Dalam situs “Nurul Islam” milik Wahabi dimuat bahwa, fatwa ini keluar disaat seorang penanya Wahabi dari Kanada bertanya tentang hukumnya memakan daging yang sebelumnya disembelih oleh orang Syiah. Dia menanyakan hukum itu pada mufti: “Apakah kita diperbolehkan untuk memakan atau membawa makanan berupa daging di sebuah restoran dimana daging itu sebelumnya disembelih oleh orang Syiah dua belas imam (Itsna Asyary), melihat kenyataan bahwa sampai saat ini saya adalah salah satu orang yang selama ini meyakini bahwa ketika mereka (Syiah) hendak meyembelih hewan, mereka menyebut nama Husain bin Ali?”. Apakah benar Syiah melakukan hal itu dan tanpa mengucapkan “Basmalah”, sebagaimana yang diyakini oleh orang Wahaby (penanya) tadi? Untuk membuktikan hal itu maka harus ditanyakan terlebih dahulu kepada para ulama dan pengikut Syiah, agar kita dapat menghukuminya dengan proporsional.
Tanpa basa-basi mufti Wahaby tersebut menjawab pertanyaan sipenanya dengan pernyataan bahwa; “Nama Hasan dan Husain menurut pandangan Syiah mempunyai derajat sama dengan nama Allah SWT”. Dan perkataan ini selalu ia ulang-ulang dalam setiap kesempatan, tanpa menunjukan rujukan pendapat resmi Syiah dari ulama-ulama mereka.
Salah seorang mufti Wahabi dari Saudi Arabia, Abdul Hadi Abdul Latif Saleh, telah mengeluarkan fatwa yang sangat aneh. Fatwa aneh itu dilontarkannya pada acara tanya jawab di sebuah siaran TV. Fatwa para ulama Wahaby lainnya juga banyak yang aneh mulai dari yang berkaitan dengan Kristen, Syiah, hingga masalah yang menyangkut kerajaan Arab Saudi sendiri. Abdul Hadi Abdul Latif Saleh mengatakan: “Dihalalkan untuk membunuh orang Masehi (Kristen .red) karena mereka ahli kitab. Dan diharamkan membunuh orang Syiah karena mereka musyrik”. Entahlah, dalil manakah yang dipakai Sang Syeikh Wahaby tadi untuk membolehkan membunuh orang-orang Kristen. Padahal Rasulullah SAW baik dalam sejarah, hadis dan ayat-ayat suci Ilahi dengan jelas tidak pernah mengajarkan hal itu, kecuali apabila mereka (para Ahli Kitab) menyerang terlebih dahulu. Jadi memerangi mereka hanya bersifat defensif (membela diri yang bersifat reaktif/ difa’i) saja, bukan ofensif yang bersifat aktif.
Mufti ini adalah kepala bagian pendidikan Islam di universitas Juf Saudi Arabia. Lebih lanjut dia menjelaskan: ” Kitab dan Sunah telah menjelaskan dengan jelas akan halalnya untuk membunuh Ahli Kitab [Masehi]. Adapun Rafidhah [baca: Syiah] haram untuk dibunuh dikarenakan mereka berdoa di makam Hasan dan Husain [cucu rasul, red] maka mereka pada hakekatnya adalah musrik”.
Kini kita tanya kepada Syeikh Wahaby itu; “Jika penyebab kemusyrikan Syiah adalah berdoa di sisi kuburan orang-orang yang mereka anggap sebagai kekasih Allah (waliyullah) seperti sayidina Hasan dan sayidina Husein maka bagaimana dengan kelompok Ahlussunah yang juga melakukan hal itu, pasti lambat laun –bahkan kini sudah terjadi dan semakin nampak- mereka (kaum Wahhaby) pun akan menggolongkannya musyrik juga, sebagaimana Syiah?”.
Di kesempatan yang lain, Saleh Al-Fauzan dan Abdullah Al-Manik adalah dua ulama Wahabi –keduanya termasuk anggota Dewan Syura ulama kerajaan Saudi Arabia- yang telah mengeluarkan fatwa yang membuat kuping dan wajah raja Abdullah merah. Dalam fatwa itu dikatakan bahwa; “Memberi embel-embel atau memanggil nama “Aali Sa’ud” (keluarga Saud) di akhir kata “Malik Abdullah” adalah bid’ah, menyesatkan, membingungkan, dan itu adalah main-main”.
Menurut laporan dari “Alburuj”, Saleh Al-Fauzan dan Abdullah Al-Manik juga mengeluarkan fatwa bahwa; “Merayakan perlombaan menunggang unta, membeli unta dari pejabat tinggi kerajaan hukumnya adalah haram”. Dalam fatwanya itu dijelaskan bahwa melakukan dan merayakan perlombaan seperti di atas merupakan bentuk dari perjudian dan fasad yang haram hukumnya.
Sementara itu, Abdullah Al-Manik, dalam fatwanya mengatakan; “Semua program, “perlombaan”, “perayaan”, “membeli unta” adalah bentuk dari foya-foya dan barang siapa yang melakukan pekerjaan itu, hukumnya adalah “kafir” dan “sesat””. Padal perlombaan menunggang unta adalah tradisi lama yang berlangsung di masyarakat Saudi, bahkan di kalangan anggota kerajaan sendiri. Demi tradisi itu, mereka bersedia mengeluarkan berjuta-juta dinar untuk merayakan tradisi tahunan tersebut.
Sebenarnya, pengkafiran Syiah oleh kelompok ulama Wahhaby –terkhusus di Saudi- sudah sangat lazim sekali. Kelaziman ini akhirnya disangkal oleh seorang intelektual Saudi sendiri, DR Hamzah Al-Mazini, tokoh intelektual muslim Ahlussunah dan yang pernah menulis buku terkenal di Saudi Arabia dalam menanggapi tulisan pengkafiran Syiah yang ditulis oleh Syekh Salman Al-Audah yang dimuat di surat kabar “Al-Jazirah”, ia mengatakan: “Tulisan itu tidak membawa manfaat bagi Saudi sama sekali dan bertentangan dengan Raja Abdullah”. Hamzah Al-Mazini dalam tulisannya mengharap kepada Al-Audah agar menghentikan perintahnya untuk memisahkan komunitas Syiah dari komunitas masyarakat Saudi, dan meminta kepadanya untuk menghentikan fatwa penghancuran tempat-tempat ibadah Syiah. Pada tgl 8 Syawal ulama wahabi –terkhusus Bin Jabrin (Abdullah) dalam situs ibn-jebreen mengeluarkan fatwa penghancuran tempat-tempat ibadah dan kuburan Ahlul-Bait (versi Syiah) yang dianggapnya sebagai pusat kesyirikan. Dan dikarenakan penghancuran tempat-tempat suci itulah akhirnya orang-orang Syiah di Saudi membuat poster dan mencetaknya (pasca penghancuran) lantas mereka sebarkan. Jika itu dilakukan Wahaby kepada Syiah karena alasan pengkultusan kubur yang dianggap memiliki sakralitas, bagaimana dengan kuburan para pembesar Ahlusunah yang juga dianggap sebagai waliyullah, atau seperti di negara kita, para makam manusia-manusia agung juru dakwah pertama yang dikenal dengan “Wali Sanga” dan para ulama lainnya yang dianggap sakral, apakah juga harus dihancurkan?
Di dalam makalahnya, Al-Mazini mengisyaratkan bahwa selama bertahun-tahun, raja Abdullah telah berusaha keras untuk mengadakan hubungan dan pendekatan pemikiran di antara semua mazhab terutama Syiah. Bahkan di bulan April (2007) lalu, Raja Abdullah mengancam dan mengingatkan bahwa tindakan penganiayaan dan pengekangan terhadap mazhab lain adalah salah satu ancaman bagi keamanan kerajaan.
Turki Al-Sadiri ketua HAM Saudi Arabia -yang mempunyai jabatan setara dengan menteri dalam kabinet kerajaan- adalah salah seorang pejabat tinggi kerajaan yang pertama kali mengakui adanya kekerasan terhadap warga Syiah oleh kelompok Wahabi di Saudi Arabia. Dalam sebuah wawancaraya dengan stasiun TV Dubai, ia mengatakan: “Beberapa orang dari anggota Hak Asasi Manusia (HAM) Saudi Arabia saat ini tengah bekerja dan melakukan penelitian serta pemeriksaan atas penganiayaan serta penekanan terhadap warga Syiah oleh ‘Kelompok Takfiri’ di kawasan timur Saudi Arabia”.
Dalam makalahnya, DR Mazini memuji apa yang telah dilakukan oleh para pemikir Syiah Saudi semisal; Syeikh Hasan As-Shafa dalam menciptakan persatuan mazhab di Saudi. Dan di sisi lain ia menyatakan bahwa, apa yang tengah dilakukan oleh Al-Audah adalah salah satu langkah untuk menciptakan perpecahan umat seraya memintanya untuk segera menghentikan tindakan itu dan tidak memberikan julukan “Rafidhah” kepada pengikut Syiah. Al-Mazini menekankan bahwa banyak para pemikir Syiah di Saudi yang berusaha keras menciptakan persatuan antar mazhab dan pentingnya persatuan umat seperti; Syeikh Taufiq As-Saifi, Najib Al-Khanizi, Muhamad Mahfudz, Kamil As-Syabib dan Syeikh Ali Al-Buhmisin.
Tulisan DR Hamzah Al-Mazini yang di muat pada tgl 21-10-2007 di koran yang sama, meminta kepada Al-Audah untuk tidak mengikuti logika Usama bin Laden yang mengkafirkan semua ajaran yang tidak sefaham dengannya, dan meminta untuk mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Sayyid Qutb. Dalam akhir makalahnya dikatakan bahwa, pertama kali yang mengunakan logika pemikiran dalam menyelesaikan pertikaian antar mazhab adalah Sayyid Qutb.
Situs middle-east-online menukil wawancara tersebut melaporkan bahwa, anggota HAM itu mengadakan wawancara dengan beberapa ulama Syiah di daerah timur Saudi dan mencatat laporan-laporan dari warga setempat dan selanjutnya akan dilaporkan kepada Raja Abdullah bin Abdul Aziz.
Sejak keberhasilan Klan Saud menguasai Jazirah Arabiyah, mazhab Wahabi menjadi mazhab resmi kerajaan Saudi. Hal itu karena terdapat kesepakatan antara pendiri kerajaan itu dengan pelopor sekte Wahabisme. Dan pengikut wahabiyah dikarenakan adanya fatwa dari ulama-ulama Wahabi yang mengatakan bahwa Syiah dan As’ariyah (dari Ahlussunah) adalah kafir, akhirnya mereka seringkali melakukan tindakan-tindakan anarkis dan aniaya bukan hanya terhadap warga Syiah saja, namun juga pada kelompok Ahlussunah yang dianggap tidak sejalan dengan ajaran Wahabisme.
Melihat fenomena-fenomena semacam tadi, dan fenomena yang lain, akhirnya Raja Arab Saudi (Abdullah) menyebut para mufti Jamaah Takfiri (Wahhaby ekstrim), yang suka mengeluarkan fatwa mengkafirkan kelompok muslimin lain itu sebagai orang-orang yang “sesat dan menyesatkan”.
Dalam pesannya berkenaan dengan peresmian “Konferensi Internasional Fikih Persatuan Dunia Islam” yang ke-19 di Arab Saudi, Raja Abdullah menyebut bahwa para mufti Wahabi Takfiri itu sebagai “ulama satelit dan internet”, dan menvonis mereka telah melakukan kebohongan terhadap Allah. Ia menambahkan; “Perbuatan orang-orang ini tergolong musibah terbesar, dan lebih berat daripada syirik itu sendiri”.
Raja Arab Saudi juga mengajak para hadirin peserta konferensi ini untuk menolak ajaran para mufti takfiri, yang telah menjerumuskan umat Islam ke dalam fitnah pembunuhan, peledakan bom, bom bunuh diri, sikap saling mengkafirkan, dan berbagai kesesatan lain.
Apakah ini merupakan pertanda akan berakhirnya koalisi antara ulama Wahabisme (pengikut Muhammad bin Abdul Wahab, pengkafir kaum muslimin) dengan keluarga besar kerajaan Arab Saudi (dari klan Saud)?
Yang jelas, kita berharap dari orang yang berkuasa di Saudi –yang kota Makkah dan Madinah berada di wilayahnya- hendaknya para penganut seluruh madzhab-mazhab Islam –terkhusus Ahlusunah wal Jamaah Indonesia- mendapatkan penghormatan yang layak di saat mengunjungi tempat turunnya wahyu, Mekkah dan Madinah yang sekarang ini dikuasai oleh para ulama dari sekte Wahabi, bukan lantas ditunjuk (baca: divonis) dan difitnah sebagai pelaku Syirik dan Bid’ah seperti yang sekarang ini mereka lakukan. Hanya para petinggi Saudi Arabia yang dapat menekan para rohaniawan Wahhaby agar menghormati para peziarah kota Mekkah dan Madinah, dari madzhab Islam manapun mereka. Kita akan lihat saja nanti, sampai di mana konflik antara kerajaan Saudi Arabia dan ulama Wahabisme akan terus berlangsung. Sampai dimana pengaruh raja Abdullah? Apakah ia mampu membungkam mulut para ulama Wahhaby itu ataukah justru raja Abdullah yang harus terjungkal dari tahta kerajaannya? Hanya waktu yang akan membuktikan hal itu.
Referensi:
Ibn-jebreen
Al-Jazirah
Nurul Islam
Tv Dubai
middle-east-online
Al buruuj
Pustakaislam.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar