Saya teringat dengan sebuah ungkapan dari salah satu jurnalis senior, Dandi Laksono, yang mengungkapkan bahwa fakta di lapangan gagasan NKRI harga mati tak kalah seram dari gagasan kafir halal darahnya. Ini bisa dibuktikan bahwa demi gagasan ini tindakan fisik dan penyiksaan terhadap pihak yang (baru) dituduh anti NKRI banyak dilakukan. Seolah nyawa manusia tak lebih berharga dari NKRI, seolah pula identitas persaudaraan Islam tak lebih mulia dari NKRI.
Di lapangan bisa kita buktikan, atas dalih kepentingan nasional, sekelompok orang menjadi halal untuk mengintimidasi kelompok lain. Atas dalih keamanan nasional bisa jadi negara membabi buta, anti kritik, dan membumi hanguskan orang-orang yang sadar akan kerusakan yang terjadi. Kemudian yang menjadi PR dari banyak persoalan ini apakah gagasan NKRI harga mati sesuai dengan konsep hidup dan tipikal kehidupan beserta manusianya? Rasa-rasanya jika jujur berbicara tentang kehidupan tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Tentu perubahan itu membutuhkan upaya yang dengan sendirinya meniadakan konsep harga mati.
Mengingat
Tempo lalu saya telah menulis artikel yang sedikit menyinggung beberapa tokoh feodal dan kejam yang berdiri atas dalih kepentingan nasional. Misalnya Augusto Pinochet, seorang pembantai massal dari Cile ketika ditanya alasan melakukan pembantaian mengatakan, “Saya ingin dikenang sebagai seorang lelaki yang mengabdi pada negara ini”. Pol Pot, Pembunuh massal dari Kamboja pada penghujung hayatnya ketika diwawancarai seorang jurnalis, “Apakah anda akan meminta maaf atas penderitaan yang telah anda sebabkan?” Pol Pot menjawab, “Tidak, Saya ingin anda tahu bahwa segalanya telah saya lakukan, saya lakukan untuk negara saya”. Begitupun dengan alasan Tony Blair, mantan perdana menteri Inggris, ketika memberikan pembelaan terhadap perannya dalam pembunuhan atas ratusan ribu rakyat irak yang mengatakan, “Saya melakukan apa yang menurut saya tepat untuk Negara kita”.
Tentu menjadi hal yang alami tatkala kita kemudian bertanya pada diri tentang membenci seseorang yang dituduh anti NKRI seperti berpikirnya kita untuk membenci seseorang yang bangga dengan kekafirannya pada Allah. Pertanyaannya atas landasan apa kita membenci?
Meletakan landasan untuk membenci ternyata tak semudah melahap takjil yang bisa kita dapatkan di bulan ramadhan di kota-kota. Dalam kita meletakan kebencian hendaknya diselesaikan persoalan untuk apa sebenarnya kita membenci? lalu dilanjutkan dengan pertanyaan apa yang akan kita dapatkan dari membenci?.
Dari sini saya lebih berani bahwa jika saya membenci seseorang atas dalih keimanan kita pada Allah maka jika ada pertanyaan untuk apa kita membenci? jawabannya untuk mengharap ridho Allah, karena Allah membenci orang-orang yang tak beriman. Lalu apa yang didapatkan dari membenci? Tentu keridhoan Allah, dan syurga dengan catatan kita membenci sesuai dengan kaidah-kaidah dalam islam, seperti tidak membenci orangnya namun kekafirannya.
Nah sekarang bagaimana dengan membenci sesama muslim di bawah naungan NKRI harga mati? Tanya saja pada mereka, barangkali mereka punya syurga yang sudah dikavling sendiri.
Sorce:
sholihah.web
nahimunkar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar