Rabu, 20 Desember 2017

WAHABI DAN SARACEN SAMA SAMA MENEBAR KEBENCIAN

Apa bedanya Wahabi dengan Saracen? Hampir tidak ada. Keduanya sama-sama menebar kebencian. Jika Saracen menebar kebencian dengan mengangkat isu SARA, maka Wahabi secara spesifik menebar kebencian dengan mengangkat isu khilafiyah dalam agama.

Yang menjadi sasaran tembak kebencian kaum Wahabi umumnya adalah warga NU yang konsisten menjalankan amalan tahlilan, yasinan, shalawatan Al barzanji, maulidan, khaul, ziarah kubur, dan seterusnya.

Semua amalan-amalan tersebut oleh paham Wahabi dituduh bidah dan syirik.

Hal-hal sepele yang sudah mentradisi di kalangan masyarakat, seperti sungkeman kspada kedua orang tua, cium tangan kepada guru atau Kiai juga dipertanyakan, dan dipandang sebagai perilaku bidah.

Begitu juga berjabat tangan setelah shalat juga dituduh sebagai tindakan bidah. Benar kata Cak Nun, "Iki bar shalat rek.. opo maneh bersalaman, Sampeyan ngising wae gak opo-opo.. Ya Allah... Kok ono rek model menungso kakune koyo ngono.."

Yang menyedihkan lagi, berdzikir usai shalat dengan menggeleng-gelengkan kepala juga tak luput dari bahan cemoohan mereka. Ustadz Firanda, seorang ustadz Wahabi, dengan gaya parodi menirukan, "Geleng-gelengkan kepala gini enak juga nih buat tryping..nah kalau ada musiknya lbh enak lagi..iya khan.." Lalu seluruh jamaahnya tertawa terbahak-bahak.

Para ustadz Wahabi lupa, bahwa menggeleng-gelengkan kepala itu tindakan otomatis, spontan, dan simultan dengan bacaan tahlil. Semakin tinggi puncak konsentrasi, maka semakin terasa kenikmatan itu, dan semakin tak terkontrol pula gerakan kepala. Inilah puncak ekstase itu tercapai, manakala terjadi kemenyatuan antara hamba dan Tuhan. Jangan heran, jika dalam situasi seperti itu, maka suasana batin seorang hamba merasa sangat kecil di hadapan Tuhan, lalu yang ada hanyalah kucuran air mata sebagai ekspresi kepasrahan jiwa secara utuh.

Apakah orang Wahabi bisa? Tidak, karena mereka menolak tasawuf, yang dianggapnya penyimpangan beragama. Padahal tasawuf sesungguhnya mengajarkan nilai-nilai keikhlasan, kerendahan hati, ketundukan, dan jalan menuju telaga ketenangan, agar formalisme Syariah tidak terasa gersang dan kering kerontang.

Jangan heran, jika ceramah ustad Wahabi sering sekali diliputi nuansa keangkuhan, kesombongan, arogansi personal, merasa paling benar, dan merasa sangat yakin bahwa hanya kelompoknyalah yang pasti masuk surga, sedangkan yang lainnya tempatnya di negara.

Tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa kaum Wahabi lebih senang merumuskan musuh-musuh bagi sesama muslim, ketimbang berbicara hal-hal produktif bagi kemajuan peradaban umat manusia. Ustadz Wahabi lebih peka dengan persoalan remeh-remeh, tapi mengabaikan hal-hal yang bersifat visi kemanusiaan universal. Misalnya, Basalamah membahas apakah ngeleti kelamin istri itu boleh atau tidak. Dan dengan tegas dia menyatakan boleh. Mengapa hal-hal yang privat dan jorok itu dibahas di ruang publik? Kurang temakah soal kemiskinan? Keadilan? Pengangguran? dan tema-tema lainnya yang lebih menyentuh visi kemanusiaan?

Belakangan, para ustadz Wahabi bahkan berani mempersoalkan upacara bendera dan hormat kepada bendera merah putih. Dan lagi-lagi, hujjahnya sama, itu haram, bidah atau syirik.

Ini tentu sikap yang sudah berlebihan dan melewati batas toleransi. Maka wajar jika para kyai NU mencoba melakukan bantahan sebagai reaksi atas sikap mereka yang cenderung merasa paling benar, dan lainnya dituduh salah, sesat dan pelaku bidah.

Bukan hanya itu. Imam Al-Ghazali, yang oleh para ulama diberi gelar hujjatul Islam, tak luput dari sasaran kritik. Kata mereka, "..Seribu lebih hadist dalam kitab Ihya' Ulum ad-din itu dlaif..maka wajar saja kalau jebolan Ihya' benci Sunnah. Bertahun-tahun belajar mereka gak paham bidah..lha wong belajarnya salah..!"

Kaum Wahabi seolah mengidetikkan bahwa setiap hadits dlaif itu palsu. Harus dilihat dulu, dlaif dari segi sanad atau matan. Hadits dlaif dan palsu itu beda. Hadits dlaif, sepanjang itu untuk merangsang hal-hal kebaikan, bukan untuk hujjah halal dan haram, maka tetap bisa digunakan sebagai dasar amaliyah.

Saya sangat yakin, ulama mujtahid yang sangat wira'i sekaliber Imam Al-Ghazali pasti tidak sembarang comot dan tanpa penelitian dan pertimbangan yang matang ketika menggunakan hadits di dalam kitab Ihya'.

Karena itu, bisa dimaklumi jika dalam shahih Bukhari, Muslim, Musnad Ahmad, dan kitab-kitab hadits lainnya, tetap dijumpai sejumlah hadits yang dlaif.

Benar kata Buya Yahya, "Kalau Wahabi tidak suka amaliyah kami, silahkan saja. Tapi tidak usah membidahkan. Cukup jalankan saja amalan yang anda percayai. Tidak ikut kami tidak apa-apa"

Dan itu adalah prinsip NU. Meski diserang sebagai pelaku bidah dan syirik, kyai NU tidak pernah menyerang balik dan menganggap Wahabi sebagai pelaku bidah dan sesat.

Paling banter, warga Nu hanya bilang, "Wahabi koplak.. jenggot aja  dipanjangin otak dibiarin cekak gak berkembang..Yang lain sudah bicara rudal antar benua, Wahabi masih sibuk bicara, apakah kuda lumping ini dikasih makan rumput apa beling.. kalau dikasih beling ini bidah apa bukan.."

Pertinyiinyi.. Apakah kami harus lebih percaya kepada ustad-ustad Wahabi yang diselimuti hawa nafsu dan miskin keikhlasan itu daripada Imam Al-Ghazali?
Semar b.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar