Ayo tonton film 3 (Alif Lam Mim) film yang ditakutin pemerintah .
Kerreeennnn...! Ini adalah cuplikan dan film 3 (Alif Lam Mim) full yang telah membuat aparatur negara kita kebakaran jenggot.
Tak aneh, film yang terinspirasi dari video dokumenter karya wartawan Australia berjudul Inside Indonesia's War on Terror ini hanya bertahan 3 hari di bioskop karena dipaksa dihentikan penayangannya oleh pihak yang berwajib.
Film ini menceritakan betapa bobroknya instansi kepolisian kita karena selalu menjadi dalang dari setiap aksi terorisme dan kerap mengkambing putihkan Islam sebagai pelaku dari setiap aksi terorisme yang terjadi.
Ada tiga paham yang selalu menjadi bahan bakar dalam konstelasi politik di Indonesia, liberalisme, sosialime, dan agama (Islamisme). Semuanya mengaku yang paling nasionalis dan bakal memperbaiki Indonesia. Sosialisme dianggap menjadi anti-tesis dan lawan dari liberalisme. Sedangkan agama lebih mengakomodir keduanya dalam batas yang proporsional. Indonesia bukanlah bentuk murni dari ketiganya, namun semacam hybrid.
Secara implisit dalam dasar negara pancasila, ketiga paham diakomodir. Film Tiga ALif Lam Mim ini menjadi suatu warning bagi masyarakat Indonesia, ketika satu paham dominan dan merusak keseimbangan, maka paham yang lain akan tersingkir. Liberisme ekstrim akan memenggal paham-paham yang membahayakan eksistensinya, mungkin sosialisme juga akan begitu. Berbeda dengan agama, terkhusus Islam yang memuat unsur liberalisme dan sosialime sekaligus.
Pada film Tiga yang mengisahkan Indonesia menjadi negara liberal di tahun 2036, ditampakkan kebengisan penguasa tanpa moral yang menghalalkan segala cara untuk membentuk tatanan liberal dan perdamaian semu. Itulah saat dimana liberalisme menjadi sangat radikal dan “teroris”.
Silahkan tonton dulu cuplikannya di sini
Silahkan tonton film fullnya di sini
Link download
Cuplikan film Tiga
Film Tiga full
Film 3 langsung memberikan gambaran perubahan yang terjadi di Indonesia selama 20 tahun ke depan. Sebagai respons terhadap berbagai perseteruan antarkubu agama dan pengeboman tempat-tempat umum, perburuan terhadap gerakan radikal agama semakin gencar oleh aparat negara, bahkan banyak dari mereka dieksekusi tanpa proses pengadilan. Di saat hampir bersamaan, timbul gerakan baru untuk menegakkan hak asasi manusia dalam setiap aspek.
Revolusi pun terjadi di Indonesia pada tahun 2036, dengan prinsip menunjung tinggi HAM dan kebebasan. Perdamaian tampaknya mulai tercipta. Senjata tajam dilarang, sehingga aparat hanya mengandalkan peluru karet dan keahlian bela diri, silat menjadi hal yang lumrah di masyarakat. Media menyorot gerak-gerik aparat agar tidak kecolongan melakukan pelanggaran HAM. Di sisi lain, ruang untuk kegiatan beragama semakin sempit, menjalankan ibadah telah dianggap tabu, bahkan tempat-tempat komunitas agama dianggap sarang terorisme.
Di sinilah tokoh Alif ( Cornelio Sunny), Herlam ( Abimana Aryasatya), dan Mimbo ( Agus Kuncoro) ditempatkan. Mereka adalah tiga sahabat dari perguruan silat yang sama sewaktu remaja, namun revolusi mengubah segalanya. Perguruan silat mereka ditutup, dan ketiganya memilih jalan hidup masing-masing.
• Alif menjadi aparat detasemen antiteror yang bertekad memberantas kriminalitas dan terorisme apa pun bentuknya.
• Herlam menjadi seorang jurnalis di sebuah media liberal dengan tetap memegang idealismenya.
• Mimbo menjadi seorang ustaz di sebuah pondok pesantren yang terus dalam pengawasan negara.
Tiba-tiba, sebuah bom meledak di sebuah kafe dan menewaskan puluhan orang. Kasus ini mempertemukan Alif, Herlam, dan Mimbo dalam sebuah misteri yang mengancam mereka. Kecurigaan bahwa pengeboman ini dilakukan kelompok radikal agama membuat Alif harus berhadapan dengan Mimbo. Herlam pun terusik untuk mencari kebenaran di balik kasus ini, sekaligus berusaha menjaga agar kedua sahabatnya ini tak saling bertarung. Sedikit demi sedikit misteri tersingkap, mereka bertiga semakin menyadari bahwa kasus ini melibatkan sesuatu yang lebih besar.
Sejauh ini, mungkin baru film 3 yang berani menyajikan cerita dengan latar Indonesia jauh di masa depan, lengkap dengan perubahan keadaannya. Tidak berlebihan jika mengatakan bahwa kehadiran film 3 merupakan sebuah penyegaran. Tetapi, yang lebih utama dari sekadar mengaplikasikan latar waktunya, adalah merancang setiap detail dari dunia dan masa yang belum terjadi tersebut agar believable . Film 3 berhasil mengatasi itu.
Film 3 menampilkan Indonesia yang telah menjunjung nilai-nilai liberal setelah revolusi. Ini memang bukan sepenuhnya sebuah fantasi, karena sudah terjadi di dunia sekarang ini, hanya saja mungkin belum di Indonesia. Tetapi, film 3 berhasil memindahkan keadaan itu sehingga masuk akal dalam konteks bangsa Indonesia. Caranya? Lihat ke sejarah.
Di Indonesia, sudah pernah ada momen-momen yang mengubah tatanan kehidupan bangsa ini secara drastis—misalnya peristiwa 1965 dan 1998, sehingga bukan tidak mungkin hal semacam itu bisa terjadi lagi. Jika sekarang orang Indonesia lebih banyak yang mengaku beragama daripada yang tidak, siapa yang menjamin keadaan tidak bisa berbalik di masa depan?
TIDAK HANYA SATU DIMENSI
Tidaklah salah apabila ada yang akan menganggap film ini sebagai ramalan yang amit-amit terjadi, dan membawa pesan bahwa sepatutnya ajaran agama tetap dijalani sekalipun mendapat tekanan. Hal ini diteguhkan dengan ketiga karakter utama yang masih memegang ajaran Islam—walau dalam kadar berbeda-beda. Bahkan, nama panggilan mereka adalah Alif, Lam, dan Mim, berdasarkan tiga huruf pertama dalam beberapa surat di Al-Qur'an yang tidak diketahui maknanya. Namun, bukan cuma itu yang bisa digali di film ini.
Misalnya, jika diperhatikan, film ini sebenarnya tidak mengantagonisasi nilai-nilai liberal, yang biasanya dianggap "musuh" dari nilai-nilai agama konvensional. Liberalisme di sini bukan dianggap sebagai paham yang menerapkan kebebasan, tetapi lebih sebagai sebuah kelompok yang menjadi mayoritas. Ini bisa diartikan sebagai gambaran keadaan yang terus berulang terjadi di kehidupan masyarakat mana pun di dunia, bahwa apa pun pahamnya, ada kecenderungan kelompok mayoritas akan menekan minoritas dan menganggap sikap itu hal yang wajar, baik dalam hal pemikiran maupun keberadaan secara fisik.
Itu pun bukan hal yang tersirat, sebab beberapa kali pandangan ini diungkapkan secara gamblang dalam dialog. Film 3 memang terbilang penuh dengan komentar-komentar verbal tentang agama, politik, sosial, hukum, media, teknologi, teori konspirasi, bahkan cinta, dan untungnya tidak datang dari satu sudut pemikiran saja. Pengujaran-pengujaran gamblang ini memang selalu muncul di film-film garapan Anggy Umbara ( Mama Cake, Coboy Junior The Movie, Comic 8 ). Namun, di film 3 semua itu ditampilkan paling sesuai dengan fungsinya, baik untuk mendeskripsikan karakter, ataupun menggerakkan plotnya.
Jika plot film ini menghadirkan konsep satu masalah dari tiga sudut pandang tokoh-tokohnya, maka prinsip itu juga muncul dalam penuturannya. Itu sebabnya di awal film ada anjuran untuk menonton film ini sampai akhir, supaya penonton tidak salah sangka dengan apa yang ingin disampaikan. Contohnya, film ini menampilkan tokoh-tokoh yang secara gamblang mengucapkan kalimat yang menyudutkan agama, tetapi pada akhirnya film ini bisa juga dipandang pro-agama. Film ini bisa dianggap mengisahkan dystopian future, bisa juga tidak—tergantung ada di pihak yang mana. Film ini bisa dianggap bercerita tentang kebaikan melawan kejahatan, tetapi yang kemudian bergulir adalah pertarungan antara pihak-pihak yang sama-sama merasa berhak menciptakan perdamaian.
Yang pasti, segalanya tidak ditampilkan dalam dimensi yang tunggal, dan itu juga yang jadi salah satu bentuk keberanian dan kenekatan film ini. Mungkin yang agak sulit dilakukan adalah menganggap film ini hanya sekadar film laga dengan deretan adegan pertarungan. Sebab, justru cerita dan karakterisasinya yang lebih menonjol, kendati adegan laganya tidak sedikit.
Materi cerita yang cukup gemuk membuat tim produksi harus mengeksekusi adegan-adegannya semenarik mungkin dengan berbagai teknik, dan para penyunting harus bekerja keras membuat laju cerita ini tetap terjaga dari awal hingga akhir. Untuk bagian ini, film ini sudah menjalankannya dengan cukup baik. Penuturan plot maupun karakterisasinya ditampilkan nyaris tanpa celah, didukung dengan permainan para aktor dan aktris yang berhasil tampil menonjol, sekalipun yang porsinya hanya sebentar.
Di sisi lain, gaya penggarapan adegan-adegan laga yang sangat terpengaruh film-film action era milenium dari The Matrix hingga The Raid—lengkap dengan interupsi slow motion , juga disajikan dengan rancangan dan eksekusi yang serius. Hanya saja, tidak semuanya berhasil dalam tahap maksimal. Kualitas visual effects, tata suara, dan hasil proses visual antara yang satu dengan yang lain kerap terlihat tidak konsisten. Padahal, kualitasnya tampak bisa ditingkatkan seandainya punya biaya yang lebih besar, atau waktu yang lebih lama. Tetapi, paling tidak hal-hal teknis tersebut masih sanggup berfungsi sebagai penopang ceritanya yang berhasil tetap jadi sorotan utama.
Film 3 memang terbilang nekat dalam berbagai segi. Dari idenya, pemilihan genrenya, penulisan cerita dan dialognya, gaya visualnya, sampai pemanfaatan bujet dan waktu yang konon terbatas untuk membuat sebuah film dengan skala seperti ini. Film 3 pada akhirnya tidak hanya berhenti di ide yang berani beda, tetapi jadi tontonan dengan cerita dan eksekusi yang digarap cermat, komunikatif, serta dengan bonus nilai-nilai hiburan dan pemikiran, sebuah paket yang jarang ditemukan dalam film Indonesia sejauh ini.
Berikut 6 Alasan Film Ini Ditakuti Penguasa Dan Dilaran Tayang di Bioskop:
1. Bahaya Liberalisme Radikal
Ada tiga paham yang selalu menjadi bahan bakar dalam konstelasi politik di Indonesia, liberalisme, sosialime, Dan agama (Islamisme). Semuanya mengaku yang paling nasionalis dan bakal memperbaiki Indonesia. Sosialisme dianggap menjadi anti-tesis dan lawan dari liberalisme. Sedangkan agama lebih mengakomodir keduanya dalam batas yang proporsional. Indonesia bukanlah bentuk murni dari ketiganya, namun semacam hybrid.
Secara implisit dalam dasar negara pancasila, ketiga paham diakomodir. Film ini menjadi suatu warning bagi masyarakat Indonesia, ketika satu paham dominan dan merusak keseimbangan, maka paham yang lain akan tersingkir.
Liberisme ekstrim akan memenggal paham-paham yang membahayakan eksistensinya, mungkin sosialisme juga akan begitu. Berbeda dengan agama, terkhusus Islam yang memuat unsur liberalisme dan sosialime sekaligus.nPada film Tiga yang mengisahkan Indonesia menjadi negara liberal di tahun 2036, ditampakkan kebengisan penguasa tanpa moral yang menghalalkan segala cara untuk membentuk tatanan liberal dan perdamaian semu. Itulah saat dimana liberalisme menjadi sangat radikal dan “teroris”.
2. Sekulerisme Murni yang Meminggirkan Agama
Pengusung sekulerisme yang masih malu-malu seperti masih menyembunyikan hidden agenda. Bahkan mereka tidak segan mengaitkan sekulerisme yang dikatakan sebagai bagian dari ajaran agama. Padahal sejatinya, sekulerisme adalah musuh alami semua agama. Jika tahap awal sekulerisme hanya melarang agama untuk ikut campur ke dalam urusan publik, pada tahap akhir seperti yang dikisahkan film 3, sekulerisme akan terang-terangan melarang semua ritual dan atribut agama baik di kehidupan publik maupun privat.
Agama dipinggirkan, dideskriditkan, dicitrakan sebagai sesuatu yang kuno. Sehingga hampir semua orang Indonesia di tahun 2036 akan meninggalkan ajaran agama.
3. Hak Asasi Manusia yang Paradoks
Hak Asasi Manusia adalah barang dagangan orang-orang liberal. Sayangnya, lebih banyak orang liberal yang menggunakan HAM untuk menggebuk pihak lain. Mereka bicara HAM tentang Ahmadiyah, tapi bisu tentang penangkapan Densus 88 yang semena-mena.
Mereka lantang bicara HAM tentang penutupan gereja, namun diam seribu bahasa tentang masjid yang dibakar. Itulah paradoksnya liberal.
Dan film Tiga ini menjadi pembenaran atas penyakit munafik liberalisme. Dalam film itu dikisahkan Indonesia sebagai negara liberal yang berdasarkan Hak Asasi Manusia. Namun anehnya, HAM tidak berlaku bagi orang berjubah dan bergamis, mereka dilarang makan di tempat umum. Pondok pesantren direkayasa agar dituduh teroris. Bom diledakkan di tempat keramaian hanya untuk membentuk opini masyarakat.
4. Terorisme Adalah Rekayasa Sosial
Ini bagian yang paling sensitif dari film ini. Sebuah pesan bahwa terorisme yang terjadi di belahan dunia termasuk Indonesia adalah hasil rekayasa sosial. Dalam film ini, diceritakan gerakan terorisme yang mengatasnamakan agama adalah settingan dari aparat negara. Lalu apakah cerita film itu juga merepresentasikan dunia nyata? Sangat mungkin benar, melihat fenomena yang terjadi saat ini. Namun siapa aktor dibaliknya itu yang sulit diungkap. Busyro Muqqodas, mantan ketua KPK dan ahli hukum UII, dalam penelitiannya dia berani mengungkap bahwa ada indikasi terorisme di Indonesia adalah settingan dari intelijen negara. Namun tentu saja kebenarannya masih misterius bagi kita.
5. Liberal Pun Otoriter
Selama ini yang selalu diidentikkan dengan otoritarianisme adalah paham sosialisme dan Agama. Yakni, negara komunis dan negara teokrasi. Negara liberal selalu mencitrakan diri membuat penduduk lebih bebas. Pada film ini, ternyata negara yang sudah menganut liberalisme murni pun tak ubahnya seperti negara komunis dan fasis yang selalu ingin membuat rakyatnya tunduk pada kekuasaan.
Namun bedanya liberalisme tidak terang-terangan dan menjalankan misi pengaturan masyarakat itu dengan rahasia. Bahkan media masa juga dibungkam agar tidak sembarangan memberitakan kejanggalan pemerintah.
6. Moral Agama Selalu Bertahan Walau Banyak Distorsi
Satu inspirasi penting yang patut kita jadikan acuan, bahwa seperti apapun liberalisme mendistorsi agama, moral agama khususnya ajaran Islam akan terus bertahan. Agama akan terus bertahan, karena itu kepastian dari Tuhan yang tertuang dalam kitab suci, melalui tangan-tangan manusia yang menjaga ajaran tersebut.
Referensi
Muvila
Youtube
Whatsapp group
Satujam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar