Senin, 21 Agustus 2017

POLEMIK KEWARGANEGARAAN GANDA INDONESIA

Tidak sedikit WNI di luar negeri yang menyayangkan masih tertutupnya kemungkinan adanya kewarganegaraan ganda. UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan secara tegas tidak mengakui kewarganegaraan ganda itu. Pasal 23, di antaranya, menyatakan bahwa "WNI kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan: memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri, dan tidak menolak atau melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu" .

Dwi Kewarganegaraan

Indonesia tidak menganut dwikewarganegaraan sebagaimana ditegaskan pada Pasal 23 Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006. Sebaliknya, berdasarkan pasal tersebut, seseorang kehilangan statusnya sebagai warga negara Indonesia apabila dia memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri dan secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut.

Masalahnya, apabila seseorang telah kehilangan status WNI lantaran mengucapkan janji setia kepada negara asing, dia tidak bisa begitu saja memperoleh kembali status WNI dengan membuang status kewarganegaraannya yang lama.
Berdasarkan Pasal 9 UU 12 tahun 2006, seseorang harus mengajukan permohonan kembali sebagai WNI pada saat sudah bertempat tinggal di Indonesia selama lima tahun tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut.

Membuka kemungkinan adanya kewarganegaraan ganda tentu saja tidak mudah. Perbincangan panjang telah dilakukan dan Indonesia sendiri pernah memiliki pengalaman lama, yakni terkait dengan adanya kewarganegaraan ganda warga keturunan Tionghoa.

Pemerintah Indonesia tidak mengakui adanya kewarganegaraan ganda tersebut. Akibatnya, banyak warga keturunan Tionghoa harus meninggalkan Indonesia, meski banyak di antara mereka itu lahir dan tumbuh di Indonesia. Di antara masalah sensitif yang akan muncul ketika wacana kewarganegaraan ganda ini dimunculkan adalah terkait dengan WNI keturunan Tionghoa. Hal ini tidak hanya terkait dengan sejarah masa lalu, tetapi juga apa yang terjadi belakangan.

Seiring dengan menguatnya hubungan ekonomi politik Indonesia-Republik Rakyat Tiongkok (RRT), ribuan warga Tiongkok datang lagi ke Indonesia. Juga banyak WNI yang ke RRT. Ketika dibuka ruang kewarganegaraan ganda yang melibatkan WNI keturunan Tionghoa, memiliki potensi adanya ketegangan baru mengingat jumlahnya cukup besar.
Oleh karena itu, dalam membahas perlu tidaknya kewarganegaraan ganda harus melakukannya secara menyeluruh. Yang menjadi pertimbangan tentu saja bukan semata-mata agar Indonesia lebih aktif lagi di dalam percaturan global, secara ekonomi maupun budaya, melainkan juga terkait dengan isu-isu lain seperti isu pertahanan dan keamanan.

Menutup rapat-rapat kemungkinan adanya kewarganegaraan ganda juga kurang arif mengingat mobilitas lintas negara saat ini sangat kuat. Pada kenyataannya, semakin banyak WNI yang menjadi bagian penting dari warga global. Sangat disayangkan kalau interaksi yang semakin kuat itu menjadi sulit dikembangkan karena Indonesia tidak memberi ruang kepada mereka untuk tetap menjadi WNI tetapi juga memiliki keterikatan politik dengan negara lain.

Hanya saja, mengingat Indonesia juga memiliki kepentingan-kepentingan nasional yang membedakan dengan negara-negara lain, sekiranya kewarganegaraan ganda itu diberlakukan, tetap harus dilakukan secara hati-hati dan terbatas. Misalnya hanya melibatkan negara-negara tertentu yang secara politik dan keamanan tidak berpotensi bermasalah. Kemungkinan semacam itu akan memberi kesempatan kepada banyak orang hebat Indonesia berkarya secara maksimal di banyak negara tanpa harus tercerabut identitasnya, baik secara politik maupun secara budaya.

Kasus Kewarganegaraan Ganda

Konteks yang menyelimuti dua orang ini memang berbeda, tetapi memiliki titik singgung :
1. Gloria Natapradja Hamel
Dia gagal menjadi bagian dari Pasukan Pengibar Bendera Pusaka alias Paskibraka karena berkewarganegaraan Perancis seperti ayahnya. Gloria tumbuh dan berkembang di Indonesia dan sangat mencintai Indonesia, meskipun ayahnya orang Perancis. Namun, karena Gloria belum berusia 18 tahun, dia belum bisa mengajukan permohonan sebagai warga negara Indonesia sebagaimana yang diinginkannya.

2. Arcandra Tahar
Dia diberhentikan sebagai Menteri ESDM karena diketahui berkewarganegaraan Amerika Serikat. Arcandra sudah dua dekade bermukim di Amerika Serikat. Kemampuan akademik dan teknisnya, berikut kariernya, tumbuh memekar di negara Paman Sam itu. Berkaitan dengan karier pula, barangkali, dia akhirnya mengajukan diri menjadi warga negara Amerika Serikat.

Namun, pada saat yang bersamaan, dia berusaha tetap mempertahankan statusnya sebagai warga negara Indonesia sebagaimana dibuktikan oleh kepemilikan paspor. Dia juga masih mencintai Indonesia.

Jaringan Indonesia

Kedua kasus itu mengingatkan kita kepada harapan banyak warga negara Indonesia (WNI) yang bermukim di berbagai belahan dunia. Mereka mengusulkan agar Indonesia membuka ruang bagi adanya kewarganegaraan ganda, sebagaimana diterapkan sejumlah negara lain. Banyak di antara mereka telah memperoleh status sebagai permanent resident, masih gamang meningkatkan statusnya sebagai warga negara di negara tempat mereka tinggal itu. Di antara alasannya adalah karena mereka masih mencintai Indonesia dan masih bangga memegang paspor berlambang garuda.

Namun, pada saat yang bersamaan, mereka juga menyadari bahwa, bagaimanapun, terdapat perbedaan antara status permanent resident dan status sebagai warga negara. Perbedaannya bukan semata-mata pada hak politik yang dimiliki oleh warga negara, seperti hak memilih dan dipilih, melainkan juga terkait dengan karier. Untuk posisi-posisi tertentu, hanya orang yang berstatus warga negara yang bisa menempati. Implikasinya, permanent resident tetaplah sebagai warga kelas dua di bawah warga negara.

Usulan kewarganegaraan ganda bagi WNI itu lebih mengemuka setelah diadakan serangkaian pertemuan perantauan Indonesia yang bermukim di sejumlah negara, baik yang telah berstatus warga negara lain, permanent resident, maupun yang tinggal sementara, yang difasilitasi oleh Kementerian Luar Negeri sejak beberapa tahun belakangan.

Perlunya kewarganegaraan ganda itu tidak semata-mata didasari oleh romantisisme kultural, yang terbalut oleh identitas politik "Indonesia". Usulan pentingnya kewarganegaraan ganda juga didorong oleh keinginan untuk menumbuhkembangkan jaringan "Indonesia" di berbagai belahan dunia. Jaringan itu pada kenyataannya tidak hanya melahirkan keuntungan-keuntungan budaya, misalnya, melainkan juga telah terbukti mampu memperkuat posisi ekonomi sejumlah negara.

1 Agustus 2006

Status kewarganegaraan ganda terbatas adalah status dwi (dua) kewarganegaraan yang diberikan kepada seorang anak hingga anak tersebut mencapai usia 18 (delapan belas) tahun. Batas waktu status perolehan kewarganegaraan dimulai sejak tanggal 1 Agustus 2006 karena pada tanggal tersebut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia mulai disyahkan, dan tidak berlaku mundur.

Apa yang terjadi pada waktu anak berkewarganegaraan ganda terbatas, terutama yang lahir di luar negeri sebelum mencapai usia 18 (delapan belas)? Anak berkewarganegaraan ganda terbatas yang telah mencapai usia 18 tahun dianggap sudah mampu menentukan pilihan, oleh sebab itu anak tersebut diharuskan menentukan kewarganegaraannya, apakah ingin menjadi warganegara Indonesia atau ingin tetap menjadi warga negara asing.

Status anak yang lahir di luar negeri sebelum tanggal 1 Agustus 2006 harus mendaftarkan kewarganegaraan terlebih dahulu untuk mendapatkan status kewarganegaraan ganda terbatasnya dari Pemerintah Indonesia , cq. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Bahayanya Kewarganegaraan Ganda Dianut Cina

Apakah ada pengaruh dwi kewarganegaraan yang dianut oleh RRC? Atau adakah amandemen pasal 6 UUD 1945 yang menghapuskan ketentuan Presiden ialah orang Indonesia asli merupakan kepentingan RRC atau orang China? Namun yang pasti rumusan amandemen pasal 6 UUD 1945 membenarkan orang yang mempunyai dua kewarganegaraan (kewarganegaraan ganda) menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI. Atau mengakomodir status dwi kewarganegaraan atau kewarganegaraan ganda yang dianut oleh RRC.

Lebih aneh lagi dalam amandemen pasal tersebut ada embel-embel “mempunyai atau menerima kewarganegaraan lain bukan oleh karena kehendaknya”. Orang cina mempunyai kewarganegaraan RRC bukan oleh karena kehendaknya akan tetapi oleh karena politik dan hukum RRC.

Amandemen Pasal 6 UUD 1945 sarat dengan kepentingan orang cina baik cina keturunan ataupun totok. Untuk itu ada baiknya memperhatikan tulisan Dr.Leo Suryadinata yang ditulis dalam buku berjudul Dilema Minoritas Tionghoa. Dr.Leo Suryadinata, di Indonesia termasuk golongan minoritas Cina, yang mewarisi baik unsur peranakan atapun totok. Atau termasuk golongan keturunan Cina yang secara budaya berpola lokal dan Cina.
Banyak ahli hukum berpendapat bahwa RRC tidak mempunyai undang-undang kewarganegaraan sendiri serta nampaknya RRC melanjutkan penerapan Undang-undang Kewarganegaraan 1929.Dalam Undang-undang itu tidak ada cara bagi seorang Tionghoa untuk dapat menanggalkan kewarganegaraan Cina kecuali meminta izin dari Menteri Dalam Negeri Cina, tetapi kementerian hanya akan memberikan izin kalau calon telah memenuhi kewajiban terhadap Angkatan Bersenjata Cina.
semua warga negara Indonesia keturunan Tionghoa juga dianggap sebagai warga negara RRC.Status kewarganegaraan ganda dari orang Tionghoa sudah ada jauh sebelum Republik Indonesia lahir.”

Tentang perjanjian dwi kewarganegaraan yang diberlakukan pada tanggal 20 Januari 1960 ternyata partai-partai di Indonesia pecah pendapat. Baik PNI maupun PNI mendukung perjanjian tersebut dengan alasan bahwa hal itu membantu menyelesaikan kewarganegaraan ganda yang peka itu. Namun partai oposisi seperti Masjumi, PSI, Partai Katolik dan Parkindo (Partai Kristen Indonesia) menentang dengan alasan, hal itu akan berakibat terlalu banyak orang asing tinggal di Indonesia serta adanya kantor-kantor pendaftaran itu yang akan mudah dipakai untuk maksud-maksud politis.

Salah satu pendapat yang patut dicatat adalah yang dikemukakan oleh Sutan Mangkuto, anggota parlemen dari Masjumi, yang mengatakan bahwa orang Tionghoa di Indonesia mempunyai kecenderungan melakukan kegiatan yang illegal. Menurut pendapatnya, pengakuan terhadap orang Tionghoa sebagai warga negara Indonesia akan membahayakan bangsa Indonesia.

Mengapa Jokowi Mempercepat Uu Dwi-kewarganegaraan ?

Jokowi yang mempercepat UU Dwi Kewarganegaraan itu menandakan melaksanakan Chinanisasi di Indonesia. Dengan disahkannya UU Dwi Kewarganegaraan oleh Pemerintah Jokowi, berarti rencana Jokowi melaksanakan Chinanisasi sukses adanya. Rakyat China yang sudah masuk ke Republik ini sebagai tenaga kerja asing, dengan sendirinya akan memiliki paspor kewarganegaraan Indonesia bahkan KTP.

China menganut Dwi Kewarganegaraan [ius sanguinis] dan azas Kewarganegaraan ius solli atau loyalitas pada satu negara di mana dia dilahirkan. Lantas apakah kita menyadari jika tujuan sebenarnya dari masuknya rakyat China tersebut adalah untuk menguasai Indonesia?! Sebab, secara kuantitatif populasi RRC sudah mencapai 2 miliar manusia. Sehingga, pemerintah China bukannya sudah tak mampu mengurus rakyatnya, tapi justru dengan hal itu memunculkan strategi dan upaya licik untuk mengkoloni atau membuat wilayah jajahan baru bernama Indonesia.

China menutup mata memberikan utang atau menggelontorkan yuan sampai tembus 650 Trilliun lebih ke Jokowi atas nama NKRI. Tapi tentunya ada syarat mutlak yang wajib dipenuhi Jokowi. Dan itu disepakati lewat MoU antara RI dengan China. Yang paling tragis China memberi uang tapi status berutang dengan bunga 2,5%/ bulan, sementara Jepang bisa memberi juga utang dengan bunga hanya 1 s/d 1,5%/bulan. Lalu proyek-proyek infrastruktur, rel kereta api dan lokomotifnya, ruas jalan Tol, tambang dan lain-lain, dalam hal ini yang mengerjakan harus China.

Rakyat China didatangkan ke Indonesia secara bertahap. Sebab, sekarang saja China sudah menjajah umat Islam. Lihat Jokowi, Ahok, dan konglomerat yang menguasai hampir semua lini bisnis mulai BRI, BNI dan Mandiri semua berhutang dengan China. Televisi swasta, media cetak, media online, pabrik dan produk, semua buatan China. Apalagi yang tersisa buat rakyat bangsa Indonesia kecuali menjadi kacung baru di negeri sendiri. Jadi marilah kita sadar dan menginsafi kondisi bangsa ini yang berada dalam penguasaan dan pengawasan asing.

Referensi :
1.Pasal 23 Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006.
2. Kompasiana
3. Pasal 9 UU 12 tahun 2006
4. Kedutaan Indonesia
5. Suaranasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar