Sabtu, 23 September 2017

KRONOLOGI SINGKAT PERISTIWA G30S PKI

(Hari ke 232)
Sukarno dan PKI Dalang Di balik Peristiwa G30S.

Peristiwa G30S berawal dari informasi yang dibawa oleh Subandrio dari Mesir pada tgl 15 Mei 1965 tentang adanya Dewan Jenderal (Dokumen Gilchrist). Sukarno menanggapi isu ini dgn serius. Pada tanggal 25 Mei 1965, Sukarno memanggil para Menteri Panglima Angkatan untuk meminta kejelasan tentang adanya Dewan Jenderal. Pada kesempatan tersebut, Letjen Ahmad Yani selaku Menpangad dengan tegas menyatakan bahwa Dewan Jenderal tidak ada, yang ada adalah Dewan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) yang bertugas memberi masukan atau pendapat kepada Menpangad tentang kepangkatan dan jabatan Perwira Tinggi di tubuh angkatan darat. Bahkan Jenderal Nasution juga memastikan bila Dewan Jenderal memang tidak ada.

Merasa kurang puas dengan penjelasan Jenderal Ahmad Yani dan Jenderal Nasution, Sukarnopun berusaha mencari kejelasan lebih lanjut. Sukarno memberi perintah pada Brigjen Sjafiudin (Pangdam Udayana) untuk mencari tahu nama-nama yang dimaksud, lalu didapat 9 nama.
Inilah ke 9 nama yang disodorkan Brigjen Sjafiudin :
1 Jenderal AH Nasution (Menko Pangap/KASAB),
2 Letjen Ahmad Yani (Menpangad),
3 Mayjen R Soeprapto (Deputy II Menpangad)
4 Mayjen MT Haryono (Deputy III Menpangad)
5 Mayjen S Parman (Asisten I Menpangad bidang Intelejen)
6 Mayjen Djamin Ginting (Asisten II Menpangad bidang Operasi)
7 Brigjen DI Panjaitan (Asisten IV Menpangad bidang Logistik)
8 Brigjen Sutoyo (Inspektur Kehakiman AD)
9 Brigjen Sukendro (Asintel Mayjen S Parman).

Akhirnya Sukarno memberi sinyal untuk menindak mereka tapi bulan berganti bulan tak ada perkembangan. Lalu atas bisikan PKI, Sukarno menemukan ide yang dianggapnya cemerlang (menurut pikirannya berdasarkan pengalaman Lenin, Stalin, Mao Tse). Berdasarkan rekomendasi dari Brigjen Sabur, Sukarno memberi perintah kepada Letkol Untung  untuk menindak para Jenderal. Ditentukanlah tanggalnya dan dipilihlah bulan Oktober dgn alasan Sukarno ingin mensejajarkan diri dengan Sovyet dan China yang sudah lebih dahulu terkenal dengan Revolusi Oktobernya. Dalam beberapa kesempatan Sukarno selalu menyebut peristiwa G30S  dengan istilah “GESTOK”. Sukarno menolak penggunaan istilah Gestapu atau G30S.

Sesuai perencanaan, Operasi penindakan para jenderal mulai dijalankan. Supply persenjataan diperoleh dari Marsekal Oemar Dhani yang merupakan Menpangau waktu itu. (TNI AU baru melaporkan kehilangan senjata setelah senjata-senjata tersebut disita lewat pertempuran di wilayah Lubang Buaya).

Berdasarkan kesaksian keluarga para jenderal yang menjadi korban, ternyata pada malam kejadian telepon selalu berdering tiap jam hanyak untuk menanyakan keberadaan para jenderal, apakah ada di rumah atau tidak. Pada dini hari pukul 4.00 Wib operasi penindakan para jenderal pun dijalankan. Satu persatu para jenderal diculik dari rumah mereka masing-masing.

Namun operasi penindakan para jenderal ini Gagal Total karena ternyata Nasution berhasil meloloskan diri. Walau tahu kalo operasi penindakan para jenderal Gagal, namun operasi tetap dijalankan. Pada pagi harinya Letkol Untung mengumumkan berita sebaliknya melalui RRI. Letkol Untung memberitakan kesuksesan Dewan Revolusi menghabisi para jenderal yang dianggap menghalangi Revolusi yang dicanangkan Sukarno. Pengumunan ini ternyata mendapat sambutan diberbagai daerah, seperti Jogjakarta, dimana Kolonel Katamso dan Letkol Sugijono diculik dan dibunuh. Bahkan dibeberapa daerah, para anggota PKI dan simpatisan PKI mulai menebar ancaman yang membuat rakyat menjadi kian ketakutan.

Dalam persembunyiannya, jenderal Nasution mengakui kalo dirina merasa gamang dalam menentukan siapa kawan dan siapa lawan yang sebenarna. Akhirnya Nasution memilih KOSTRAD sebagai tempat berlindung walau diketahui sebetulnya sebagai Benteng Pengendali Keamanan Ibukota adalah KODAM JAYA.

Menjelang sore sekitar pukul 4 lewat akhirnya jenderal Nasution masuk ke Markas KOSTRAD. Jenderal Nasution pun memberi perintah kepada Mayjen Suharto untuk mengambil alih komando TNI AD. Menindak lanjuti perintah jenderal Nasution, Mayjen Suharto mengirim telegram ke seluruh Kodam memberitahukan tentang selamatnya jenderal Nasution dan memerintahkan untuk bersiaga penuh. Mayjen Suhartopun memberi perintah kepada Kolonel Sarwo Edhie untuk segera merebut RRI dan menguasai Halim (daerah Lubang Buaya yang merupakan tempat pelatihan militer para Pemuda Rakyat). 

Sejarah mencatat, dari 3 Menteri Panglima yang tersisa hanya Menpangal Laksamana RE Martadinata yang menjenguk Jenderal Nasution saat berada di Kostrad pasca kejadian. Usai mendengar kesaksian Jenderal Nasuton, Laksamana RE Martadinata menyatakan sikap TNI AL yang mendukung TNI AD untuk melawan PKI. Namun sayang, sikap ini justru membuat karier militernya tamat, karena pada tgl 21 Februari 1966, Laksamana RE Martadinata dicopot jabatannya sebagai Menpangal.

Ternyata selamatnya Jenderal Nasution waktu itu, menjadi petaka bagi Sukarno dan PKI, apalagi saat ditangkap, Letkol Untung memberi daftar 60 nama prajurit Cakrabirawa yang terlibat langsung. Harap diingat, pada malam peristiwa Letkol Untung memberi memo kepada Sukarno saat seminar para Arsitek. Setelah membaca memo tersebut Sukarno menyelipkan ucapan yang dikutip dari kisah Ramayana/Mahabrata tentang membunuh saudara kandung demi pencapaian tujuan. 

Perlu diketahui, sehari sebelum peristiwa terjadi ternyata Sukarno sudah menjanjikan posisi Menpangad kepada Mayjen Mursjid yang merupakan orang nomor 2 di Kemenpangad waktu itu. Mayjen Mursjid adalah Deputy I Menpangad yang tidak turut menjadi target saat itu padahal Deputy II dan Deputy III turut menjadi korban saat itu.

Para Antek-antek PKI yang berkedok Sukarnois mencoba memelintir peristiwa G30S dengan mengabaikan “Selamatnya” Jenderal Nasution. Padahal beliaulah yang membuat semua skenario dan rencana Sukarno menjadi berantakan. Lalu tindakan Sukarno yang justru mencopot jabatan Jenderal Nasution dari jabatannya sebagai Menko Pangap/ Kasab, semakin memperkuat kecurigaan akan keterlibatan Sukarno. Tindakan pencopotan ini seolah menunjukan kalo Sukarno Gak Suka kalo Nasution berhasil selamat.

Pasca peristiwa pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya, situasi Eskalasi politik di Indonesia semakin memanas. Rakyat mulai turun ke jalan menuntut pembubaran PKI tapi Sukarno seolah tak bergeming membela keberadaan PKI. Bahkan saat berpidato di depan Front Nasional tanggal 13 Februari 1966, di daerah Senayan, Sukarno kembali dengan lantang memuji PKI dengan mengatakan, “Di Indonesia ini tidak ada partai yang pengorbanannya terhadap Nusa dan Bangsa sebesar PKI”.

Mendengar pidato Sukarno yang keukeuh membela PKI, tuntutan mahasiswa dan rakyat semakin menguat untuk melengserkan Sukarno. Menghadapi tuntutan mahasiswa dan rakyat yang semakin meluas, akhirnya Sukarno mengeluarkan SP 11 Maret ditahun 1966, yang isinya memerintahkan Letjen Suharto sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat untuk segera mengendalikan situasi dan keadaan dengan mengambil tindakan yang dianggap perlu demi menjaga keamanan dan kestabilan pemerintahan. Namun Sukarno cukup cerdik dengan menyelipkan perintah untuk menjaga dan menjamin keselamatan pribadinya. Sukarno menyelipkan perintah menjaga dan menjamin keselamatan pribadinya dengan menyematkan berbagai gelar yang disandangnya. Berdasarkan SP 11 Maret, Letjen Suharto mulai mengadakan pembersihan atas unsur-unsur PKI di pemerintahan termasuk menangkapi beberapa menteri dan pejabat yang terlibat PKI. Tindakan Letjen Suharto mendapat kritikan dari Sukarno yang ditanggapi Suharto dengan memasang dirinya sebagai tameng untuk menjaga nama baik Sukarno.

Pasca terbitnya SP 11 Maret, situasi keamanan Negara mulai kondusif dan terkendali. Gejolak demontrasi anti pemerintah mulai mereda. Namun situasi kembali memanas saat Sukarno mengawini gadis belia, Heldy Jaffar yang berusia 18 tahun dibulan Mei 1966. Perkawinan ini menjadi puncak kemarahan rakyat dan menjadi bukti “Ketidak Pedulian” Sukarno terhadap kondisi dan situasi Negara. Rakyat melihat ternyata Sukarno lebih mementingkan kepentingan pribadinya dibanding kepentingan Bangsa dan Negara. Akhirnya tuntutan rakyat dijawab oleh MPRS yang diketuai oleh Jenderal AH Nasution. Pada bulan Juni 1966, Sukarnopun diseret ke SU MPRS untuk dimintai pertanggung jawaban. Inilah awal kejatuhan Sukarno dimana 2 nota pembelaannya yang diberi judul Nawaksara I dan II ditolak oleh MPRS. Mandat Sukarno sebagai Presidenpun dicabut MPRS pada bulan Maret 1967. Selanjutnya MPRS memilih dan mengangkat Letjen Suharto sebagai Plt Presiden. Terlukis kesan ketidak relaan di wajah Sukarno atas pencopotan dirinya dari kedudukan Presiden.
Berdasarkan Tap MPRS no 33 tahun 1967, MPRS memerintahkan kepada Plt Presiden, Jenderal Suharto untuk melakukan proses hukum kepada Sukarno sesuai ketentuan hukum yang berlaku, namun Suharto hanya mengenakan status Tahanan Rumah tanpa pernah berusaha mengajukan Sukarno untuk diadili. Mikhul Dhuwur Mendhem Jero menjadi alasan Suharto agar Bangsa Indonesia tidak memperlakukan Sukarno seperti pesakitan/ pecundang. Sikap Suharto ini dipertegas degan pidatonya di depan Sidang MPRS pada tahun 1968, agar kita lebih baik mencurahkan tenaga dan pikiran dalam menghadapi masa depan bangsa Indonesia dibanding mempermasalahkan masa yang lalu.

Pada kenyataannya, Suharto memang tidak pernah mengajukan Sukarno ke depan sidang pengadilan manapun. Bahkan sebagai bentuk penghormatan, pada tahun 1986 Suharto memberikan gelar Pahlawan Proklamasi kepada Sukarno dan Hatta. Mendirikan Tugu Proklamasi untuk menghormatinya serta menyematkan nama Sukarno-Hatta pada nama Bandara Internasional Indonesia. Dan terakhir, Suharto menyematkan foto Sukarno-Hatta pada lembaran uang kertas Rp.100.000,-

NB : 2 Nama dari 9 nama jenderal yang menjadi target operasi berhasil selamat karena pada malam kejadian tidak berada di tempat/ di rumah. Mayjen Djamin Ginting berada di Medan saat peristiwa terjadi. Brigjen Sukendro berada di luar Jakarta saat peristiwa terjadi. Pasca peristiwa, Mayjen Djamin Ginting turut berlindung di Markas Kostrad bersama Jenderal AH Nasution.

Kronologis Kejadian G30S diatas ditulis oleh  beberapa mantan aktivis 66. Bagi Buzzer JASMEV/ PROJO dan Orang-orang yang Sok Ngaku Sukarnois, saya persilahkan untuk membantah Kronologis di atas dengan cara menulis Kronologis Kejadian sebagai pembandingnya. Saya persilahkan kalian untuk memasukan semua tuduhan kalian kepada pak Harto, tapi saya ingatkan untuk tidak melupakan situasi selamatnya jenderal Nasution yang berlindung ke Markas Kostrad waktu itu. Bila kalian masih tidak mampu untuk menuliskannya maka berarti kronologis yang ditulis para mantan aktivis 66 di atas adalah BENAR dan TIDAK TERBANTAHKAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar