Senin, 07 Agustus 2017

BERBAKTI SEPENUHNYA PADA IBU

Suatu hari, masuklah seorang wanita lanjut usia ke ruang praktek saya di sebuah Rumah Sakit. Wanita itu ditemani seorang pemuda yang usianya sekitar 30 tahun. Saya perhatikan pemuda itu memberikan perhatian yang lebih kepada wanita tersebut dengan memegang tangannya, memperbaiki pakaiannya, dan memberikan makanan serta minuman padanya.

Setelah saya menanyainya seputar masalah kesehatan dan memintanya untuk diperiksa, saya bertanya pada pemuda itu tentang kondisi akalnya, karena saya dapati bahwa perilaku dan jawaban wanita tersebut tak sesuai dengan pertanyaan yang saya ajukan (gak nyambung).

Pemuda itu menjawab : “Dia ibu saya Dok, dan memiliki keterbelakangan mental sejak saya lahir.."

Keingintahuan saya mendorong saya untuk bertanya lagi : “Siapa yang merawatnya..?”
Ia menjawab : “Saya, Dok.."
Saya bertanya lagi : “Lalu siapa yang memandikan dan mencuci pakaiannya..?”
Ia menjawab : “Saya suruh ia masuk ke kamar mandi dan membawakan baju untuknya serta menantinya hingga ia selesai. Saya yang melipat dan menyusun bajunya di lemari.. Saya masukkan pakaiannya yang kotor ke dalam mesin cuci dan membelikannya pakaian yang dibutuhkannya.."
Saya bertanya : "Mengapa Anda tak mencarikan untuknya pembantu..?”
Ia menjawab : "Karena ibu saya tidak bisa melakukan apa-apa dan seperti anak kecil, saya khawatir pembantu tak memperhatikannya dengan baik dan tak dapat memahaminya, sementara saya sangat paham dengan ibu saya..”

Saya terperangah dengan jawabannya dan baktinya yang begitu besar.

Saya pun bertanya : "Apakah Anda sudah beristeri..?”
Ia menjawab : “Alhamdulillah, saya sudah beristeri dan punya beberapa anak..”
Saya berkomentar : “Kalau begitu berarti isteri Anda juga ikut merawat ibu Anda..?”
Ia menjawab : “Isteri saya membantu semampunya, dia yang memasak dan menyuguhkannya kepada ibu saya.. Saya telah mendatangkan pembantu untuk isteri saya agar dapat membantu pekerjaannya.. Akan tetapi saya berusaha selalu untuk makan bersama ibu saya supaya dapat mengontrol kadar gulanya.."
Saya bertanya : “Memangnya ibu Anda juga terkena penyakit gula..?"
Ia menjawab : “Ya, (tapi tetap saja) Alhamdulillah atas segalanya.."

Saya semakin takjub dengan pemuda ini dan saya berusaha menahan air mata. Saya mencuri pandang pada kuku tangan wanita itu, dan saya dapati kukunya pendek dan bersih.
Saya bertanya lagi : “Siapa yang memotong kukunya..?”
Ia menjawab : “Saya Dokter, ibu saya tak dapat melakukan apa-apa.."
Tiba-tiba sang Ibu memandang putranya dan bertanya seperti anak kecil : “Kapan engkau akan membelikan untukku kentang..?”
Ia menjawab : “Tenanglah Ibu, sebentar kita akan pergi ke kedai..”

Ibunya meloncat-loncat karena kegirangan dan berkata : “Sekarang.. sekarang..!”
Pemuda itu menoleh kepada saya dan berkata : “Demi Allah, kebahagiaan saya melihat ibu saya gembira lebih besar dari kebahagiaan saya melihat anak-anak saya gembira..”

سبحان الله العظيم

Saya sangat tersentuh dengan kata-katanya.. dan saya pun pura-pura melihat ke lembaran data ibunya.
Lalu saya bertanya lagi : “Apakah Anda punya saudara..?”
Ia menjawab : “Saya putranya semata wayang, karena ayah saya menceraikannya sebulan setelah pernikahan mereka..”
Saya bertanya : “Jadi Anda dirawat ayah..?”
Ia menjawab : “Tidak, tapi nenek yang merawat saya dan ibu saya.. Nenek telah meninggal.. semoga Allah SWT merahmatinya, saat saya berusia 10 tahun..”
Saya bertanya : “Apakah ibu Anda merawat Anda saat Anda sakit, atau ingatkah Anda bahwa ibu pernah memperhatikan Anda..? Atau dia ikut bahagia atas kebahagiaan Anda, atau sedih karena kesedihan Anda..?”
Ia menjawab : “Dokter, sejak saya lahir ibu sudah tak mengerti apa-apa.. kasihan dia.. dan saya sudah merawatnya sejak usia saya 10 tahun..”

Saya pun menuliskan resep serta menjelaskannya.. Ia memegang tangan ibunya dan berkata : “Mari kita ke kedai..”
Ibunya menjawab : “Tidak, aku sekarang mau ke Makkah saja..!”

Saya heran mendengar ucapan ibu tersebut..
Maka saya bertanya padanya : “Mengapa ibu ingin pergi ke Makkah..?”
Ibu itu menjawab dengan girang : “Agar aku bisa naik pesawat..!”
Saya pun bertanya pada putranya : “Apakah Anda akan benar-benar membawanya ke Makkah..?”
Ia menjawab : “Tentu.. saya akan mengusahakan berangkat ke sana akhir pekan ini..”
Saya katakan pada pemuda itu : “Tidak ada kewajiban umrah bagi ibu Anda.. lalu mengapa Anda membawanya ke Makkah..?”
Ia menjawab : “Mungkin saja kebahagiaan yang ia rasakan saat saya membawanya ke Makkah akan membuat pahala saya lebih besar daripada saya pergi umrah tanpa membawanya.."

Lalu pemuda dan ibunya itu meninggalkan tempat praktek saya.. Saya pun segera meminta pada perawat agar keluar dari ruangan saya dengan alasan saya ingin istirahat.. Padahal sebenarnya saya tak tahan lagi menahan tangis haru.. Saya pun menangis sejadi-jadinya menumpahkan seluruh yang ada dalam hatiku..

Saya berkata dalam diri saya sendiri : “Begitu berbaktinya pemuda itu, padahal ibunya tak pernah menjadi ibu sepenuhnya.. Ia hanya mengandung dan melahirkan pemuda itu.. Ibunya tak pernah merawatnya.. Tak pernah mendekap dan membelainya penuh kasih sayang.. Tak pernah menyuapinya ketika masih kecil.. Tak pernah begadang malam.. Tak pernah mengajarinya. Tak pernah sedih karenanya. Tak pernah menangis untuknya. Tak pernah tertawa melihat kelucuannya. Tak pernah terganggu tidurnya disebabkan khawatir pada putranya. Tak pernah. Dan tak pernah..! Walaupun demikian.. pemuda itu berbakti sepenuhnya pada sang ibu.."

Apakah kita akan berbakti pada ibu-ibu kita yang kondisinya sehat..? Seperti bakti pemuda itu pada ibunya yang memiliki keterbelakangan mental..?? Ya Allah.. Ampuni kami, maafkan kesalahan dan kekhilafan kami yang telah meninggalkan bakti kami kepada orang tua kami terutama kepada ibu yang telah mengandung, merawat dan membelai kami. Dialah yang memandikan kami dan memakaikan baju. Tapi di saat kami sudah dewasa, kami tak pernah ingat lagi dengan jasa beliau..

رب اغفر لي و لوالدي وارحمهما كما ربياني صغيرا

Selamat merenung. Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar