Selasa, 12 Desember 2017

NAHDLATUL ULAMA, UUD 45 DAN PIAGAM JAKARTA

Suatu hari di awal bulan Juli 1959. Waktu menunjukkan pukul 01.30 WIB dinihari. Telepon di rumah KH. Saifuddin Zuhri berdering. Dari ujung telepon, suara KH. Idham Chalid, menyampaikan kabar penting. Ia meminta kepada KH. Saifuddin Zuhri untuk datang ke rumahnya di Jalan Jogja 51, Menteng, Jakarta Pusat, dini hari itu juga. “Ada hal penting terkait rencana kedatangan dua orang pejabat,”ujar KH  Chalid, dari ujung telepon.

Tak menunggu lama, Kiai Zuhri kemudian bergegas menuju rumah KH Chalid. Pukul 02.00  WIB lebih sedikit, ia sampai di kediaman tokoh senior Nahdhatul Ulama tersebut. Tak berapa lama, dua orang pejabat penting, yang tak lain adalah Jenderal Abdul Haris Nasution, Kepala Staf Angkata Darat/Menteri Keamanan dan Pertahanan ditemani dengan komandan Corp Polisi Militer (CPM) Letkol R. Rusli datang.

Kedua petinggi militer itu meminta saran kepada dua orang tokoh Nahdhatul Ulama tersebut terkait dengan rencana keberangkatan mereka menemui Presiden Soekarno yang sedang berobat di Jepang. Dari kalangan militer saat itu mengusulkan kepada Presiden Soekarno agar UUD 1945 diberlakukan kembali lewat Dekrit Presiden. Terkait hal itu, Jenderal Nasution dan Letkol R. Rusli meminta masukan kepada dua tokoh NU tersebut untuk memberikan apa saja yang akan dimasukkan dalam dekrit.

- “Isinya terserah pemerintah, tetapi hendaklah memperhatikan suara-suara golongan Islam dalam Konstituante,” ujar KH. Idham Chalid memberi masukan.
- “Apa kongkretnya tuntutan golongan Islam itu?” Tanya Jenderal Nasution.
- “Agar Piagam Jakarta diakui kedudukannya sebagai menjiwai UUD 1945,” jawab KH Saifuddin Zuhri menimpali.
- “Bagaimana sikap NU apabila presiden menempuh jalan dekrit?” Tanya Jenderal Nasution lagi.
- “Kami tidak katakan, itu hak presiden untuk menempuh jalan menyelamatkan negara,” jawab KH Idham Chalid.

Kisah mengenai sikap NU, Jenderal Nasution, dan tentang rencana Dekrit Presiden ini ditulis oleh M. Ali Haidar dalam buku “Nahdhatul Ulama dan Islam Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik.”

Dalam catatan “Buku Putih” salah seorang tokoh, disebutkan pula bahwa untuk memperkuat dasar pijakkan  keluarnya Dekrit tersebut, Jend. AH.Nasution sampai perlu melakukan Safari ke berbagai pesantren untuk mendapatkan 5.000 surat dukungan, sebagai bukti bahwa Dekrit Presiden 5 Juli 59 didukung oleh sebagian besar rakyat Indonesia.

Sangat menyedihkan bila saat ini ada segolongan yang mengaku NU, Mengaku Paling Pancasila, mengaku paling NKRI, tanpa paham bahwa Pancasila di mana NU berada di dalamnya adalah Pancasila yang mengkristal dalam pembukaan UUD 45, yang dijiwai dan menyatu tak terpisahkan dengan Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Yang mengandung pengertian bahwa jiwa dan semangat serta penjabaran UUD ‘45 tidak boleh bertentangan dengan Piagam Jakarta 22 Juni 1945, sekaligus UUD 45 yang berlaku lagi sejak 5 Juli 1959, yang tidak terpisahkan dengan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang juga menjiwai dan mengembalikan  kandungan UUD ‘ 45 Pasal 6 ayat (1) Presiden dan Wakil Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam.

Berbagai Pendapat Ahli Ilmu Tata Negara :

Profesor A Sanusi, seperti dikutip Endang Saifudin Anshari, mengatakan bahwa Piagam Jakarta yang disebut dalam dekrit 5 Juli 1959 adalah kembalinya gentlement agreement dalam rangka persatuan dan perjuangan nasional. Karena itu posisi Piagam Jakarta  senapas dengan konstitusi 1945. Sanusi mengatakan kata “menjiwai” dalam dekrit tersebut berarti memberi jiwa. Sedang memberi jiwa berarti memberi kekuatan. Kata “menjiwai” yang kemudian dirangkaikan dengan kata-kata “Suatu rangkaian kesatuan” menunjukan bahwa Piagam Jakarta merupakan satu rangkaian yang tak terpisah dengan UUD 1945.

Profesor Notonagoro, seorang ahli yang banyak melakukan penelitian tentang Pancasila mengatakan, pengakuan tentang Piagam Jakarta dalam dekrit itu berarti pengakuan akan pengaruhnya dalam UUD 1945, tidak hanya pengaruh terhadap pasal 29, pasal yang harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan.

Dengan demikian, perkataan “Ketuhanan” dalam pembukaan UUD 1945 bisa berarti “Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan syariatnya”, sehingga atas dasar itu dapat diciptakan perundang-undangan atau peraturan pemerintah lain. Dengan syariat Islam, ketetapan pasal 29 ayat 1 tetap berlaku bagi agama lain untuk mendasarkan aktivitas keagamaanya.

KH.Saifuddin Zuhri, dalam sebuah peringatan 18 tahun Piagam Jakarta, mengatakan;
Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka hapuslah segala selisih dan sengketa mengenai kedudukan yang legal daripada Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Piagam yang pernah menjadi pengobar dan bebuka Revolusi Nasional kita itu tegas-tegas mempunyai kedudukan dan peranan ketatanegaraan kita sebagai yang menjiwai UUD dan merupakan rangkaian kesatuan dengannya dengan sendirinya mempunyai pengaruh yang nyata terhadap setiap perundang-undangan negara dan kehidupan ideologi seluruh bangsa

Prof Hazairin mengatakan bahwa Piagam Jakarta yang dikatakan dalam Dekrit 5 Juli 1959 sebagai “menjiwai” dan menjadi “rangkaian kesatuan” bagi UUD 1945 adalah maha penting bagi penafsiran pasal 29 1 UUD 1945, yang tanpa perangkaian tersebut maknanya menjadi kabur dan dapat menimbulkan penafsiran yang beragam dan absurd, karena penjelasan yang resmi mengenai pasal tersebut tidak mencukupi, karena desakan waktu.

Siapa yang menggagas ide untuk kembali ke konstitusi 1945 dan menyebut soal Piagam Jakarta dalam dekrit presiden tersebut?

Ide tersebut ternyata datang dari kalangan militer, yaitu Jenderal Abdul Haris Nasution, tokoh yang dikenal dekat dengan kalangan Islam. Keterangan soal ini bisa dilihat dalam wawancara Jenderal AH Nasution dalam buku Islam di Mata Para Jenderal. Jenderal Nasution pula, yang pernah mengucapkan secara tegas bahwa, “Dengan hikmah Piagam Jakarta itu pulalah selamat sentosa menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.”

( semua yang hasil kutipan, dikutip dari tulisan Artawijaya )

Itulah mengapa BANSER masa lalu adalah PENGAWAL SYARIAT ISLAM  bukan PENGAWAL KEBHINEKAAN.

• Siapa sekarang yang sok merasa PALING PANCASILA?
• Siapa sekarang yang paling getol membenturkan Islam dengan Pancasila?

Mereka yang paling getol membenturkan Islam dengan Pancasila adalah Pengkhianat Pancasila yang sebenarnya.

✍🏽Ibnu Dawam Aziz

Tidak ada komentar:

Posting Komentar