Selasa, 12 September 2017

MERAH PUTIH ITU NYARIS BERGANTI PALU ARIT

Surat Kepada Maria Felicia Gunawan

Maria Felicia Gunawan yang baik,

Sejujurnya, surat ini adalah upayaku membuat sebuah upacara kata-kata atas upacara agung peringatan 17 Agustus 2015 di Istana Negara yang telah melibatkanmu sebagai tokoh kunci dalam mengukuhkan lambang sebuah negara bernama Indonesia. Kehadiranmu dalam ulang tahun bersejarah tersebut, telah membuat suasana Agustus tahun ini menjadi terasa lebih halus, dan akan menjadikan negeri ini tak jadi pupus ataupun terhapus. 

Pada sosokmu, mataku dan mata seluruh penduduk Indonesia, sekejap terkesiap menyaksikan langkah tegapmu membawa baki suci yang ditimpa kilatan cahaya matahari. Sebuah baki yang mengantarkan lembaran kain berwarna merah putih berkibar di udara pada peringatan kelahiran negeri kita ke 70.

Meski sekadar selembar kain yang kau bentangkan dengan lentik jemarimu, ada makna sekaligus harapan yang sangat panjang dan tebal dari seperempat milyar penduduk nusantara. Harapan atas negeri yang akan menjadi subur makmur loh jinawi tata titi tenteram karta raharja.

Bagaimanapun, kain itu telah menjadi sebuah pertanda, sebuah ayat yang nyata, dan menjadi ikatan pedoman sejak perjalanan leluhur kita, hingga anak cucu kita, kelak.

Kain itu telah berhasil merangkum perasaan kita semua dalam satu nasib selama 70 tahun, yang harus kita jalani dengan tawa, nestapa, bahagia, cucuran keringat, bahkan ceceran darah dan air mata. Kain itu memang telah telanjur menyimpan rentetan kisah yang tak akan cukup terwakili hanya dengan surat yang ringkas ini.

Mohon maaf, Felicia. Barangkali aku terlalu berlebihan ketika menyoal terlalu panjang dan terlalu dalam atas selembar kain. Apalagi, aku sampai menyinggung sebuah harapan.

Betapa melanturnya aku. Tapi, aku tak kuasa membantah, kain itulah yang masih menyatukan aku, kamu, dan kita semua yang sepakat hidup bersama dalam komunitas kepulauan yang terpisah oleh berbagai perairan.

Saya yakin, surat ini tak akan sanggup untuk hanya sekadar menampung berbagai kesimpulan, atas berbagai aliran kenangan yang terus membasahi kain merah putih itu.

Dengan bekal kain dalam genggamanmu itu, aku ingin berkisah kepadamu, Adindaku. Kisah yang faktual tentang sejarah bangsa kita pasca kemerdekaan. Sebuah nukilan cerita tentang tragedi berbagai ayat atau pertanda, yang hampir memberangus kain merah putih suci itu dari ingatan kita semua.

Dengan berat hati aku sampaikan, setelah proklamasi dilantunkan pada 1945, kain merah putih itu telah banyak ditorehi darah dari pertikaian antar saudara sebangsa. Tak bisa tidak. Meskipun pahit, kisah-kisah itu harus kubisikkan ke telingamu. Meskipun berisik dan akan pekak di telingamu, komohon kamu kuat untuk menyimak.

Semoga, ini tidak akan menjadi mimpi buruk dalam seluruh tidurmu di masa datang. Saya hanya ingin, dengan cerita ini, kau bisa cepat siaga terjaga, saat marabahaya datang melanda.

Jika bukan karena kegigihan para pejuang yang mempertahankan berkibarnya merah putih, barangkali sejak 1948, ketika Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) bernama Muso memproklamirkan negara komunis bernama Republik Soviet Indonesia di Madiun, Merah Putih itu tak akan kau genggam sekarang.

Atau barangkali, jika ulah Muso berhasil, Merah Putih yang kau genggam itu sudah diganti oleh gambar palu arit yang telah berulang kali membuat negeri ini berdarah-darah.

Kumohon, Felicia. Sampaikan kepada kerabat, sahabat, dan handai taulanmu, tentang berbagai kekejian para komunis di masa lalu. Atau, jika engkau berkenan, aku ingin mengajakmu dan kawan-kawan sebayamu melakukan perjalanan ziarah panjang ke berbagai kota yang menjadi saksi kebengisan PKI. Barangkali, bisa kita namakan ziarah kekejaman PKI. Jika setuju, aku telah menawarkan rute perjalanan dan paket kisah kengeriannya, sebagai pelajaran bagi kita semua.

Kota pertama yang akan kita kunjungi adalah Tegal dan sekitarnya. Kekejian pertama PKI yaitu pada penghujung tahun 1945, tepatnya Oktober. Di kota ini, ada seorang tokoh pemuda Partai Komunis Indonesia di Slawi, Tegal, Jawa Tengah, berjuluk Kutil, telah menyembelih seluruh pejabat pemerintah di sana.

Dari namanya saja sudah menjijikkan, meskipun nama aslinya adalah Sakyani. Kutil ini sangat ditakuti, karena pernah memimpin pemberontakan yang gagal di Tegal dan sekitarnya, pada tahun 1926, kemudian dibuang ke Digul. Tapi, Kutil bisa lari dari Digul setelah membunuh sipir Belanda dan mencuri kapal.

Kutil juga melakukan penyembelihan besar-besaran di Brebes dan Pekalongan. Si Kutil ini mengarak Kardinah (adik kandung R.A. Kartini) keliling kota dengan sangat memalukan. Syukurlah, ada yang berhasil menyelamatkan Kardinah, tepat beberapa saat sebelum Kutil memutuskan untuk mengeksekusi Kardinah.

Kota Lebak, Banten, juga akan bersaksi kepadamu. Kekejian ke dua datang dari Ce’Mamat, pimpinan gerombolan PKI dari Lebak (Banten) yang merencanakan menyusun pemerintahan model Uni Soviet. Gerombolan Ce’Mamat berhasil menculik dan menyembelih Bupati Lebak R. Hardiwinangun di Jembatan Sungai Cimancak pada tanggal 9 Desember 1945.

Saat Felicia jalan-jalan ke Jakarta, melewati Jalan Otto Iskandar Dinata di selatan Kampung Melayu, ingatlah kisah pembunuhan tokoh nasional Otto Iskandar Dinata yang dihabisi secara keji oleh laskar hitam Ubel-Ubel dari PKI, pada Desember 1945.

Medan, ternyata banyak menyimpan kisah miris. Sebab, PKI juga menumpas habis seluruh keluarga (termasuk anak kecil) Istana Sultan Langkat Darul Aman di Tanjung Pura, pada Maret 1946, serta merampas harta benda milik kerajaan. Dalam peristiwa ini, putra Mahkota kerajaan Langkat, Amir Hamzah (banyak dikenal sebagai penyair), ikut tertumpas. Tak ada lagi penerus kerajaan Langkat.

Di belahan lain Sumatra, yaitu Pematang Siantar, PKI menunjukkan kebrutalannya. Pada tanggal 14 Mei 1965, PKI melakukan aksi sepihak menguasai secara tidak sah tanah-tanah Negara. Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia (BTI), dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) melakukan penanaman secara liar di areal lahan milik Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) Karet IX Bandar Betsi.

Pembantu Letnan Dua Sudjono yang sedang ditugaskan di perkebunan secara kebetulan menyaksikan perilaku anggota PKI tersebut. Sudjono pun memberi peringatan agar aksi dihentikan. Anggota PKI bukannya pergi, justru berbalik menyerang dan menyiksa Sudjono. Akibatnya, Sudjono tewas dengan kondisi yang amat menyedihkan. 

Berbagai kota di Jawa timur juga akan kita kunjungi. Kekejian di Jawa Timur, yaitu saat Gubernur Jawa Timur, RM Soerjo, pulang dari lawatan menghadap Soekarno. Di tengah jalan, mobil Gubernur Suryo bersama dua pengawalnya dicegat pemuda rakyat PKI, lalu diseret menggunakan tali sejauh 10 kilometer hingga meregang nyawa, lalu mayatnya dicampakkan di tepi kali.

Padahal, di masa lalu, Soerjo merupakan pemimpin penting dalam pertempuran melawan belanda di Surabaya. Ketika suatu saat melewati Mantingan kota Ngawi, mampirlah sebentar ke Museum Gubernur Soerjo, doakanlah segala kebaikan untuk arwahnya.  

Kita harus mampir ke Madiun. Tapi, adinda Felicia jangan muntah di kota ini, karena PKI juga tega menusuk dubur banyak warga Desa Pati dan Wirosari (Madiun) dengan bambu runcing. Lalu, mayat mereka ditancapkan di tengah-tengah sawah, hingga mereka kelihatan seperti pengusir burung pemakan padi. Salah seorang diantaranya wanita, ditusuk (maaf) kemaluannya sampai tembus ke perut, juga ditancapkan di tengah sawah.

Di kota Magetan, Algojo PKI merentangkan tangga melintang di bibir sumur, kemudian Bupati Magetan dibaringkan di atasnya. Ketika telentang terikat itu, algojo menggergaji badannya sampai putus dua, lalu langsung dijatuhkan ke dalam sumur.

Aku sangat miris dengan semua itu, Felicia. Tapi, cerita ini harus kita wariskan kepada adik, anak, dan cucu kita. Aku pun sebenarnya tidak kuat menerima kenyataan, ketika Kyai Sulaiman dari Magetan ditimbun di sumur Soco bersama 200 santri lainnya, sembari tetap berdzikir, pada September 1948.

Kita semua pasti langsung tersungkur mendengar kisah Kyai Imam Mursyid Takeran telah hilang tak tentu rimbanya, genangan darah setinggi mata kaki di pabrik Gula Gorang Gareng, Ayah dari Sumarso Sumarsono yang disembelih di belakang pabrik gula dan baru ketemu rangka tubuhnya setelah 16 tahun kemudian. Bahkan, para PKI mengadakan pesta daging bakar ulama dan santri di lumbung padi di Ngawi.

Hingga kapan pun, aku akan selalu menangis ketika teringat kisah Isro yang sekarang menjadi guru di Jawa Timur. Ketika dulu masih berumur 10 tahun pada tahun 1965, Isro hanya bisa memunguti potongan-potongan tubuh ayahnya yang sudah hangus dibakar PKI di pinggir sawah dan hanya bisa dimasukkan ke dalam kaleng. Sudah syukur Isro tidak terguncang jiwanya terus menerus dan bisa berkarya untuk bangsa ini.

Dalam perjalanan kita ke Blora nanti, tempat kelahiran Pramoedya Ananta Toer, kota itu akan bersaksi.  Pasukan PKI menyerang Markas Kepolisian Distrik Ngawen, Kabupaten Blora, pada 18 September 1948. Setidaknya, 20 orang anggota polisi ditahan. Namun, ada tujuh polisi yang masih muda dipisahkan dari rekan-rekannya. Setelah datang perintah dari Komandan Pasukan PKI Blora, mereka dibantai pada tanggal 20 September 1948. Sementara, tujuh polisi muda dieksekusi dengan cara keji. Ditelanjangi, kemudian leher mereka dijepit dengan bambu. Dalam kondisi terluka parah, tujuh polisi dibuang ke dalam kakus/ jamban (WC) dalam kondisi masih hidup, baru kemudian ditembak mati.

Kita juga akan mengunjungi Desa Kresek, Kecamatan Wungu, Dungus. Di tempat itu, PKI akhirnya membantai hampir semua tawanannya dengan cara keji. Para korban ditemukan dengan kepala terpenggal dan luka tembak. Di antara para korban, ada anggota TNI, polisi, pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, dan ulama.

Kota Wonogiri, Jawa Tengah, ternyata akrab dengan amis darah kekejian PKI yang menculik pejabat pemerintahan, TNI, Polisi, dan Wedana. Semua dijadikan santapan empuk PKI di sebuah ruangan bekas laboratorium dan gudang dinamit di Tirtomoyo. Saat itu, PKI menyekap 212 orang, kemudian dibantai satu per satu dengan keji pada 4 Oktober 1948.

Siapa pun akan marah ketika mendengar kisah di Kanigoro. Saat itu, Pemuda Rakyat (PR) PKI dan Barisan Tani Indonesia (BTI) sungguh-sungguh tidak beradab. Training Pelajar Islam Indonesia di kecamatan Kras, Kediri, tanggal 13 Januari 1965, diserang oleh PR dan BTN. Massa Komunis ini menyiksa dan melakukan pelecehan seksual terhadap para pelajar Islam perempuan. Tidak hanya sampai di situ, massa PKI pun menginjak-injak Al-Quran. Itu membuktikan bahwa PKI memang tidak mengenal Tuhan. Mereka pun memiliki pertunjukan Ludruk dari LEKRA dengan lakon ”Matinya Gusti Allah”, "Sunate Malaikat Jibril", dan berbagai lakon lain yang biadab dan tak bisa dimaafkan.

Lubang Buaya di Jakarta adalah bukti otentik aksi kejam PKI dengan Gerakan 30 September 1965. Tidak tanggung-tanggung tujuh orang jenderal (Letjen TNI A. Yani, Mayjen TNI Soeprapto, Mayjen TNI M.T. Hardjono, Mayjen TNI S. Parman, Brigjen TNI D.I. Panjaitan, Brigjen TNI Soetodjo Siswomihardjo, dan Lettu Pierre Andries Tendean), dimasukkan ke dalam sumur. Para Gerwani dan Pemuda Rakyat bersorak dan bergembira ria melihat para Jenderal dimasukkan ke dalam sumur di Lubang Buaya di Jakarta Timur.

Ketahuilah, Felicia. Semua negara Komunis di dunia ini melakukan pembantaian dan penyembelihan kepada rakyatnya sendiri. 500.000 rakyat Rusia dibantai Lenin (1917-1923), 6.000.000 petani Kulak Rusia dibantai Stalin (1929), 40.000.000 dibantai Stalin (1925-1953), 50.000.000 penduduk Rakyat Cina dibantai Mao Tsetung (1974-1976), 2.500.000 rakyat Kamboja dibantai Pol Pot (1975-1979), 1.000.000 rakyat Eropa Timur di berbagai Negara dibantai rejim Komunis setempat dibantu Rusia Soviet (1950-1980), 150.000 rakyat Amerika Latin dibantai rejim Komunis di sana, 1.700.000 rakyat berbagai Negara di Afrika dibantai rejim Komunis, dan 1.500.000 rakyat Afganistan dibantai Najibullah (1978-1987).

Barangkali, jika waktu itu Komunisme berhasil menguasai negeri ini, kita tak akan bisa membaca karya-karya sastra relijius milik Hamka, Taufiq Ismail, dan lain-lain. Karena, Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang dikomandani oleh Pramoedya Ananta Toer, sempat menuding Hamka sebagai plagiator atas novelnya yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijk. Tekanan politik terhadap karya-karya non Komunis dilakukan oleh Lekra. Hujatan-hujatan terhadap sastrawan anti Lekra terus dilakukan. Penyair Chairil Anwar (pelopor Angkatan 45) juga digugat dan dinilai sudah tidak punya arti apa-apa. Bahkan, buku-buku sastra karya sastrawan anti Lekra dibakar.

Bagaimanapun, Kelompok Palu arit ini telah dua kali melakukan kudeta dengan keji. Mereka menyembelih para santri, para kyai, para agamawan, para penjaga NKRI yang menolak paham kiri. Menjelang 1965, PKI hampir saja berhasil menyembelih sila pertama Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi Kebebasan Tidak Berketuhanan. Syukurlah gagal.

Pada titik ini, perkenankan saya menyebut para santri, kyai, agamawan, tentara NKRI, dan Pancasila sebagai ayat (baca; pertanda atau suara Tuhan di atas bumi). Pada kenyataannya, tahun 1948 dan 1965, semua ayat itu disembelih oleh gerombolan PKI. Maka aku memberanikan diri untuk menulis surat dan kisah-kisah ini dengan judul "Ayat-Ayat yang Disembelih".

Atas berbagai kekejaman itu, sudah selayaknya PKI dilarang selamanya.

Jika bukan karena kesigapan para mujahid Islam dan penjaga NKRI ketika itu, sekarang ini kita belum tentu bisa hidup berbangsa dan bernegara dengan tenang.

Alangkah bahagia kita saat ini. Saya dan sahabat-sahabat muslim masih bisa sholat dan mengaji Al-Quran di masjid maupun surau. Temanku Wayan masih bisa menyenandungkan Weda di Pura. Kolegaku Mulyadi di Wihara Theravada Kelapa Gading masih bisa melantunkan Tripitaka. Dan engkau adindaku Felicia, masih bisa menjinjing injil dan melaksanakan kebaktian di gereja setiap akhir pekan.

Salam Merah Putih untuk Felicia. 

Anab Afifi & Thowaf Zuharon

Dikutip dari Prolog buku Ayat Ayat yang Disembelih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar