Oleh: Natalius Pigai
Membangun Indonesia dari pinggiran. Begitulah salah satu butir cita-cita NAWACITA Presiden Joko Widodo 2014-2019. Adalah cita-cita yang enak didengar bagi kami orang-orang perdesaan seantero nusantara dari Merauke hingga Sabang dan dari Miangas ke Pulau Rote/ Sabu. Cara pandang yang seakan-akan mau metamorfosis pembangunan nasional yang selama ini berpusat di kota-kota sebagai pusat pelayanan (services centre) juga kawasan industri sebagai pusat pertumbuhan (growth centre). Memang butir cita ini mau mengobati bulir-bulir yang mendalam karena tingginya disparitas pembangunan, sosial dan ekonomi, disparitas antara Timur dan Barat Indonesia, disparitas antara desa dan kota.
Di masa lalu, orang desa adalah korban dari para ekonom yang mendapat julukan mafia barkleys yang merancang bangun negara dengan sistem kapitalis menciptakan kelompok oligarky taipan-taipan Hoakiau, juga berpaham liberal memberangus cara pandang bumi putra yang berpedoman pada nilai-nilai lokal (local values). Akibatnya kaum bumi putera tidak mempunyai kemampuan untuk bersaing dalam dunia bisnis, juga tidak mampu memasuki dunia kerja yang membutuhkan standar kompetensi dan sertifikasi. Kemampuan pengetahuan (Knowledge), ketrampilan (skills) juga perilaku dunia kerja (attitute) masih jauh lebih rendah dari negara-negara lain.
Membangun Indonesia dari pinggiran sebuah antitesa dari konsep efek tetesan ke bawah (trikle down effect) yang primadona di negara-negara selatan-selatan di dunia ketiga di 70-an sampai medio 90-an. Konsep pembangunan yang digandrungi para dosen ekonomi pembangunan di universitas ternama di dunia ketiga, termasuk Universitas Gajah Mada Yogya dan Universitas Indonesia. Kecuali Profesor Doktor Mubyarto pencetus Inpres Desa Tertinggal (Iki Duit Tangkarko dalam bahasa Jawa) adalah penentang konsep kapitalisme borjuasi dan liberalisme. Sayang, Mubyarto, pejuang ekonomi Pancasila berjuang sendirian dan dikucilkan bahkan tidak pernah diberi peran strategis di negeri ini. Lebih dari 50 tahun, sekolah tinggi pembangunan masyarakat desa diabaikan, Jurusan ilmu pemerintahan desa, jurusan sosiatri pembangunan desa dipandang sebelah mata.
Sebenarnya praktek membangun Indonesia dari pinggiran bukan hal baru bagi pembangunan nasional. Di negara Tanzania baik di Sanzibar maupun juga Tanggayika Prof Julius Nyerere menerapkan konsep sosialisme ujama yang menghidupkan semangat kebangsaan dengan menggairahkan agrobisnis di perdesaan, demikian pula penerapan konsep Felda di Malaysia, dimana roda pertumbuhan ekonomi dihidupkan oleh industri perkebunan dengan mobilisasi sumber daya manusia di wilayah2 Felda, demikian pula konsep Semaul undong di Korea yang membangun kota dari pinggiran. Di paruh kedua 70-an dan awal 80-an negeri ini juga pernah belajar dari Tanzania khususnya konsep transmigrasi dan pembangunan desa . Jejak kaki Julius nyerere 1981, terukir di SMA Negeri di Baturaja, Sumatera Selatan. Oleh Karena itu, membangun Indonesia dari pinggiran bukanlah hal yang baru.
Pertanyaannya adalah apa program nyata dan hal baru dari konsepsi NAWACITA membangun Indonesia dari pinggiran? Sebelum mempertanyakan program nyata, kita mesti bertanya, lagi intensi dasar munculnya butir membangun Indonesia dari pinggiran sebab konsep membangun Indonesia dari pinggiran telah ada sebelum pemerintahan Jokowi bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka. Program kolonisasi penduduk Grobogan dan Purwodadi ke Kedong Tataan, Kalianda, Lampung Selatan melalui politik etis Belanda atas Perjuangan Dowes Dekker atau Suwardi Suryaninggrat, dkk 1912 yang kisahnya dilukiskan dengan baik oleh peneliti Perancis, Patric Levang berjudul Tanah Sabrang. Setelah Indonesia merdeka 1945, program kolonisasi diubah sebutannya menjadi transmigrasi, ciri khas Bangsa Indonesia bahkan program asli Indonesia karena istilah Transmigrasi tidak ditemukan dalam kamus bahasa asing termasuk dalam ensiklopedia terlengkap dunia; Britanica maupun juga Americana. Lalu apa yang baru dalam program Jokowi? Tentu saja yang baru adalah istilah NAWACITA, butir cita-citanya tidak ada yang baru, sudah lasim makin menua dilaksanakan di negeri ini.
Mendengar, membangun Indonesia dari pinggiran memang mengharu-biru kan perasaan bagi orang-orang pinggiran dan yang terpinggirkan. Namun memasuki 2,5 masa pemerintahan Jokowi berbagai persoalan korupsi terkait insfrastruktur pedesaan, korupsi dana desa oleh pelaksana di desa, kabupaten dan juga kementerian desa makin meyakinkan kita bahwa NAWACITA hanya adagium simbolik, cita- cita tidak substansial bahkan utopia perubahan.
Penduduk pedesaan adalah orang-orang yang lahir, tumbuh dan berkembang di daerah terpencil, terisolasi, jauh dari hiruk pikuk modernisasi, bahkan desa diasosiasikan sebagai ujung dari pembangunan. Kemiskinan dan kebodohan yang menumpuk di perdesaan seringkali dikapitalisasi para penguasa dan politisi untuk kepentingan, setelah berkuasa ditinggalkan begitu saja.
Ketidakmampuan Pemerintah saat ini bukan karena tidak memiliki sumber daya yang cukup, baik anggaran, personel dan fasilitas tetapi hanya Karena pemimpin tidak Empati, tidak tulus, tidak konsisten membangun desa. Anggaran desa saat ini cukup besar, bahkan paling besar dalam sejarah Republik Indonesia. Selain anggaran pembangunan desa di kementerian desa sebesar 60 Trilyun, juga terdapat di berbagai satker seperti; PUPR, Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Koperasi, kementerian Dalam Negeri. Namun sayangnya kita tidak memiliki kemauan untuk merubah (unwilling to change), kita tidak mau melakukan revolusi dalam berfikir (revolusio normain), dan juga tidak mau menjadi orang gila dalam membangun di negeri ini. Karena Revolusi Mental jargon yang mudah dilukiskan, gampang diucapkan tetapi sulit diwujudkan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar