tanpa diberi kesempatan membela diri dihadapan pengadilan. ILUNI UI juga bernasib sama. Rezim berdalih pada produk "Perppu Ormas".
Jika itu terkait Islam dan pemeluknya, cepat sekali rezim bertindak. Tetapi jika itu dilakukan oleh ahoker, cebonger, taiker, Bani jamban, kaum kotak-kotak, hukum nyaris tidak bernyali. Bahkan, hukum tidak ada !
Penghinaan dan ancaman terhadap Fahri Hamzah, hingga kini tidak ada kabarnya. Mungkin ceritanya berbentuk cerpen, langsung selesai. Tidak ada penyidikan, penuntutan, vonis pengadilan. Bahkan penyelidikan pun tidak dilakukan.
Tembakan ke rumah caleg PKS dan Pak Amien Rais, kasusnya hingga kini juga tidak jelas. Bahkan, sampai Novel baswedan kehilangan mata, rezim tetap tutup mata.
Sementara itu problem negara begitu akut. Hutang menggunung, daya beli melemah, tambang diserahkan asing-aseng. Serbuan warga China nampak di pelupuk mata, Papua menuntut pisah. Ekonomi yang sulit diselesaikan dengan memalak rakyat tanpa ampun. Semua barang dikenai pajak, tarif listrik naik, BBM naik, bahan sembako naik, pendidikan naik. Narkoba merajalela, konflik sosial kian menggejala, kenakalan remaja, tawuran, masyaa Allah...masih banyak lagi.
Rakyat Harus Bangkit
Melihat keadaan ini, rakyat harus bangkit. Setelah penguasa membatu, sementara wakil rakyat di DPR juga bertindak sebagai satpam kekuasaan bukan wakil rakyat, maka rakyat harus bangkit berjuang membela diri.
Adalah aneh jika tidak ingin dikatakan dungu, pada kondisi semacam ini rakyat masih diam. Rezim telah memberikan tekanan pada batas yang sangat brutal, maka rakyat sudah wajib melawan. Wajib menabuh genderang Revolusi !
Persoalannya bukan saja untuk saat ini, tetapi warisan sejarah bagi generasi selanjutnya. Jika kita diam pada hari ini, kemudian kita mewariskan peradaban rusak untuk generasi selanjutnya, lantas apa argumen kita kepada anak cucu kita?
Persoalannya juga tidak sebatas dimensi dunia, tetapi aspek transendental. Dimensi akhirat. Jika Kita diam melihat kedzaliman ini, lantas apa hujjah kita dihadapan Allah SWT pada yaumul hisab kelak?
Di sinilah letak pentingnya rakyat mengumumkan perlawanan. Diskursus perlawanan harus ditingkatkan pada aksi nyata yang benar-benar membuat atau memaksa rezim bertindak adil. Jika tidak mau, maka perlawanan harus pada target menghentikan kedzaliman rezim. Meskipun dengan konsekuensi rezim harus tersungkur.
Ulama, rakyat menunggu seruanmu. Militer, rakyat membutuhkan perlindunganmu.
Tinggal satu yang ditunggu rakyat, seruan jihad dari ulama untuk melawan kedzaliman. Rakyat juga membutuhkan perlindungan dari militer/ tentara, setelah aparat penegak hukum berkali-kali mengkhianati rakyat.
Jika ulama membuat resolusi jihad, sementara militer berdiri tegap di sampingnya, maka rakyat akan segera turun menggulung rezim sakit dan khianat ini. Cukup satu tepukan, kedzaliman rezim khianat ini bisa diakhiri.
Rakyat akan melihat mana ulama tulus yang layak memimpin perjuangan, dan mana pula ulama-ulama penjilat kekuasaan.
Tentara juga harus berdiri bersama rakyat, setelah redzim dzalim ini tidak saja mendzolimi ulama dan umat Islam, bahkan mendzolimi wewenang militer.
Rezim telah mengangkangi militer dalam kasus impor senjata. Rezim telah melakukan Pembiaran atas penghinaan kepada panglima TNI. Rezim membiarkan penghinaan atas tugas mulia militer di perbatasan. Bahkan, rezim sengaja membenturkan militer dengan rakyat.
Terakhir, penulis hendak bersyair :
"Duhai, ranum nian buah revolusi ini. Ia telah menguning, buahnya siap dipetik"
"Wahai para punggawa revolusi, panenlah buah nan ranum ini. Jangan sampai ia busuk dan jatuh ke tanah"
"Duhai para punggawa revolusi, sudah saatnya engkau memanennya, jangan biarkan pembajak revolusi memanen buah revolusimu"
"Ini ladangmu, ini tanaman yang kau tanam, ini buah yang kau harapkan. Maka, musim panen telah Tiba. Segera siapkan keranjang dan galah untuk memanennya". [].
Source : mediaoposisi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar