Minggu, 13 Agustus 2017

MENGADILI KETIDAKADILAN

Sepanjang sejarah pemerintahan Indonesia dengan bergantinya penguasa, bisa didapati berbagai kebijakan yang sering kali justru menuai penolakan oleh rakyatnya sendiri. Belum pernah ada rezim dari orde lama, orde baru hingga reformasi yang sepi dari kritik. Meski seringkali pemerintah selalu berada pada posisi pembelaan subyektif atas kebijakan yang diambilnya, sementara kaum intelektual dan pengamat berdiri pada posisi obyektif, namun pada akhirnya politik kekuasaan seringkali yang menang. Sementara dari rezim yang satu ke rezim yang lain, masyarakat belum beranjak lebih baik.

Tak terkecuali pada saat ini, belum tuntas pemerintah menyelesaikan kondisi genting darurat narkoba yang telah menewaskan jutaan anak bangsa, justru pemerintah menerbitkan perppu ormas yang memantik pro kontra dan menajamkan kegaduhan baru di tengah masyarakat. Belum tuntas pemerintah menangani gelembung hutang negara yang terus menggunung, justru pemerintah menakut-nakuti rakyatnya dengan ancaman pidana bagi bekas pengikut ormas yang telah mereka bubarkan sendiri. Meski HTI telah dibubarkan, namun bekas pengikutnya justru dipermasalahkan dan diburu seperti penjahat. Ini ironi negeri yang katanya berdasarkan hukum.

Tidak mengherankan jika pemerintah dianggap oleh banyak kalangan justru telah melanggar konstitusinya sendiri. Sebab penerbitan perppu ormas dianggap sebagai tindakan semena-mena atas hak rakyat untuk berserikat dan berkumpul serta menyuarakan pendapat. Penerbitan perppu adalah langkah yang sombrono karena meniadakan proses dan prosedur  hukum yang selama ini justru dijadikan sebagai pilar atas negara ini.

Ketidakadilan penerbitan perppu ormas  ini dibuktikan oleh ketidakjelasan latar belakangnya. Jika ormas HTI dianggap sebagai ormas anti-pancasila, alasan inipun tidak pernah dengan jelas dipaparkan oleh pemerintah. Sebab secara substansial tidak ada satupun sila dari lima pancasila dilanggar oleh HTI. Sebaliknya jika dicermati, justru perilaku anti pancasila telah mewarnai negeri ini seperti korupsi, kriminalitas, LGBT, narkoba, privatisasi aset negara, dan gerakan sparatis yang jelas telah melecehkan simbol-simbol negara.

Adalah paradoks jika ormasnya telah dibubarkan, sementara bekas pengikutnya justru masih dianggap sebagai anggota yang kemudian diberikan pilihan untuk tetap sebagai PNS atau tetap sebagai anggota HTI. Sebab pembubaran ormas tentu diikuti oleh tidak sahnya keanggotaan ormas yang telah resmi dibubarkan. Pemberian pilihan kepada eks HTI adalah bentuk pelanggaran HAM di satu sisi dan ketidakpahaman pemerintah di sisi lain. Perburuan eks HTI mengingatkan sejarah perburuan eks PKI pada masa orde baru.

Semestinya pemerintah menghormati gagasan-gagasan yang disampaikan oleh masyarakat dengan cara yang seimbang. Sebab gagasan syariah sebagai solusi yang diemban oleh HTI adalah ajaran Islam itu sendiri. Bukankah penerapan syariah ini telah juga dilakukan di berbagai bidang seperti perbankkan syariah, wisata syariah, asuransi syariah, hotel syariah dan berbagai bidang lainnya. Bahkan Inggris dan Jepang adalah dua negara yang justru mengakui keunggulan sistem syariah ini. Di sinilah pemerintah harus tetap tenang dan obyektif melihat kecenderungan dan perkembangan dunia dan melepas diri dari berbagai tekanan negara asing kapitalisme yang secara ideologis bertentangan dengan sistem Islam.

Penerbitan perppu akhirnya dianggap oleh sebagian kalangan masyarakat justru bentuk ketidakadilan pemerintah kepada rakyatnya sendiri yang justru ingin berkontribusi membangun bangsa ini lebih baik. Berbagai ormas Islam telah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi karena perppu ini dianggap berpotensi disalahgunakan oleh pemerintah untuk menyingkirkan lawan politik yang tidak sejalan dengan keinginan rezim penguasa. Perppu ini juga dikhawatirkan akan mengulang masa represif dan otoriterianisme rezim masa lalu kepada umat Islam pada khususnya.

Lebih tegas diungkapkan oleh komisioner komisi nasional HAM, Natalius Pigai [Republika, 27/7] bahwa pelarangan gagasan-gagasan berbasis syariah hingga menyisir mantan anggota ormas yang telah dibubarkan maka, menristek bisa saja dituduh telah melakukan penistaan terhadap agama, maka kebijakan ini bisa diadili. Hermanto Siregar, wakil rektor Institut Pertanian Bogor juga menegaskan bahwa selama ini mantan pengikut ormas HTI yang menjadi dosen atau PNS di lingkungan IPB tidak bermasalah. Mereka tidak pernah melakukan tindakan kriminal atau tindakan melanggar hukum, meskipun pasca pembubaran HTI, IPB akan melakukan pembinaan persuasif jika dosen eks HTI melanggar sesuatu.

Terkait gagasan HTI dianggap bertentangan dengan Pancasila, ditegaskan oleh Natalius Pigai, bahwa di Indonesia, ideologi yang bertentangan dengan Pancasila adalah komunisme dan marxisme. Sementara gagasan Islam yang dibawa HTI tidaklah bertentangan dengan nilai Pancasila, sebab sila satu berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, maka dalam pengelolaannya dianggap sah dan boleh. Karena itu negara harus memastikan kebebasan menjalankan hukum syariahnya [agama] setiap warga negara, kebebasan warga negara menjalankan syariat agamanya. [Republika, 27/7].

Jika mau obyektiif, ideologi kapitalisme sekuler jika ditelisik lebih mendalam justru menjauhkan negeri ini dari nilai-nilai Pancasila di semua aspek berbangsa dan bernegara. Sila pertama yang menyatakan keesaan Tuhan (tauhid) justru dinodai oleh berbagai penyimpangan agama yang semakin tumbuh tak terkendali. Sila kedua yang menyatakan kemanusiaan dan keberadaban justru dinodai oleh segala bentuk kriminalitas dan kezaliman yang semakin mengkhawatirkan.

Sistem ekonomi kapitalisme terbukti telah melahirkan kesenjangan ekonomi yang semakin dalam. Kekayaan di negeri ini hanya dikuasai oleh segelintir konglomerat, sementara rakyat kecil mayoritas belum bisa beranjak dari status warga miskin. Kemiskinan dan ketidaksejahteraan inilah yang seringkali memicu kriminalitas dan bahkan upaya disintegrasi. Cita-cita persatuan Indonesia justru berada di ujung tanduk dibawah hegemoni kapitalisme yang tak berkeadilan.

Pertanyaannya, apa kapitalisme itu pancasilais ?. Wajar jika Din Syamsudin menegaskan bahwa mestinya yang dibubarkan adalah kapitalisme, bukan ormas Islam. Sementara PKS menegaskan bahwa perppu ormas terbukti represif [Republika, 27/7]. Jadi ketidakadilan ini semestinya diadili jika negeri ini mau berkemanusiaan yang adil dan beradab.

Sumber
Dr. Ahmad Sastra (Kepala Divisi Riset dan Literasi Forum Doktor Islam Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar