Berikut Analisisnya
Perppu No. 2/2017 akan melewati proses uji politik di DPR RI. Sejalan dengan proses ini, Perppu juga sedang diuji secara hukum di MK. Secara sosial, Perppu terbukti mendapat penolakan publik yang luas. Aksi 299 adalah bukti nyata Perppu tidak lolos Uji Publik.
Hanya saja persoalannya adalah bahwa proses uji politik bukanlah uji atas dasar benar salahnya Perppu, bertentangan atau tidaknya dengan konstitusi, layak atau tidaknya, diterima atau ditolak publik. Uji politik Perppu di Senayan adalah uji kepentingan. Uji kekuatan. Uji kesetiaan. Uji Akseptabilitas publik terhadap parpol. Uji pemilu dan Pilpres 2019.
Uji kepentingan
Bagi parpol yang berada dibarisan oposan, geliat gerakan publik yang menolak Perppu bisa dikatakan berkah politik. Sebab, baik karena alasan meneruskan aspirasi publik atau karena banyaknya problem yang melatarbelakangi terbitnya Perppu, barisan partai oposan tentu mendapat benefit politik yang signifikan.
Benefit politik berupa dukungan publik, partai yang dinilai aspiratif, membela kepentingan rakyat, partai yang dianggap masih memiliki telinga yang mendengar dan memiliki mulut yang menyuarakan suara rakyat. Ujungnya, elektabilitas partai yang meningkat di ajang kontestasi kekuasaan (Pilkada, Pemilu maupun Pilpres).
Aksi 299 yang dihadiri ratusan ribu bahkan diprediksi hingga jutaan peserta dari berbagai daerah, tidak bisa dianggap enteng. Para peserta aksi bela Islam alumni 212 ini, telah menorehkan prestasi politik yang gemilang dengan menumbangkan Ahok pada ajang pilgub DKI. Tidak mustahil, peristiwa ini akan kembali terulang diseluruh daerah jika dikonsolidasikan untuk menolak semua partai yang mendukung Perppu ormas.
Dari sisi benefit politik, sudah pasti partai Gerindra, PKS dan PAN mendapat benefit politik yang luar biasa. Penolakan ketiga partai ini terhadap Perppu ormas dipastikan berkorelasi Positif bagi dukungan suara.
Adapun Demokrat, nampaknya masih menimbang-nimbang, kedua kakinya tetap menjejak pada dua pilar kutub politik. Demokrat, juga menjejakan kaki di pusara kekuasaan dan pada saat yang sama juga berada dibarisan oposan.
Jika komitmen politik istana tidak sejalan atau dianggap terlalu kecil bagi Demokrat, sudah jelas Demokrat akan segera membaur menjadi barisan partai yang menolak Perppu. Meskipun, Demokrat juga tidak kehilangan kacamata kekuasaan, dimana bagi Demokrat kontestasi 2019 lebih penting ketimbang konsesi politik yang bersifat sesaat.
Posisinya tergantung pada besarnya tekanan publik dan peluang bermitra dengan penguasa. Dus, meskipun jika Demokrat menginduk pada penguasa dengan konsesi cawapres misalnya, Demokrat juga akan tergilas jika Mujahid alumnus 212 mengkonsolidasi massa dan konsisten menghukum seluruh partai politik yang mendukung Perppu ormas.
Adapun PKB dan PPP, walau memiliki ikatan kepentingan dengan koalisi penguasa, sesungguhnya momentum Perppu ormas ini penting untuk dijadikan sarana politik bagi PPP dan PKB, untuk merapat kembali kepada umat Islam, setelah sebelumnya menyakiti umat Islam pada ajang pilgub DKI dengan mengusung pasangan calon Ahok - Djarot.
PPP dan PKB yang memiliki basis pemilih Islam, dapat menjadikan momentum islah dengan umat Islam melalui penolakan Perppu ormas. Sebagaimana diketahui, umat Islam itu pemaaf. Politik menolak Perppu dipastikan akan membuka pintu islah sekaligus menyiapkan konsolidasi politik menjelang 2019.
PPP dan PKB menyadari benar, bahwa suara partai-lah yang diperhitungkan. Jika partai tidak memiliki suara, mustahil pihak penguasa mau menjalin kemitraan dalam koalisi.
Golkar masih bisa memainkan kartu politik melalui Perppu. Bagaimanapun, Golkar adalah partai berpengalaman. Golkar tidak mungkin mengorbankan jargon "suara Golkar suara rakyat" jika harus menentang kehendak rakyat. Dan rakyat negeri ini mayoritas adalah umat Islam. Bagaimanapun, Golkar tidak akan gegabah melawan kehendak rakyat dengah mendukung Perppu ormas.
HANURA dan NASDEM, mendapat getah politik kekuasaan. Benefit kekuasaan yang diperoleh, sebenarnya tidak seimbang dengan resiko tergerusnya elektabilitas partai. Apalagi, khususnya Nasdem adalah partai yang sedang membangun dan menguatkan restorasi Indonesia untuk mengkonsolidasi partai dan dukungan.
Pun demikian HANURA, adalah partai yang tentunya memiliki visi jangka panjang. Dukungan politik membabi buta, telah menyebabkan HANURA menjadi tumbal kekuasaan. Wiranto yang diposisikan selalu didepan dalam konteks penerbitan Perppu, mendapat pukulan politik secara langsung. Padahal, benefit politik terbesar di tangguk PDIP selaku partai penguasa.
Sehingga, secara kepentingan HANURA dan Nadem seyogyanya menjadikan isu Perppu ormas untuk menjadi sekoci politik agar tidak ikut karam bersama kapal penguasa.
Badai begitu kuat, kapal tidak didesain untuk menghadapi badai, sementara pulau tujuan masih jauh. Membuat sekoci politik untuk menyeberang ke daratan adalah pilihan politik yang paling rasional, ketimbang tetep berada dalam kapal kekuasan yang rapuh dengan Nahkoda yang ringkih dan adanya perebutan kendali kemudi.
Terakhir PDIP harusnya belajar dari pengalaman. Tidak ada satupun kekuasaan yang berhasil memenangkan pertempuran melawan rakyat. Apalagi kekuasaan yang dimiliki PDIP belumlah mengakar. Banyak bromocorah yang merapat ke PDIP untuk sekedar mencari kue kekuasaan, bukan membela mati-matian. Saat kapal karam, semua telah menyiapkan pelampung atau sekoci untuk meninggalkan PDIP.
Uji Kekuatan dan Uji Kesetiaan
Perppu ormas akan menghadap-hadapkan kekuasaan pada kontestasi pembahasan di Senayan. Penguasa, dengan segenap daya dan upaya, seluruh sumber daya dan kekuatan, akan berusaha menggolkan Perppu ini di Senayan.
Ada uji kesetiaan pada partai pendukung penguasa, apakah mereka akan setia pada komitmen koalisi atau memilih setia kepada rakyat.
Pada saat rakyat menuntut pembatalan Perppu ormas, partai mitra koalisi sebenarnya memiliki argumen untuk mengambil pilihan terhadap penolakan Perppu disebabkan besarnya desakan publik.
Tetapi jika partai mitra koalisi mendukung Perppu, dan meninggalkan kesetiaan terhadap rakyat, maka sudah pasti rakyat selaku pemilik kedaulatan akan membuat perhitungan.
Bagi politisi sejati, tidak akan mungkin mengambil resiko berada pada garis yang berseberangan dengan rakyat. Apalagi, pada masa injuri time menjelang kontestasi pemilu dan Pilpres 2019.
Uji Akseptabilitas Publik
Masa alumni 212 yang hadir dalam aksi 299 adalah masa real, bukan buzzer, bukan akun anonim apalagi akun palsu. Masa alumni 212 adalah masa yang bisa masuk ke bilik suara dan memberikan dukungan politik, bukan hanya masa nyinyir yang hanya digdaya didunia maya.
Masa tolak Perppu juga masa terdidik, memiliki preferensi politik yang cerdas, bukan masa buzzer yang bisa diselesaikan dengan gizi di diplomasi meja makan.
DPR dan parpol harus melihat kondisi ini sebagai peluang sekaligus ancaman. Preferensi politik dengan menolak Perppu ormas berimplikasi pada dukungan politik dan peningkatan akseptabilitas partai.
Sebaliknya, mendukung Perppu ormas sudah barang tentu sebuah ancaman besar. Ancaman bagi Akseptabilitas dan elektabilitas partai. Ancaman dalam kontestasi politik di tahun 2019.
Khatimah
Yang patut dipertimbangkan DPR dan parpol adalah bahwa rakyat saat ini terbiasa kritis dan mencari saluran aspirasi politik dengan berbagai cara dan sarana.
Jika aspirasi tolak Perppu telah dikunci pintunya oleh penguasa, sementara DPR sebagai wakil rakyat ikut mengalungkan rantai di pintu tersebut, maka penulis khawatir rakyat akan mendobrak pintu itu.
Rakyat berusaha masuk melalui jendela. Rakyat berusaha masuk melalui pintu belakang. Bahkan rakyat akan siap melubangi dinding dan membuat jalan aspirasi sendiri.
Yang lebih patut dipertimbangkan adalah jika rakyat tidak mau lagi memasuki pintu itu, rumah itu, dan membakarnya dengan satu gerakan pembangkangan publik. Inilah momentum revolusi, dimana bukan sekedar penguasa yang terjungkal tetapi sistem sekuler negeri ini pun bisa ditumbangkan.
Wallahu A'lam.
Oleh: Nasrudin Joha
Source : Dakwahmedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar