16 tahun lalu tepatnya tanggal 13-14 Mei 1998 terjadi sebuah tragedi kemanusiaan paling besar yang pernah dialami negeri ini yaitu berupa kerusuhan yang disertai pembantaian dan penjarahan terhadap manusia oleh orang-orang yang seharusnya melindungi rakyatnya. 16 tahun, waktu yang terlalu lama untuk membiarkan pelakunya melenggang bebas; tapi 16 tahun adalah waktu yang cukup untuk memberikan perspektif yang benar sehubungan dengan tragedi saat itu; 16 tahun adalah waktu yang sangat cukup untuk menyelidiki dan menemukan pelaku dan apa yang sebenarnya terjadi.
Tim Gabungan Pencari Fakta/ TGPF yang dibentuk saat itu menemukan bahwa ada sekelompok orang tidak dikenal yang sangat lihai memprovokasi dan menghasut warga untuk menjarah; membunuh dan membakar di lokasi-lokasi kerusuhan, selain itu terkesan ada pembiaran dari aparat keamanan supaya kerusuhan meluas yang terbukti dari tidak ada satupun polisi atau tentara yang menghalau perusuh. Dengan demikian ada dua fakta yang harus dicari untuk membawa pelakunya ke pengadilan:
1. Siapa dalang yang merekayasa kerusuhan di lapangan?; dan
2. Siapa perwira tinggi ABRI (TNI/ Polri) yang merekayasa supaya semua aparat keamanan berdiam di tempat?
Di bawah ini adalah jawabannya:
1. Dalang kerusuhan adalah Benny Moerdani yang dalam sebuah rapat di rumah tokoh Golkar yang sekarang mendukung Jokowi, Fahmi Idris, pernah melontarkan gagasan menjatuhkan Presiden Soeharto menggunakan gerakan massa yang berpotensi mengejar orang-orang China dan gereja. Saat itu hanya Benny yang memiliki kemampuan merekayasa kerusuhan sebesar Kerusuhan 13-14 Mei 1998.
2. Namun demikian untuk bisa melancarkan operasi merekayasa kerusuhan tersebut Benny Moerdani yang sudah tidak mempunyai jabatan membutuhkan orang yang bisa menahan aparat keamanan supaya tidak memadamkan kerusuhan sebelum meluas. Siapa orang itu? Tidak lain dari Panglima ABRI Jenderal Wiranto sendiri sebagaimana ditulis oleh sahabat Benny, Jusuf Wanandi dan Professor Salim Said, pakar militer terkemuka bahwa setelah diangkat sebagai Panglima ABRI, Wiranto menemui Benny Moerdani, meminta kesempatan bertemu secara berkala dan ditolak Benny karena: "Jangan berilusi, orang tua itu [Soeharto] tidak menyukai saya, tidak percaya kepada saya. Andaharus tetap di sanakarena Anda satu-satunya yang kita miliki. Jangan membuat kesalahan karena kariermu akan selesai jika Soeharto tahu Anda dekat dengan saya." (Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru, hal. 365-366; Salim Said, Dari Gestapu Ke Reformasi hal. 320).
Adakah alasan bagi Panglima ABRI Jenderal Wiranto untuk pergi ke Malang membawa seluruh pucuk pimpinan tertinggi ABRI yaituKSAS, KSAL, KSAU, Pangkostrad ke Malang sementara malam sebelumnya sudah ada peringatan dari Zacky Anwar Makarim bahwa besok pasti terjadi kerusuhan menunggangi tertembaknya mahasiswa Trisakti oleh peluru Brimob yang menyamar sebagai Kopassus itu dan Presiden Soeharto sedang ke Kairo? Tidak ada, kecuali Panglima ABRI Jenderal Wiranto ingin membiarkan kerusuhan yang dia ketahui akan terjadi.
Apakah acara ke Malang itu begitu penting sehingga kehadiran Panglima ABRI Jenderal Wiranto sangat diperlukan dan acara tersebut harus didahulukan sampai membawa KSAU, KSAD, KSAL, Pangkostrad di atas keamanan ibukota yang sudah diperkirakan akan rusuh? Tidak, karena acaranya hanya penggantian komandan sebuah pasukan dan Panglima ABRI Jenderal Wiranto sudah diusulkan untuk diganti oleh Kasum Letjend Fachrul Razi tapi ditolak Panglima ABRI Jenderal Wiranto dengan alasan: "The show must go on."
Siapa lagi orang di Indonesia yang cukup berkuasa untuk mencegah pasukan tiga angkatan dari Laut, Udara, Darat dan Kepolisian keluar dari barak untuk menghalau perusuh selain Panglima ABRI Jenderal Wiranto? Dia sendiri mengakui bahwa saat itu yang cukup kuat untuk melakukan kudeta adalah Panglima ABRI, yaitu Wiranto. Penjahat berikutnya adalah Kasum Letjen Fachrul Razi. Kesalahan dia yang paling fatal dan menentukan kematian ribuan rakyat Indonesia yang tidak berdosa adalah melarang Pangkostrad Letjend Prabowo mengintegrasikan pasukan di bawah Kostrad dengan Kodam Jaya untuk menambah pasukan. Alasan penolakan tersebut adalah bahwa pasukan di bawah Kodam Jaya sudah cukup mengatasi kerusuhan. Namun kesaksian mantan Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana (Purn) Arief Kusharyadi melibas habis keterangan Letjend Fachrul Razi bahwa pasukan di Jakarta sudah cukup karena di depan Tim Ad Hoc Kerusuhan Mei 1998 Komisi Nasional HAM, dia mengatakan bahwa ketika kerusuhan terjadi tanggal 14 Mei 1998, dia keliling Jakarta dan tidak ada satupun pasukan di lapangan, padahal jumlah pasukan di Jakarta adalah 110 satuan setingkat kompi yang terdiri dari Yonif 327 Brawijaya, Grup I Kopassus, Kostrad, Marinir, dan tiga skuadron helikopter TNI Angkatan Udara.
Ke mana pasukan-pasukan tersebut ketika kerusuhan terjadi?Tentu saja semua pasukan tadi tidak bisa asal keluar barak karena mereka membutuhkan izin dari atasan, bahkan Pangkostrad Letjend Prabowo harus meminta izin terlebih dahulu untuk menerjunkan pasukan, dan ditolak oleh KasumLetjend Fachrul Razi yang merupakan anggota klik Wiranto tersebut!
Senada dengan penolakan Prabowo mengerahkan pasukan mengatasi perusuh, dalam hal ini atasan-atasan mereka yaitu KSAD, KSAL, KSAU dan Kapolri tidak menerima instruksi apapun dari atasan para kepala staf itu yakni Panglima ABRI Jenderal Wiranto. Seandaipun Wiranto tidak bersalah mendalangi Kerusuhan Mei tapi semua tindakannya telah membiarkan kerusuhan meluas dan ini sudah cukup alasan untuk membawanya ke Mahkamah Militer atau mempidanakan dia!
Preseden hal ini sudah ada ketika Sintong Panjaitan dipecat dari posisi Pangdam Udayana karena kerusuhan Santa Cruz. Sekali lagi diingatkan saat Panglima Tertinggi ABRI Jenderal Besar Presiden HM Soeharto ada di luar negeri, maka di Indonesia hanya seorang Panglima ABRI yang bisa menahan instruksi untuk menggelar pasukan empat angkatan sekaligus, dan bahkan Pangkostrad Letjend Prabowo Subianto juga tidak mampu melakukan hal tersebut.
Kita kembali kepada kesaksian KSAL Laksamana (Purn) Arief Kusharyadi yang melihat kosongnya Jakarta, dia mendatangi lokasi parkir panser marinir tapi kosong juga, karena itu dia berinisiatif tanpa melapor ke Panglima ABRI Jenderal Wiranto mendatangkan pasukan marinir dari Surabaya ke Jakarta. Dari markas marinir di Cilandak KKO, pasukan disebar ke seluruh Jakarta menghalau para perusuh, dan karena itulah nama marinir sesudah Kerusuhan 13-14 Mei 1998 menjadi sangat harum karena para pasukan marinir tersebut menyelamatkan jiwa mereka.
Coba pikir apakah seorang pangkostrad bisa membuat marinir di Jakarta menghilang dari markas marinir tanpa sepengetahuan KSALnya? Tidak mungkin, hanya Panglima ABRI Jenderal Wiranto yang berkuasa melakukan hal tersebut. Nah, kita juga mengetahui bahwa sebagai Pangkostrad, Prabowo memiliki pasukan kostrad tapi tidak bisa digunakan atau keluar karena dilarang oleh Panglima ABRI Jenderal Wiranto dan Kasum Letjend Fachrul Razi. Dari apa yang dilakukan oleh mantan KSAL Laksamana (Purn) Arief Kusharyadi yang berinisiatif menerjunkan marinir dari barak sekalipun harus menarik dari Surabaya maka terungkap satu fakta menentukan bahwa bila ada elemen militer yang terlibat dalam kerusuhan maka dapat dipastikan berasal dari angkatan darat karena terbukti Angkatan Laut tidak tahu apa-apa, sedangkan Angkatan Udara sudah lama menjadi anak tiri karena mantan panglima mereka yaitu Omar Dhani terlibat G30S/PKI sehingga saat Orde Baru kekuatan Angkatan Udara sangat kecil dan kurang diperhitungkan, sedangkan kepolisian tidak mungkin menjalankan operasi seperti Kerusuhan 13-14 Mei 1998. Karena terbukti personil Angkatan Darat terlibat maka Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) saat itu yaitu Jenderal Soebagyo HS juga wajib dibawa ke Mahkamah Militer karena dia juga membiarkan terjadinya kerusuhan terbukti mengapa dia tidak memiliki inisiatif seperti koleganya, KSAL Laksamana (Purn) Arief Kusharyadi untuk memeriksa lapangan kemudian mengerahkan pasukan menghalau perusuh? Apa kerja dia sebagai KSAD? Di mana tanggung jawab Soebagyo HS sebagai KSAD? Ke mana hati nurani Soebagyo HS?
Soebagyo HS memang hampir dicopot dari jabatan KSAD sejak kerusuhan di Solo, Jakarta dan Medan meledak pada bulan Mei 1998 karena dianggap sebagai klik Prabowo namun batal. Mengapa demikian? Karena jenderal yang anaknya, Letda (Inf) Agus Isrok pernah ditangkap karena terlibat perdagangan narkoba dan pelecehan seksual kepada tiga wartawati ini sebelum Kerusuhan Mei diam-diam telah mengalihkan kesetiaannya kepada Panglima TNI Jenderal Wiranto, namun dasar culas setelah Kerusuhan Mei, dia berusaha mengivasi Presiden Soeharto untuk menggeser Wiranto sebagai Panglima ABRI ketika ditawari posisi Panglima Pangkopkamtib yang akan dibentuk dengan alasan tidak mau ada "dua matahari" di dalam ABRI, bila tidak maka dia tidak mau, akhirnya Soeharto memberikan "Supersemar" yang sedianya diberikan kepada Soebagyo HS kepada Wiranto.
Selanjutnya tim Siar yang dibentuk Goenawan Mohamad pernah menemukan bukti bahwa perancang, perekayasa, dalang kerusuhan di Timor Timur pasca referendum tidak lain dari KSAD Jenderal Soebagyo HS dan hal ini mengemuka dari dokumen rahasia TNI yang diuangkap koran Inggris, The Independen edisi minggu 6 Januari 2000. Bahwa KSAD Jenderal Soebagyo HS adalah salah satu otak kerusuhan dan bumi hangus di Timor Timur salah satunya terbukti dari surat perintah dari Soebagyo HS untuk melakukan tindakan represif dan kekerasan di Timor Timur demi mempertahankan kawasan tersebut di dalam Timor Timur. Sumber the Independent adalah dokumen-dokumen rahasia yang tercecer di gedung bekas markas Korem 164/ Wiradharma, Dili yang telah ditinggalkan (lihat: http://www.minihub.org/siarlist/msg04428.html).
Tentu saja Panglima ABRI Jenderal Wiranto juga bertanggung jawab dan saat itu sudah hampir dipastikan akan dibawa ke International Courtof Justice untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya membantai rakyat Timor Timur, namun perlindungan yang dilakukan Presiden SBY dan keinginan Xanana Gusmao untuk berdamai dengan masa lalu demi pembangunan Timor Leste yang bertetangga dengan Indonesia berhasil melindungi diseretnya Wiranto yang dapat dipastikan akan digantung seperti Sadam Hussein atau para penjahat Nazi bila dinyatakan bersalah oleh panel majelis hakim di ICJ.
Selain itu tentu saja "atasan" Prabowo ketika menjadi Komandan Kopassus adalah Panglima ABRI Jenderal Wiranto; Letnan Jenderal Fachrul Razi; dan KSAD Jenderal Soebagyo HS yang hari ini mendukung Jokowi-JK. Ditambah AM Hendropriyono; Muchdi Pr; Ass'at; Da'i Bachtiar; Sutiyoso; Megawati Soekarnoputri, maka lengkaplah kelompok pembunuh rakyat di kubu Jokowi-JK.
Mau menegakan HAM di Indonesia? Mulailah dengan membawa Wiranto; Fachrul Razi; Soebagyo HS; AM Hendropriyono; Muchdi Pr; Ass'at; Da'I Bachtiar; Megawati Soekarnoputri; Agum Gumelar; Sutiyoso ke meja pengadilan dan menggantung mereka di depan rakyat Indonesia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar